05 : Perempuan Galak

588 31 0
                                    

Selesai acara makan siang, aku duduk bengong di teras rumah joglo yang terasa begitu sepi itu. Kinanthi sibuk membantu ibunya beberes di dapur. Sedangkan Seruni, gadis itu tadi pamit mau istirahat. Capek katanya, setelah tadi menempuh perjalanan yang lumayan jauh.

Bu Martono sebenarnya tadi juga mempersilahkan aku untuk beristirahat di kamar yang telah disediakan. Namun aku merasa enggan. Selain karena aku masih baru disini, suasana didalam rumah ini juga membuatku kurang nyaman.

Bukan! Aku bukannya takut. Tapi hanya merasa tak nyaman saja. Rumah sebesar ini, terasa begitu sepi karena hanya dihuni oleh Bu Martono dan Kinanthi. Pak Martono sendiri, seperti yang telah dibilang oleh sang istri tadi, laki laki itu sangat jarang berada di rumah. Pergi shubuh pulang tengah malam sudah menjadi rutinitasnya sehari hari sebagai seorang pengusaha.

Ya meski hanya pengusaha kelas kampung, namun yang kudengar usahanya lumayan banyak. Ada toko material yang lumayan besar tepat di depan pasar kota kecamatan sana. Lalu beberapa kilang penggilingan padi atau yang biasa disebut selepan oleh warga setempat, yang tersebar di beberapa desa di daerah ini. Dan usaha jual beli hasil panen para petani setempat juga tak kalah menyita waktu ayah dari Seruni dan Kinanthi itu.

Sambil menikmati sebatang sigaret yang mengepul di sela sela jemariku, kuedarkan pandangan ke segenap penjuru halaman yang begitu luas itu. Sempat terbersit niat untuk masuk ke perpustakaan pribadi milik Kinanthi, sekedar untuk membaca buku buku koleksinya demi mengusir rasa bosanku. Namun niat itu aku urungkan. Tak sopan rasanya kalau aku nyelonong masuk begitu saja tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada sang empunya tempat.

Bosan hanya duduk diam tanpa kegiatan, akhirnya aku beranjak melangkah menyeberangi halaman, menuju ke jalan desa yang membujur dari arah barat ke timur di depan rumah itu. Hamparan sawah yang menghijau terpampang di depan mataku, tepatnya diseberang jalan selebar kurang lebih empat meter itu.

Sungguh suatu pemandangan yang sangat mempesona. Susunan petak petak sawah yang berundak undak (terasering) dengan tanaman padi setinggi betis yang menghijau, menghampar dari sisi jalan hingga jauh kebawah sana, dimana sebuah sungai kecil nampak berkelok kelok dengan airnya yang mengalir begitu jernih.

Tanpa sadar, langkah kaki membawaku menyusuri pematang demi pematang sawah sambil sesekali mengabadikan pemandangan indah ini dengan kameraku. Beberapa perempuan desa yang tengah sibuk menyiangi rumput yang tumbuh disela sela tanaman padi mengangguk dan tersenyum, saat aku meminta izin untuk memotret mereka. Mereka sama sekali tak keberatan, meski sebagian besar dari mereka lebih memilih untuk menunduk dan menyembunyikan wajah saat aku membidik mereka dengan kameraku.

Ah, perempuan desa memang sangat santun dan pemalu, gumamku dalam hati. Samar masih sempat kudengar beberapa dari mereka yang menggunjingku saat aku mulai melangkah menjauh.

"Siapa laki laki itu?"

"Ganteng ya."

"Iya. Sudah ganteng, ramah dan sopan pula."

"Iya. Senyumnya itu lho, muanis banget."

"Hush! Jangan ditaksir! Sudah ada yang punya itu!"

"Siapa?"

"Lho, kalian ndak tau to? Itu kan tamunya Pak Martono. Pasti laki laki itulah calon suaminya Mbak Seruni."

"Oh, pantesan ganteng. Mbak Seruninya juga cantik gitu."

"Iya. Mereka serasi ya. Kayak Srikandi dan Arjuna."

Ipat Ipat Demang KajangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang