02 : Rena

685 39 0
                                    

"Tulalit ...! Tulalit ...!"

"Tulalit ...! Tulalit ...!"

Suara dering ponsel membangunkanku di pagi itu. Dengan malas aku menggeliat dan meraba raba, mencari keberadaan benda pipih persegi itu diatas meja kecil yang berada disamping tempat tidurku. Dengan mata masih setengah terpejam, kulihat nama Runi terpampang di layar ponselku.

"Hallo Run! Ngopo to isuk isuk kok wis telpon? Ngganggu wong turu wae! (Hallo Run! Ngapain sih pagi pagi udah telepon? Mengganggu orang tidur saja)," sapaku Dengan nada malas, setelah menggeser tombol hijau di layar gawaiku.

"Esuk? Esuk gundhulmu kuwi! Delok'en, wis jam piro iki? Sido budhal 'po ora? Aku wis neng ngarep kost-anmu iki, (Pagi?! Pagi gundulmu itu! Coba lihat, sudah jam berapa sekarang? Jadi berangkat nggak? Aku sudah di depan kost-mu ini)," suara cempreng khas milik Seruni terdengar dari seberang sana. Dengan masih sedikit malas aku bangun dan melihat jam weker diatas meja. Jam sepuluh pagi!

"Astaghfirullah! Sorry! Sorry! Aku kawanen iki! Tunggu sebentar ya, aku tak mandi dulu! Kamu masuk saja, tunggu di teras! Jangan nunggu di jalanan, nanti dikira orang mau minta sumbangan!" Seruku sambil melompat turun dari tempat tidur. Ponsel kulempar begitu saja keatas kasur. Handuk yang tersangkut di kapstok kusambar, lalu dengan setengah berlari aku keluar kamar. Nyaris saja aku menubruk Wulan yang tengah sibuk menyapu di selasar depan kamarku.

"KYAAAAAA ...!!!" Gadis itu menjerit sambil menutupi wajah dengan telapak tangan.

"Apa sih Lan?! Berisik tau!" Sentakku.

"Mas Bayu ini lho! Mbok ya kalau mau keluar kamar itu pakai baju dulu!" Sungut Wulan.

Aish! Aku menepuk jidatku, saat sadar bahwa aku kini hanya mengenakan celana kolor tanpa baju. Kebiasaanku kalau tidur memang seperti itu, karena udara di kota ini memang lumayan panas, dan kamar kost-ku tak dilengkapi dengan mesin pendingin udara.

"Sorry Lan! Lagi buru buru ini," tanpa merasa bersalah aku terus ngeloyor ke kamar mandi. Samar masih kudengar Wulan yang menggerutu panjang pendek.

Aku mandi dengan sangat terburu buru. Tak sampai lima menit kukira, aku sudah keluar lagi dari kamar mandi. Beruntung Wulan sudah tak berada di depan kamarku lagi. Segera aku masuk ke kamar dan mengenakan pakaian seadanya. Beberapa potong baju ganti kujejalkan begitu saja kedalam tas ransel tanpa sempat melipatnya lagi. Tak lupa laptop kumasukkan kedalam tas jinjing, karena memang benda itu yang paling penting buatku. Juga kamera DLSR yang selama ini selalu menemaniku kemanapun aku pergi. Kedua benda itu, bisa repot urusannya kalau sampai ketinggalan. Tak butuh waktu lama, begitu kurasa semua sudah siap, aku segera keluar menemui Seruni yang tengah menunggu di teras.

"Ckckckck ...!" Gadis itu berdecak heran saat melihatku.

"Kenapa?" Tanyaku tak kalah heran.

"Sampai sisiranpun kamu tak sempat lagi," jawab gadis itu sambil mengamatiku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

"Halah! Ndak usah sisiran juga aku sudah ganteng kok. Ya sudah, ayo berangkat. Keburu siang nih. Nanti panas di jalan," ujarku. Kamipun segera berjalan beriringan menuju ke mobil Seruni yang terparkir di halaman kost. Gadis itu segera membuka pintu dan duduk di jok depan sebelah kiri.

"Lho, jadi aku yang nyetir to?" Protesku, sambil memasukkan barang barangku ke dalam bagasi.

"Lha terus? Mobil wis mobilku, bensin juga aku yang ngisi, masa aku juga yang harus nyetir? Terus kamu mau ngapain?" Seruni mendelik ke arahku.

"Oalah! Pantesan kemarin ngotot ngajakin aku, ternyata kamu cuma butuh supir toh? Lha Mas Bejomu itu kemana to?" Aku ikut masuk ke mobil dan duduk di bangku pengemudi.

"Dia nanti nyusul belakangan, bareng sama keluarganya. Sudah! Ayo buruan jalan, keburu siang ini," jawab Seruni.

Akupun segera menstarter mesin mobil itu. Disaat yang bersamaan, dari arah jalan nampak sebuah motor matic berbelok memasuki halaman. Si pengendaranya langsung mengarahkan laju motornya ke mobil kami.

"Mas Bayu!" Pengendara motor itu melepas helmnya. Rena!

"Mas Bayu mau kemana?" Sambung gadis itu sambil melirik sekilas ke arah Seruni yang duduk disebelahku.

"Bukan urusanmu Ren!" Jawabku ketus. Jujur, melihatnya saja aku merasa sangat muak, teringat akan kejadian buruk beberapa hari yang lalu.

"Tunggu Mas. Aku mau bicara. Sebentar saja," kata gadis itu setengah memohon.

"Halah! Mau ngomong apa lagi?! Semua sudah jelas toh?! Aku bukan anak kecil lagi Ren, yang bisa dengan mudahnya kau bohongi! Sudah! Sana minggir! Aku mau jalan!" Sentakku kasar.

"Sebentar saja Mas! Kumohon! Aku bisa jelaskan semuanya! Yang kemarin itu, itu tidak seperti yang kau pikirkan Mas!" Tak mau menyerah gadis itu kembali memohon.

"Grruunnggg ...!!!" Sengaja pedal gas kuinjak dalam dalam, hingga suara mesin mobil itu menggerung keras. Rena buru buru memundurkan motor maticnya menjauh dari mobil. Dengan sedikit kasar, kumasukkan persneling ke gigi satu, lalu mobil itupun menyentak maju.

"Maasss ...!!!" Rena buru buru memutar motornya dan melaju mengikuti kendaraanku.

"Cah edan!" Gerutuku kesal.

"Siapa Bay?" Seruni bertanya.

"Nggak penting! Dan nggak perlu untuk dibahas!" Sungutku, masih dengan rasa kesal yang menggunung.

"Jadi itu cewek yang sudah bikin kamu patah hati?" Seruni menengok kebelakang. Dari kaca spion kulihat Rena masih terus mengikuti mobil yang kami kendarai dengan motor maticnya. Aku mendengus kesal sambil menambah kecepatan.

"Stop Bay! Stop! Berhenti dulu!" Tiba tiba Seruni berseru.

"Ada apa lagi sih?!" Aku terpaksa menepikan mobilku. Seruni bergegas membuka pintu dan melompat turun.

"Sik, enteni sedhelok yo (tunggu sebentar ya)," Seruni bergegas menghampiri Rena yang menghentikan motornya tepat dibelakang mobil kami.

"Gendheng! (Sinting!)" Kembali aku memaki sambil mencuri curi pandang lewat kaca spion. Kulihat Seruni nampak berbicara serius dengan Rena. Entah apa yang tengah mereka perbincangkan. Sesekali kulihat Rena melihat ke arahku sambil menyeka sudut matanya.

"Huh! Air mata buaya!" Sungutku. Klakson kutekan beberapa kali. Sengaja, untuk memberi isyarat kepada Seruni agar segera kembali kedalam mobil. Namun gadis itu hanya membalasnya dengan lambaian tangan, memberiku isyarat agar menunggu sebentar lagi.

Entah apa yang tengah dibicarakan oleh kedua gadis itu. Dari kaca spion kulihat beberapa kali Rena mengangguk angguk, lalu memutar motor maticnya dan melaju meninggalkan kami. Sementara Seruni dengan langkah gontai kembali masuk kedalam mobil.

"Tega kamu Bay, sampai bikin anak orang menangis begitu," ujar gadis itu tanpa sedikitpun menoleh kepadaku.

"Ndak usah menjudge orang kalau nggak tau masalah yang sebenarnya," sungutku pelan sambil kembali melajukan mobil, menyusuri jalanan kota Jogja yang lumayan padat.

"Aku dan dia sama sama perempuan Bay," Seruni menyandarkan punggungnya pada sandaran jok. "Aku bisa merasakan apa yang ia rasakan. Tak ada salahnya kalau kamu mendengarkan penjelasan dia terlebih dahulu, sebelum mengambil keputusan."

"Hufth!" Aku hanya mendengus pendek. Percuma kalau aku harus mendebat Seruni. Aku nggak bakalan menang. Jadi lebih baik aku memilih untuk diam. Suasanapun menjadi sedikit kaku. Perjalanan dari Jogja ke Wonogiri kami lalui dengan saling diam dan membisu.

Bersambung

Ipat Ipat Demang KajangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang