17 : Orang Ketiga

494 37 9
                                    

"Jadi, sudah berapa lama kamu jadi juru kunci punden itu?" Tanyaku sambil mengiringi langkah Retno kembali ke punden.

Ya. Setelah dari rumah Mbah Karyo, aku memang memutuskan untuk ikut Retno kembali ke punden. Beruntung gadis itu sama sekali tak keberatan. Jadilah, sore itu kami berdua menyusuri jalanan desa menuju ke arah timur.

"Lumayan lama. Hampir tiga tahun kalau tak salah. Tepatnya, semenjak ayahku yang menjadi juru kunci sebelumnya meninggal, sejak saat itulah aku memutuskan untuk kembali ke desa dan meneruskan tugasnya," Retno menjawab sambil membalas anggukan dan senyuman seorang warga yang kebetulan berpapasan dengan kami. Sedikit aneh, warga yang semula bersikap dingin saat bertemu denganku, kini mendadak menjadi ramah saat melihatku berjalan bersama Retno.

"Kamu nggak merasa gimana gitu menjalankan tugas itu?" Tanyaku lagi.

"Maksudmu?" Retno menghentikan langkah sejenak sekedar untuk menatapku, sebelum akhirnya kembali berjalan.

"Ya secara kamu kan seorang perempuan. Berpendidikan tinggi pula. Sementara tugas menjadi juru kunci itu ..."

"Aku tahu kemana arah pertanyaanmu," sela Retno. "Tugas menjadi juru kunci ini sudah menjadi kewajibanku sebagai penerus almarhum bapakku, karena memang hanya aku satu satunya anak yang beliau punya. Dan aku menjalaninya juga dengan sukarela kok. Bahkan aku sangat menikmati tugas yang oleh kebanyakan orang dianggap tidak biasa ini."

"Aneh," gumamku tanpa sadar.

"Yu ..."

"Panggil saja aku Bayu atau Bay. Panggilan 'Yu' itu seperti kamu memanggil perempuan saja," protesku.

"Hahaha ...!" Retno tertawa lepas. Tawa yang baru sekali ini aku dengar dari gadis itu semenjak pertama kali aku melihatnya. "Sangat penting ya sebuah nama panggilan bagimu. Baiklah. Coba kau tatap aku baik baik Bay, dan katakan, apa yang kamu lihat dari sosokku ini."

Retno kembali berhenti, lalu memutar tubuhnya menghadap ke arahku. Mau tak mau akupun ikut berhenti dan menatapnya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

"Cantik," gumamku, lagi lagi tanpa sadar.

"Konyol!" Retno kembali tertawa sambil memukul lenganku pelan, lalu kembali berjalan. "Maksudku, orang seperti apa aku ini menurutmu Bay?"

"Kita baru kenal. Mana bisa aku menilaimu," aku menjajari langkah gadis itu.

"Ayolah! Sebagai seorang cowok, meski cuma sekilas kamu pasti sudah punya penilaian terhadapku."

"Emmm, apa ya? Sepertinya kamu sosok gadis yang tangguh, cerdas, periang, dan ..., sedikit galak. Ya! Galak! Awal ketemu kau nyaris meremukkan kepalaku dengan sebongkah batu. Aku masih ingat itu."

"Hahaha ...!" Gadis itu kembali tertawa. Sepertinya benar, dia tipe gadis yang periang dibalik sifatnya yang galak. "Maaf soal yang satu itu. Tapi, semua gadis pasti akan melakukan hal yang sama jika ada laki laki yang mengintipnya saat sedang mandi."

"Hey! Aku kan sudah bilang kalau saat itu aku tidak sedang mengintip!"

"Iya. Iya. Aku tahu. Dan aku juga sudah minta maaf untuk soal yang itu. Jadi kita impas. Dan soal apa yang kamu katakan barusan, semuanya salah!"

Ipat Ipat Demang KajangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang