Fifthteen

401 58 8
                                        

Nadine terseok-seok pergi dari gedung tua yang sebenarnya lebih mirip gudang terbengkalai. Kaki kanannya terus  menerus mengeluarkan darah segar dengan dibalut kaos baju yang telah ia robek beberapa menit yang lalu.

Jalanan di sekitarnya terlihat sangat sepi. Ia harus jalan berpuluh-puluh meternya hingga ia bertemu sebuah kios makanan yang sepi, namun tetap ada beberapa orang yang terlihat sedang berbincang-bincang. Awalnya Nadine ragu untuk masuk ke dalam kios tersebut, namun melihat suasanya yang memang sedang darurat, ia memutuskan untuk tetap masuk dan meminta pertolongan.

Beberapa pasang mata menangkap kehadiran Nadine, namun mereka tetap menghiraukannya. Seorang lelaki paruh baya pergi mendekati Nadine dan tersenyum kepadanya.

"Kamu kenapa, Nak?"

Nadine menoleh, tersenyum, dan menunduk menghormati lelaki tersebut. "Kaki saya terluka. Boleh saya meminjam ponsel untuk memberitahu keluarga saya?"

"Oh, tentu saja." Lelaki tersebut mengeluarkan ponselnya dan menyodorkannya ke arah Nadine. "Pakai saja, jika sudah selesai, saya ada di dapur belakang."

"Terima kasih banyak," jawab Nadine sambil menerima ponsel tersebut.

Tentu saja Nadine berbohong, mana mungkin ia akan menelpon keluarganya dan memberitahu kalau ia sedang dikejar-kejar oleh orang-orang menyeramkan. Ditekannya nomor pihak berwajib dan sebuah perusahaan transportasi.

***

1 jam sebelumnya

"Cepat cari mereka!"

Suara itu menggema hingga ke telinga Zayn dan Nadine. Keduanya langsung menoleh ketika mendengar teriakan itu. Berjam-jam sudah mereka lewati, ternyata hasilnya tetap nihil.

"Zayn, bagaimana ini?!" tanya Nadine yang sedang menggigit bibirnya.

Zayn terdiam. Mempertanyakan apa yang harus ia lakukan. Dilihatnya Nadine dan diraihnya kedua tangan yang mungil itu. "Nad, kamu sekarang pergi ke tempat pembuangan sampah. Nggak usah khawatir tentang sama mereka yang bakal nemuin kamu. Dapur udah sepi kok, aku yakin. Sekarang cepat kamu pergi."

"Kamu ikut sama aku kan?" Air mata mulai menggenang di pelupuk Nadine. Tak mungkin ia meninggalkan Zayn sendirian.

Ia menggeleng pelan, lalu tersenyum. "Aku akan tetap tinggal di sini."

"Tapi Zayn, aku nggak mungkin ninggalin kamu sendirian di sini. Kita ke sini bareng, keluar juga harus bareng."

"Nadine, cukup. Aku yang bertanggung jawab karena aku yang udah bikin kamu ikut terjebak di dalam sini. Aku yang harusnya ngeluarin kamu hidup-hidup, bukan kamu. Aku yang harusnya rela mati demi kamu dan aku yang harusnya maju buat ngelindungin kamu," ucapan Zayn terhenti ketika ia melihat Nadine yang mulai terisak, "aku mau sekarang kamu pergi. Sesampainya di luar, kamu langsung telepon polisi, sehabisnya kamu jaga diri baik-baik dan jangan pernah keluar rumah sampai aku kembali."

"Zayn, tapi—"

Zayn tersenyum, menghapus air mata yang menggenang di peluk Nadine. Baginya Nadine memang pantas untuk dipertaruhkan, tak peduli mau hidup atau mati yang penting perempuan itu harus tetap selamat. "Pergilah. Aku mencintaimu."

"Baiklah." Nadine mengangguk dan perlahan-lahan menghilang dari hadapan Zayn yang masih diam tak berkutik.

Dirinya pergi merangkak, melewati satu lorong ke lorong lainnya. Berusaha menyium tempat pembuangan sampah dari baunya, meskipun tak terlalu kentara namun tetap saja Nadine bisa menemukan tempat tersebut.

"Bos, aku mendengar sesuatu."

Refleks Nadine menghentikan gerakannya. Ia tiarap dan mundur perlahan-lahan agar tak terlihat dari lubang udara. Ia mendekap mulutnya agar tidak menjerit maupun menangis.

Behind the Scenes // malikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang