Eight

795 131 9
                                        

"Pagi, Nadine."

Nadine membuka matanya. Ia masih menggunakan gaun pesta lengkap dengan riasannya. Semalam Ia terlalu lelah untuk membersihkan badan serta kepalanya terlalu pening untuk berpikir.

"Eh, kau sudah pulang rupanya, Zayn," kata Nadine.

Lelaki itu tersenyum. "Bagaimana tidurnya? Nyenyak?"

"Ya, begitulah."

Semalam gadis mungil memutuskan untuk tidur di rumah Zayn sejak Ia menemukan keadaan rumahnya kacau balau. Nadine tidak ingin jika saat sedang tidur di kasur Ia malah menemukan bangkai tikus di balik selimutnya atau hal semacam telur busuk di dalam kamar mandinya.

"Kamu sampai sini jam berapa?" tanya Nadine.

"Sekitar setengah jam yang lalu. Setidaknya aku tidak terlambat untuk melihat kau tidur nyenyak dengan segala kecantikan yang kamu punya. Jadi tuh, aku serasa liat bidadari lagi tidur gitu."

"Gombal."

Zayn terkekeh pelan. "Sarapan yuk."

"Di mana?"

"Di sini. Aku yang masakin. Gimana? Kamu mah tinggal duduk manis aja."

"Masakannya dijamin enak? Nanti pas aku makan taunya rasa masakannya kaya telur buaya. Aneh."

Seketika Zayn menyerngitkan dahi. "Emang kamu udah pernah makan telur buaya?"

"Belum," jawab Nadine sambil memamerkan deretan gigi kelincinya.

Matahari sudah lebih tinggi sedikit dari sebelumnya, ya, walaupun cuaca masih cukup dingin seperti saat sebelum fajar. Burung betina terlihat sedang bertengger di sarang sambil memberi makan buah hatinya.

Zayn dan Nadine berjalan menuju dapur kecil di dekat pekarangan rumah sambil sibuk dalam pikirannya masing-masing di saat ada situasi genting yang harus mereka selesaikan secepatnya.

"Bagaimana dengan kuliahmu?" tanya Zayn memulai percakapan.

"Parah parah parah."

"Lah? Kenapa parah?"

"Dosennya sadis. Masa tugas pertama belum selesai, eh, udah ada tugas kedua lagi aja. Masalahnya tugas kedua deadline-nya lebih cepat dibanding tugas pertama. Mending dosennya beda, kan masih bisa maklum, lah, ini dosennya sama. Materinya pun masih tetep sama. Padahal kan mahasiswa juga manusia. Kita butuh oksigen buat bernapas."

Zayn tertawa ketika melihat ekspresinya Nadine yang menekuk kesal. "Kamu kalau lagi marah-marah gitu lucu juga ya."

"Aku serius tau, Zayn."

"Uh, sayangku marah. Sini sini aku peluk dulu."

"Apaan sih." Seketika pipi Nadine mengembang dan wajahnya menekuk.

Zayn terkekeh. "Kemarin Joe nggak bersikap kasar sama kamu kan?"

Tiba-tiba ekspresi Nadine berubah. Bibirnya cemberut, bola mata coklat itu juga memutar-mutar tanpa arah. Seketika pandangan Nadine kembali menuju Zayn. "Nggak sih, cuman lebih mirip pedopil aja. Seram."

"Seraman mana dibanding ditinggalin sama aku?" tanya Zayn sambil menyikut lengan Nadine.

Nadine membuang pandangannya namun pipinya memerah sebal seolah-olah gerak refleks dengan gerak sadarnya bertolak belakang. "Seraman kalau ketemu pedopil."

"Oh, jadi lebih baik ditinggal sama aku gitu?"

"Eh? Iya juga sih, benar. Lagian emang setega apa kamu sampe mau ninggalin aku kaya gitu? Tega? Nggak kan?" tanya Nadine sambil menjulurkan lidahnya.

"Iya juga sih. Ah, kamu suka gitu."

"Aku gak suka sama gitu. Aku sukanya sama kamu."

Zayn terkekeh pelan. "Kamu bisa romantis juga ya. Aku kira kamu orangnya monoton kaya televisi jaman dulu. Ketinggalan zaman abis."

"Eh, sembarangan! Aku emang dari dulu romantis tau, cantik lagi."

"Pede abis."

Pagi itu Nadine dan Zayn melakukan perbincangan manis seperti kebanyakan sepasang kekasih biasanya. Jika diperhatikan baik-baik melalui bola mata keduanya mereka sangat bahagia bisa bertemu satu sama lain. Canda tawa terus menyelimuti setiap menit di dalam hidup keduanya, namun semua itu sirna ketika ponsel Nadine bergetar menerima sebuah pesan masuk dari orang yang tidak dikenal.

Ntik, ku dengar kau sedang berada di rumah pacarmu itu ya?
Oh, apakah aku boleh main ke rumahnya juga?
Oke, akan ku ajak teman-temanku.
Ily x

"Zayn," ucap Nadine parau.

"Ada apa, Nadine?"

"Sepertinya kita harus pergi sekarang dan aku butuh penjelasanmu."

Behind the Scenes // malikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang