Bagai maling amatiran, malam itu aku mengendap endap menyusuri pematang demi pematang sawah, ditemani oleh cahaya senter dari ponselku yang tak begitu terang. Dengung suara nyamuk yang berterbangan di sekitar telingaku tak kuhiraukan sama sekali. Juga celana jeansku yang mulai basah oleh embun yang menempel pada tanaman padi setinggi betis. Tujuanku cuma satu. Punden desa Kajang.
Bukan tanpa alasan kalau aku sampai nekat malam malam pergi kesana. Mulai besok, sepertinya aku sudah disibukkan dengan persiapan pernikahan Seruni yang sudah semakin dekat. Jadi otomatis aku tak punya waktu lagi untuk mengurus 'pekerjaanku' sendiri. Selain itu aku juga berharap, Retno Palupi bisa sedikit membantuku untuk menjelaskan tentang pupuh Kinanthi terakhir yang misterius itu.
Namun sesampainya di Punden, ternyata aku harus menelan pil pahit yang bernama kekecewaan. Jawaban Retno Palupi saat kutanyai soal misteri Pupuh Kinanthi terakhir itu tak sesuai dengan harapanku.
"Aku nggak tahu," singkat jawaban gadis itu, sambil kedua tangannya sibuk mengupas kacang rebus, dan mulutnya sibuk mengunyah isinya.
"Lho, kok bisa? Bukannya kamu ...."
"Jangan mentang mentang aku juru kunci Punden ini, lalu kau anggap aku tahu segalanya Bay. Aku bahkan sama sekali belum pernah membaca isi buku itu," tanpa sungkan gadis itu menukas ucapanku.
"Sial! Padahal aku sudah berharap banyak padamu," aku menggaruk kepalaku yang tak gatal, lalu mulai menyalakan laptopku. "Aku numpang ngerjain tugas disini boleh ya?"
"Kenapa memangnya? Kamu diusir dari rumah Pak Martono?"
"Bukan begitu. Sudah terlanjur sampai disini, malas aku kalau harus balik ke Ngantiyan malam malam begini. Lagipula disana terlalu berisik. Aku jadi nggak bisa fokus ngerjain tugas."
"Ya sudah. Tapi geser tuh mejanya. Jangan deket deket sama tempat tidurku. Dan satu lagi, jangan mentang mentang kita cuma berdua disini, terus kamu punya pikiran untuk berbuat yang macam macam saat aku tidur!"
"Cih! Siapa juga yang mau macam macam sama cewek aneh macam kamu," dengusku setengah berbisik, sambil menggeser meja menjauh dari tempat tidur.
"Apa barusan kau bilang?!" Retno mendelik ke arahku.
"Aku nggak nafsu sama gadis aneh macam kamu."
"Sialan!" Gadis itu melempar kulit kacang tepat mengenai kepalaku. "Nih, masih ada sisa kacang rebus kalau nanti kamu lapar. Kalau mau kopi bikin aja sendiri. Sama jangan lupa, kalau pulang nanti pintunya ditutup lagi. Aku mau tidur."
"Lho, kamu nggak mau nemenin aku toh?"
"Sudi amat! Kurang kerjaan banget aku nemenin kamu," Retno merebahkan tubuhnya diatas dipan, bersembunyi dibalik selimut tebal yang membungkus tubuhnya dari ujung kaki sampai sebatas leher.
"Kamu tiap malam tidur disini ya?" Tanyaku tanpa menoleh, karena kini kedua mataku mulai fokus pada tulisan tulisan yang tertera di halaman buku tua usang itu.
"Hmmm ...," hanya itu jawaban yang diberikan oleh Retno Palupi.
"Kamu nggak takut?"
"Sudah ah! Jangan berisik! Aku mau tidur!" Gadis itu menyentak sambil membalikkan badan memunggungiku.
"Ish! Cuma nanya saja kok nggak boleh," gerutuku sambil mulai sibuk mengetikkan keyword di layar laptopku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ipat Ipat Demang Kajang
Mystery / ThrillerHitam tak selamanya kelam. Putih tak selamanya bersih. Masa dan waktu yang berlalu, bisa mengubah semua menjadi kelabu. Rewrite dari cerita 'TUMBAL MANTEN KALI GANDHU' yang sudah saya publish dan tamatkan di platform Kaskus/KaskusSFTH *)Jadwal updat...