14 : Analisis Bayu

472 32 0
                                    

"Cih! Manusia terpilih konon! Terpilih apanya?!" Kulempar catatan kecil yang baru saja kubuat. Semua kata kata Retno tadi pagi di punden telah kucatat. Dan begitu kubaca ulang coretan tanganku itu, semua terlihat mustahil.

Sepertinya terlalu kebetulan kalau ternyata Seruni adalah keturunan dari Demang Ngantiyan, dan Mas Bejo yang menjadi calon suaminya adalah keturunan dari Demang Kajang. Lalu aku, aku yang tak ada sangkut pautnya dengan segala masalah dari masa lalu kedua desa ini, justru ikut terseret didalamnya, dan disebut sebagai manusia terpilih. Terpilih untuk apa? Dan kenapa harus aku?

Aku bukanlah manusia yang istimewa. Aku juga tak memiliki kelebihan apa apa. Bahkan, meski aku sering menulis cerita bertema mistis, tapi aku sama sekali tak percaya dengan segala macam takhayul atau mitos mitos yang banyak beredar ditengah kehidupan masyarakat. Aku menulis cerita cerita mistis, hanya karena cerita dengan genre seperti itulah yang saat ini paling diminati oleh pembaca. Tak lebih dan tak kurang.

Dan kini, aku dihadapkan dengan masalah yang sangat berkaitan erat dengan dunia mistis dan takhayul. Masalah yang menyeretku kedalam kancah perseteruan dua desa akibat sumpah dan dendam dari masa lalu. Apa yang bisa dan harus aku lakukan? Tak mungkin aku tinggal diam, karena masalah ini sudah menyangkut keselamatan sahabat baikku. Meski hati kecilku tak mempercayai semua omong kosong ini, namun tak ada salahnya kalau aku mulai mempersiapkan diri, karena segala kemungkinan bisa saja terjadi.

Membujuk Seruni untuk membatalkan pernikahannya seperti saran Retno kemarin? Itu sama saja dengan aku bunuh diri. Apa hak-ku untuk mencampuri urusan pribadinya? Posisiku disini bahkan hanya sebagai tamu. Masih diijinkan untuk menyaksikan sahabat sekaligus mantan cinta pertamaku itu membuka lembaran baru dalam hidupnya saja aku sudah merasa sangat beruntung. Bisa dibayangkan kalau tiba tiba aku membuat ulah dengan membeberkan semua cerita konyol yang dikisahkan oleh Retno tadi pagi. Bisa bisa Seruni bukan saja akan mengusirku dari rumah ini, tapi juga mengusirku dari kehidupannya, dan tak pernah mau mengenalku lagi seumur hidupnya.

Membiarkan Seruni tetap melangsungkan pernikahan dengan Mas Bejo? Bagaimana kalau seandainya apa yang dikatakan oleh Retno pagi tadi ternyata benar, dan kutukan sumpah itu menimpa Seruni? Itu sama saja dengan aku membunuh Seruni secara tak langsung. Sahabat macam apa yang tega melakukan hal seperti itu kepada teman baiknya?

Sial! Tanpa sadar aku menggebrak meja. Beruntung tak ada seorangpun yang melihat tingkah konyolku ini. Andai saja aku bisa menangkap basah perempuan misterius berbaju pengantin yang beberapa hari ini mengajakku main kucing kucingan dan menginterogasinya, mungkin aku bisa sedikit mendapat pencerahan.

Tapi jangankan menangkap basah dan menginterogasinya, untuk sekedar meyapanya saja aku masih belum berhasil. Terakhir melihat sosoknya saat sore itu aku kembali ke Gunung Pegat bersama Kinanthi. Itupun hanya sekilas, karena meski aku telah berusaha untuk mengejarnya, makhluk itu justru lenyap begitu saja tanpa meninggalkan jejak, bahkan sebelum aku sempat melihat wajahnya dengan jelas.

Kinanthi? Anak itu memang cerdas, dan memiliki banyak informasi tentang sejarah desa ini. Tapi ia masih terlalu muda untuk kulibatkan dalam masalah sebesar ini. Lagipula ia adalah bagian dari keluarga Karto Martono. Sama saja aku mencari penyakit kalau sampai membeberkan rahasia ini kepada anak itu.

Mungkin memang hanya Retno satu satunya orang yang bisa kuandalkan. Tapi gadis galak itu, jangankan memberi solusi, memberi informasi saja masih setengah setengah. Saran dari gadis itu cuma satu. Batalkan pernikahan antara Seruni dan Mas Bejo! Sebuah saran yang mubazir, karena aku sama sekali tak akan melakukannya.

Hmmm, sepertinya aku memang harus bekerja seorang diri, dan secara diam diam tentunya. Karena kalau sampai keluarga Karto Martono tahu rahasia ini, bisa dipastikan pernikahan antara Seruni dan Mas Bejo akan berantakan. Aku tak mau dijadikan kambing hitam atas gagalnya pernikahan sahabatku itu.

Seruni harus tetap menikah dengan Mas Bejo. Satu poin ini tak bisa ditawar tawar lagi. Soal ipat ipat atau sumpah kutukan Demang Kajang itu, mau tak mau memang harus kupatahkan, entah dengan cara seperti apa. Masih ada waktu bagiku untuk memikirkannya. Mungkin aku harus mencari orang yang benar benar memahami semua tragedi yang terjadi di masa lalu itu. Seseorang, yang masih memiliki hubungan erat dengan kisah kelam dari kedua desa ini.

Pak Martono? Jelas tak mungkin. Meski aku yakin kalau orang tua itu pasti tahu banyak soal seluk beluk sejarah desa ini. Retno apalagi. Meski dia adalah juru kunci dari makam keramat yang ...

Tunggu! Juru kunci? Tanpa sadar aku menepuk jidatku sendiri. Bukankah tadi pagi Retno sempat menyinggung bahwa 'jabatan' juru kunci itu ia peroleh secara turun temurun dari leluhurnya? Itu berarti sebelum Retno sudah ada juru kunci juru kunci yang lain. Kalau mereka masih hidup, mungkin aku bisa mendapat sedikit petunjuk dari mereka.

Yesss! Akhirnya otak cerdasku bisa bekerja juga. Dan sepertinya aku harus kembali mengacak acak desa seberang sungai itu untuk menemukan orang yang aku cari. Tak apa. Itu hanya soal kecil untuk seorang Bayu yang punya segudang akal. Tinggal menunggu timming yang tepat, dan cara eksekusi yang briliant.

Tapi sebelum itu aku juga harus tahu soal hubungan desa ini dengan Gunung Pegat. Kehadiran sosok perempuan misterius berbaju pengantin di gunung tersebut tak bisa kuabaikan begitu saja. Kalau benar sosok itu adalah penjelmaan dari Nyi Retno Selasih, untuk apa ia gentayangan sampai ke Gunung Pegat kalau memang tak ada apa apanya.

Nanti hal itu bisa kutanyakan kepada Pak Martono. Sedikit menyinggung tentang sejarah Gunung Pegat kepada laki laki itu sepertinya tak akan terlalu mengundang kecurigaan. Dan aku yakin, laki laki yang doyan mengobrol itu tak akan keberatan untuk menjelaskan apa yang dia ketahui kepadaku.

Rencana telah tersusun rapi. Segera kutulis semua rencana itu dalam buku agendaku, seperti kebiasaanku selama ini. Aku yang memiliki sifat agak teledor ini memang memiliki kebiasaan untuk mencatat semua hal yang aku anggap penting di dalam buku agendaku, sekedar untuk berkata jaga kalau seandainya hal hal itu nantinya akan kubutuhkan kembali.

Bayangan Seruni yang berkelebat mendekati paviliun membuatku buru buru menyembunyikan buku agenda itu kedalam tas kecil yang selalu menempel di pinggangku. Aku baru ingat kalau siang ini harus menemani Seruni berbelanja ke kota.

Ini saatnya untuk sedikit rileks dan menyegarkan otak yang telah terlalu lama kugunakan untuk berpikir. Berbelanja dengan mesin ATM berjalan seperti Seruni ini, hal apa lagi yang lebih menyenangkan daripada itu?

Bersambung

Ipat Ipat Demang KajangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang