06 : Perempuan Berbaju Pengantin

577 33 0
                                    

Sore berganti malam. Entah sudah jam berapa. Semenjak habis maghrib tadi aku tertidur pulas, setelah pergelangan kakiku yang terkilir diurut oleh Bu Martono dengan menggunakan ramuan beras kencur hasil racikannya sendiri.

Cukup ampuh ternyata ramuan itu. Rasa nyeri di pergelangan kakiku benar benar sudah tak begitu terasa lagi kini. Bahkan saat aku turun dari tempat tidur dan mencoba berjalan, hanya ada sedikit rasa ngilu yang kurasakan. Syukurlah! Mudah mudahan besok cidera ini sudah benar benar bisa sembuh, karena besok aku punya banyak rencana yang harus aku laksanakan.

Sisa kopi yang masih tersaji diatas meja kuteguk sampai tandas, lalu segera kuraih ponselku yang tergeletak disebelah cangkir kopi itu. Nampak di layar beberapa notif pesan yang masuk. Semuanya dari Rena. Tak kuacuhkan pesan pesan itu. Hanya satu yang kubuka dan kubaca. Pesan dari Wulan.

'Mas, sampeyan dimana? Dari pagi kok nggak kelihatan?'

Aish! Iya, aku lupa pamit sama ibu kost! Segera ku balas pesan itu. Kubilang kalau aku lagi ada urusan di rumah teman. Mungkin sebulan aku nggak balik ke tempat kost. Ponsel kuletakkan kembali setelah membalas pesan itu. Aku lalu berpindah ke meja kecil yang ada di sudut ruangan paviliun itu dan membuka laptopku.

Ya. Siang tadi aku memang sempat memohon kepada Seruni agar diijinkan untuk tinggal di ruangan paviliun yang menjadi perpustakaan pribadi milik Kinanthi itu. Agar aku bisa lebih tenang saat menulis, begitu alasanku. Padahal sebenarnya aku hanya merasa kurang nyaman jika harus tinggal di kamar yang telah disediakan di rumah induk yang hawanya terkesan singup itu. Bukan karena takut, tapi cuma merasa tak nyaman saja. Dan meski awalnya Seruni dan Bu Martono merasa keberatan dengan permintaanku, toh akhirnya mereka mengijinkan juga.

Baru saja aku membuka laptopku, mendadak ada perasaan tak nyaman yang kurasakan. Sial! Kenapa harus disaat seperti ini sih, rutukku dalam hati, sambil kembali bangkit dan melangkah keluar dari ruangan itu. Awalnya aku berniat untuk menuju ke sumur dan kamar mandi yang letaknya di samping bangunan dapur yang berada disebelah kiri bangunan rumah utama. Namun perasaan tak nyaman yang kurasakan ini sepertinya sudah tak tertahankan lagi. Tak akan sempat sepertinya jika aku harus ke kamar mandi. Apalagi dengan kondisi kakiku yang masih sedikit terasa nyeri. Akhirnya aku membelokkan langkahku menuju ke rumpun semak semak tanaman hias yang berada di sisi bangunan paviliun itu, dan menuntaskan hasratku untuk buang air kecil disana.

"Ah, leganyaaa ...," desisku saat semua hasratku berhasil aku tuntaskan. Aku kembali menaikkan retsleting celanaku, lalu melangkah bermaksud untuk kembali masuk ke ruangan paviliun. Namun langkahku terhenti saat kulihat lampu di ruangan depan rumah joglo itu masih menyala benderang. Samar samar juga kudengar percakapan yang tak begitu jelas dari dalam rumah itu.

Mungkin Pak Martono sudah pulang. Ada baiknya aku kesana saja, untuk sekedar berbasa basi dan memperkenalkan diri. Sebagai tamu di rumah ini, yang akan menginap sampai hampir satu bulan lamanya, tak elok rasanya kalau aku sampai tak menyapa si tuan rumah.

Dengan langkah tertatih, aku lalu menyeberangi halaman yang luas itu, menuju ke arah teras yang terlihat begitu sepi. Di garasi kulihat sebuah jeep terparkir disebelah mobil sedan yang tadi siang kukendarai bersama Seruni dari Jogja kesini. Benar rupanya. Pak Martono sudah pulang. Aku pernah mendengar dari Seruni bahwa ayahnya itu adalah penggemar jeep nomor wahid.

Sampai di teras, niatku untuk mengetuk pintu tertahan, karena kudengar mereka yang ada didalam sepertinya tengah membicarakanku. Timbul niat isengku untuk menguping pembicaraan mereka. Seperti apa ya kira kira tanggapan mereka terhadapku?

Ipat Ipat Demang KajangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang