16 : Mbah Karyo Budheg

488 38 8
                                    

Benar apa yang dikatakan oleh Kinan tempo hari. Desa ini terlihat lebih maju jika dibandingkan dengan desa Ngantiyan. Jalanan desanya sedikit lebih luas dan sudah diaspal mulus. Berbeda dengan jalanan desa Ngantiyan yang hanya di cor beton seadanya. Rumah rumah penduduk yang berjajar di kiri lama jalan juga terlihat lebih padat. Rata rata sudah dibangun permanen dengan tembok yang halus berlapis cat berwarna cerah.

Namun suasana di desa ini terlihat lebih sepi jika dibandingkan dengan suasana di desa Ngantiyan. Sepanjang perjalanan tadi hanya sesekali aku berpapasan dengan warga yang sepertinya hendak berangkat ke sawah atau ke ladang, terlihat dari cangkul yang mereka sandang di bahu. Juga beberapa anak berseragam SMP yang berjalan beriringan pulang dari sekolah.

Sesekali aku mencoba tersenyum dan menyapa setiap orang yang kujumpai. Namun entah mengapa tanggapan mereka terasa begitu dingin. Hanya senyum kaku serta tatapan penuh selidik yang mereka berikan sebagai tanggapan atas keramahan yang coba kutawarkan. Hal itu jelas membuatku merasa terheran heran. Apalagi saat aku menanyakan arah jalan ke rumah Mbah Karyo kepada seorang perempuan yang kujumpai, orang itu justru balik bertanya kepadaku.

"Mbah Karyo yang mana?" Begitu tanya si perempuan dengan nada sedikit ketus. Memangnya ada berapa Mbah Karyo yang tinggal di desa ini, pikirku.

"Ada dua Karyo di desa ini. Mbah Karyo Dengkek dan Mbah Karyo Budheg," kata perempuan itu lagi, seolah bisa membaca pikiranku.

"Mbah Karyodimejo," beruntung semalam Pak Martono sempat menyebutkan nama lengkap laki laki yang ingin kutemui itu.

"Sampeyan ini siapa? Darimana dan ada keperluan apa mencari Mbah Karyo?" Lagi lagi perempuan itu bertanya dengan nada penuh selidik.

"Saya Bayu Bu, saudara jauhnya Mbah Karyo dari ..."

"Sampeyan bukan warga Ngantiyan kan?" Edan! Belum selesai aku bicara, perempuan itu sudah kembali nyerocos dengan pertanyaannya.

"Saya dari Jogja! Dan apa keperluan saya dengan Mbah Karyo, itu urusan pribadi saya!" Terpaksa aku mempertegas nada suaraku, sekedar untuk menekan rasa kesalku.

"Rumahnya di ujung desa sana, tepat dibelakang poskamling. Ikuti saja terus jalan ini," akhirnya perempuan itu mau juga memberi petunjuk, sambil berlalu pergi meninggalkanku. Ucapan terimakasihku bahkan tak ia gubris sama sekali.

"Wedhus!" Sungutku kesal, saat orang itu sudah pergi menjauh. Apa semua warga desa ini selalu bersikap seperti itu terhadap orang asing? Tak ada ramah tanahnya sama sekali!

Aku lalu kembali menyusuri jalanan desa yang sepi itu, hingga menemukan rumah yang aku cari. Seorang perempuan setengah baya yang belakangan kuketahui adalah anak dari Mbah Karyo, menyambutku, lalu mengantarku menemui Mbah Karyo yang tengah asyik menikmati secangkir teh di teras rumah.

"Hmmm, telapak tanganmu hangat," laki laki tua itu berkata saat aku menjabat tangannya. Lalu tangan keriputnya meraba raba di udara sebelum akhirnya mendarat di wajahku. Dahiku seketika mengernyit, saat sadar bahwa sekujur wajahku habis diobok obok oleh tangan keriput itu.

"Dan wajahmu lumayan tampan Nak. Siapa namamu? Dan darimana asalmu?" Tanya laki laki tua itu sambil terus meraba raba wajahku.

"Saya Bayu Mbah. Dari Jogja. Sengaja datang kesini untuk ..."

"Kalau ditanya orang tua itu mbok ya dijawab," laki laki tua itu memotong ucapanku. Tangan tuanya meraih tongkat yang biasa ia pakai untuk membantunya berjalan, lalu menyodok nyodokkannya kedepan hingga beberapa kali mengenai kakiku.

Ipat Ipat Demang KajangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang