O14 : Handphone

48 5 3
                                    

“Semakin jauh sikap baikku padamu, semakin jauh pula kamu terluka karena diriku.”

- Narenza Putra Samudera Aksara -
.
.
.
.
.

***

Happy reading-!
Jangan lupa untuk vote♡

***

Matahari perlahan terbit menyinari permukaan bumi. Suasana pagi yang tenang dan sejuk menghembus Jakarta pagi ini.

Namun, suasana itu tidak berlaku pada salah satu kediaman di belahan kota tersebut.

PLAK!

“ANAK SIALAN! DASAR TIDAK TAHU DI UNTUNG! BISANYA MENJAWAB SAJA!”

Ya, suara-suara itulah yang dapat Nandya terima dalam setiap harinya. Suara yang mampu membuat batinnya terluka, suara yang mampu membuat pikirannya berkecamuk, dan suara yang mampu membuat raganya mati rasa.

Muak? Jelas.

Kecewa? Tidak perlu ditanya lagi.

Hidup yang Nandya jalani selama ini sudah cukup membuat gadis itu kehilangan arah untuk berjalan, untuk melanjutkan apa itu arti kehidupan, untuk tau dimana letak dirinya hidup.

Semua itu perlahan meluluhlantakkan dirinya. Semua itu perlahan hilang dan lenyap bagai di telan lautan. Dan, semua itu perlahan kosong meninggalkan ruang yang tidak tersisa bagi Nandya tempati.

Kenapa takdir selalu membiarkan dirinya berjalan sendirian di alam semesta ini?

Kenapa takdir selalu merobohkan rumah yang berusaha dirinya jaga dari terpaan badai yang menyerang?

Lalu, kenapa...

Kenapa takdir selalu membuat Nandya hidup dalam perasaan bersalah yang tak kunjung usai?

Gadis cantik dengan rambut tergerai itu kini terdiam setelah pipinya menjadi sasaran telapak tangan itu mendarat. Hawa sejuk yang harusnya dia dapat pagi ini justru berubah menjadi hawa panas yang menyakitkan.

“Cuma sekedar ponsel tapi kamu sesusah itu, ya, Put, untuk meminjamkan pada Kakak kamu sendiri?!” gertakan dan amarah mama terdengar memenuhi ruangan.

Selesai mengikat tali sepatunya, Nandya menoleh menatap Mama dan Ayumi— sang Kakak bergantian, ikut menahan amarahnya yang akan meluap begitu saja.

“Saat butuh datang ke aku, tapi saat aku yang butuh kalian kemana?”

Nandya mendengus kasar lalu meletakkan ponsel miliknya di atas meja. “Silahkan ambil. Aku berangkat dulu.”

Tanpa menunggu lebih lama lagi akhirnya Nandya dengan perasaannya yang campur aduk itu pergi meninggalkan rumah.

Semakin lama bertahan, semakin muak pula Nandya menghadapi situasi yang terjadi.

Singkat cerita, Nandya telah sampai di sekolah. Ternyata Rachna dan Bianca pun sudah sampai lebih dulu.

“Ponsel lo mana, Dya? Gue hubungin kok gak lo jawab?” tanya Rachna.

“Gue gak bawa ponsel,” jawab Nandya.

“Lho, kenapa? Hilang?” tanya Bianca.

Nandya meringis kecil sebelum akhirnya menggeleng pelan. “Ponsel kakak gue yang hilang, makanya dia pinjam punya gue,” jawabnya.

“Terus lo kasih begitu aja?”

“Iya, dari pada berantem. Kepala gue yang ada sakit, hehe.”

Rachna dan Bianca saling bertatapan. Keduanya mengatupkan bibir rapat-rapat, cukup paham dengan jawaban yang diberikan sang teman.

HOMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang