30 : Akal Bulus Suryo Kencono

200 13 0
                                    

"Mampus! Kita ketahuan Nyai!" panik, aku berseru sambil berusaha menghindar. Namun terlambat. Gerakan Ki Demang ternyata sangat cepat. Laki laki itu seolah melesat terbang dan mengarah lurus ke arahku yang berdiri tepat di depan pintu. Alhasil, untuk menghindari serangan telak itu akupun menjatuhkan diri ke lantai, dan ...

"WHUUUSSSSS ...!!!" angin berkesiur keras menerpa wajahku saat kelebatan bayangan Ki Demang Kajang melesat menembus tubuhku, dan terus melesat ke halaman bangunan yang luas itu.
Kudengar tawa mengikik dari arah sebelahku. Dengan kesal kulihat Nyai Retno Selasih yang mentertawakanku sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan kanannya.

"Kenapa tertawa?!" sungutku sambil berusaha bangkit kembali.

"Kamu lucu Bayu! Lihat wajahmu, sampai pucat pasi begitu," ujar perempuan itu disela sela tawanya. Jujur, ini pertama kalinya aku melihat perempuan itu tertawa. Tawa khas seorang ningrat. Meski tertawa namun tak mengurangi kesan wibawanya.

"Senang ya mentertawakan kesialan orang," dengusku pura pura kesal. Padahal aku suka mendengar suara tawanya yang merdu itu.

"Lagian, kan sudah kubilang, disini kamu tak bisa menyentuh dan disentuh. Masih saja panik melihat ada yang melesat ke arahmu," tawa perempuan itu mulai mereda.

"Yach, mungkin aku belum terbiasa di tempat ini Nyai," aku mengalihkan pandanganku ke arah halaman, dimana nampak sosok Ki Demang Kajang yang berdiri mematung, dengan kedua tangan mengepal di sisi badannya yang tegap itu. "Eh, apa yang terjadi Nyai?"

"Kita lihat saja, ada kejadian apa setelah ini," jawab perempuan itu sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Jahanam! Siapa yang telah berani lancang memata mataiku?! PRAJURIIIITTTT ...!!!" suara laki laki itu terdengar menggelegar, memecah kesunyian malam. Beberapa prajurit nampak bergegas menghampiri laki laki itu.

"Hamba menghadap Gusti!" serempak para prajurit itu berseru takzim.

"Kalian, sebagian berjaga disini! Jangan biarkan siapapun mendekat ke tempat ini! Malam ini aku ingin menghabiskan waktu terakhirku dengan putriku! Dan sebagian lagi dari kalian, lakukan patroli ke seluruh penjuru kademangan! Jika melihat gerak gerik yang mencurigakan, tak peduli siapapun orangnya, segera tangkap dan bawa ke hadapanku!"

"Sendika dhawuh Gusti!" para prajurit itu menghaturkan sembah, lalu membubarkan diri. Sedang Ki Demang kembali masuk ke bangunan besar itu. Suasana kembali hening. Hanya suara desir angin dan nyanyian binatang malam yang terdengar menyayat hati di kejauhan sana, seolah sedang menyanyikan syair duka cita meratapi kepergian sang putri Retno Selasih.

"Ayo Bayu, kita tinggalkan tempat ini. Sudah tak ada yang perlu kau saksikan lagi disini," ujar Nyai Retno Selasih, sambil melangkah pelan meninggalkan bangunan besar itu. Kali ini tanpa menggandeng tanganku.

"Mau kemana lagi kita Nyai?" tanyaku sambil mengikuti langkah perempuan itu.

"Menghadiri acara pemakamanku," jawabnya tanpa menoleh.

***

Pagi datang menjelang. Matahari masih nampak malu malu menampakkan sinarnya di ufuk timur sana. Namun kesibukan mulai nampak di Kademangan Kajang. Di salah satu sudut Kademangan, tepatnya di sisi bekas jembatan yang semalam telah runtuh diterjang banjir, nampak sebuah liang lahat telah dipersiapkan, dijaga oleh beberapa prajurit bersenjata lengkap. Dari kejauhan nampak iring iringan jenazah yang dipimpin langsung oleh Ki Demang Kajang, didampingi oleh Raden Suryo Kencono dan seorang perempuan berpakaian ningrat yang aku yakin itu adalah ibunda dari Nyai Retno Selasih. Di belakangnya, sebuah kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda berwarna hitam berjalan pelan, mengangkut peti mati besar yang berisi jenazah Nyai Retno Selasih. Disambung dengan barisan prajurit dan iring iringan warga kademangan yang mengular, mengantar jasad sang putri menuju ke tempat peristirahatannya yang terakhir.

Ipat Ipat Demang KajangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang