24 : Malam Penuh Kesialan

433 30 1
                                    

"Wedhus! Macan wedok tenan! Meh wae sirahku ajur dikepruk kursi!" Sekuat tenaga kutendang botol minuman plastik yang tergolek diam ditengah jalan, sekedar untuk melampiaskan rasa kesalku. Kesialan yang menimpaku malam ini benar benar sudah diluar batas. Diteror mimpi buruk, menjadi bulan bulanan amukan Retno Palupi, ditambah dengan harus berlari lari menembus gelapnya malam di pematang sawah, membuatku nyaris kehilangan kewarasanku.

Entah berapa kali tadi aku harus jatuh bangun terjerembab masuk ke petak sawah orang. Jaket dan celana panjang yang kukenakan kini telah basah kuyup berlumur lumpur. Belum lagi nafas yang nyaris putus karena harus lari menanjak dari arah kali menuju ke desa ini. Dan seolah belum cukup kesialan itu mempermainkanku, kini begitu aku sampai di depan gerbang rumah Seruni, aku kembali dihadapkan pada masalah baru. Pintu gerbang besi setinggi hampir tiga meter itu tertutup rapat, lengkap dengan gembok besar seukuran kepalan tangan yang menguncinya.

Percuma sejak tadi aku menggoyang goyangkan selot gembok itu hingga beradu dengan rangka tiang gerbang besi hingga menimbulkan suara berisik. Jarak antara gerbang dengan rumah terlalu jauh, dibatasi oleh halaman seluas lapangan bola yang nampak sunyi senyap, karena para pekerja yang mendirikan tenda sepertinya telah pulang untuk beristirahat. Mustahil para penghuni rumah yang mungkin telah terlelap itu mendengar suara berisik yang kuciptakan.

"Wedhus! Asu! Jaran!" Sekuat tenaga kutendang pintu gerbang besi itu, sambil memaki dan mengumpat. Hendak menelepon Seruni untuk membangunkannya-pun juga tak mungkin, karena ponselku tertinggal di pondok Retno Palupi.

"Ah, persetan dengan semua! Mau diteriaki maling juga bodo amat! Yang penting aku bisa masuk dan segera beristirahat!" Tanpa pikir panjang, kupanjat pintu gerbang besi yang lumayan tinggi itu. Namun kesialan kembali menghampiriku. Entah darimana datangnya, selarik cahaya senter menyorot ke arahku, disusul dengan suara hardikan keras oleh si pemilik.

"Heh?! Mau maling ya?!"

Mampus! Aku kembali merutuk dalam hati. Cahaya yang menyorotiku itu semakin mendekat, diikuti oleh suara langkah kaki si empunya senter.

"Turun! Atau kuteriaki maling kamu!" Bentak laki laki si pemilik senter itu.

"Maaf Pak, saya bukan maling. Saya ..."

"Halah! Ndak usah banyak alasan! Cepat turun kalau ndak mau digebukin sama orang sekampung!"

"Wedhus!" Lagi lagi aku mengumpat dalam hati. Mau tak mau akupun akhirnya menuruti perintah orang itu, daripada nanti jadi bulan bulanan orang sekampung.

"Siapa kamu hah?! Berani beraninya berbuat macam macam di kampung ini?!" Sentak orang itu begitu aku berhasil menginjakkan kaki di tanah.

"Saya Bayu Pak, tamunya Pak Martono. Tadi habis pulang main tapi kekunci ndak bisa masuk," aku mencoba memberi penjelasan.

"Halah! Jangan percaya Kang," seru seorang lagi. Ternyata ada dua orang laki laki yang memergokiku. Dan itu membuat nyaliku semakin ciut. "Bangunkan saja Pak Martono. Biar jelas orang ini beneran tamunya atau bukan!"

"Diam disitu! Jangan coba coba untuk kabur!" Sungut orang yang pertama tadi, sambil melangkah ke arah dinding tembok pagar disisi gerbang dan menekan tombol bel yang terpasang disana. Sontak aku menepuk jidatku sendiri. Bagaimana aku sampai tak sadar kalau ada tombol bel disitu? Tak lama, nampak pintu rumah joglo itu terbuka, disusul dengan kemunculan Seruni dan Pak Martono dari dalam rumah.

"Sinten nggih? (Siapa ya?)" Setengah berteriak Pak Martono bertanya, sambil melangkah mendekat ke pintu gerbang, diikuti oleh Seruni.

"Saya Pak! Gunadi! Maaf kalau membangunkan Bapak malam malam begini. Tapi, ini lho, ada orang yang coba coba manjat gerbang sampeyan. Mau maling kayaknya," si pemilik senter menyorotkan lampu senternya ke arahku.

Ipat Ipat Demang KajangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang