07 : Punden

565 35 4
                                    

Suara kokok ayam jantan membangunkanku. Untuk sejenak, aku merasa heran, saat menyadari bahwa aku terbangun di tempat yang terasa begitu asing. Hingga sepersekian detik kemudian, setelah aku berhasil mengumpulkan nyawaku, barulah aku ingat, bahwa aku sedang menginap di rumah Seruni.

Segera aku bangkit dari kursi yang kududuki, lalu melangkah menuju meja kecil tempat mesin dispenser berada. Secangkir kopi mungkin bisa sedikit meredakan rasa pegal yang terasa di sekujur tubuhku, akibat hampir semalaman tertidur diatas kursi dengan kepala menelungkup diatas meja. Semua itu gara gara foto perempuan misterius berbaju pengantin yang tak sengaja ikut terekam oleh lensa kameraku itu. Sial memang!

Sempat terbersit niat untuk kembali mengamati foto itu. Namun harum uap kopi yang baru saja kuseduh mengalahkan keinginan itu. Setelah meliuk liukkan pinggangku yang terasa begitu pegal, kutenteng secangkir kopi yang baru saja kuseduh itu menuju ke teras paviliun, dimana sebuah bangku kayu panjang telah tersedia disana. Rumah joglo besar itu nampak begitu sepi, dengan semua pintu pintu dan jendelanya yang tertutup rapat. Entah kemana perginya para penghuni rumah itu, aku tak begitu mempedulikannya, dan lebih memilih untuk membuka ponselku.

Ada chat dari Seruni, yang memberitahukan bahwa ia menemani ibunya berbelanja ke pasar. Kinanthi sekolah, dan Pak Martono sudah pergi semenjak habis Shubuh tadi. Benar benar sebuah keluarga yang super sibuk. Seruni hanya berpesan, kalau aku sudah bangun, sarapan sudah tersedia di meja makan, dan kunci rumah disimpan di lubang angin diatas pintu tengah rumah joglo itu. Lalu ada pesan satu lagi, kalau mau kemana mana tunggu sampai aku pulang dari pasar. Jangan keluyuran sendirian, nanti diculik wewe gombel. Pesan terakhir yang diakhiri dengan emoticon ngakak itu hanya kuanggap sebagai candaan. Dan tentu saja pesan itu tak akan kupatuhi. Bisa mati kesepian aku kalau harus bengong sendirian disini menunggu Seruni yang entah kapan pulangnya.

Habis kopi secangkir dan rokok sebatang, aku lalu menuju ke sumur untuk sekedar membasuh muka. Niat untuk mandi aku urungkan, saat merasakan dinginnya air sumur yang terasa menggigit kulit. Niat untuk sarapan juga aku urungkan, meski perut sudah terasa keroncongan. Memasuki rumah besar namun sepi tanpa ada satupun penghuninya yang berada di rumah, jelas membuatku berpikir dua kali.

Akhirnya aku kembali ke teras paviliun dan menghabiskan sisa kopiku. Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tanganku. Baru jam delapan lewat sedikit. Pasti Seruni belum lama perginya. Dan pulangnya juga entah jam berapa, mengingat perempuan kalau berbelanja biasanya suka lupa akan waktu.

Ingat akan hal itu, akhirnya aku memutuskan untuk keluar. Menyusuri jalanan desa, menikmati sejuknya udara pagi sambil berharap bisa menemukan warung atau semacamnya yang menjual makanan untuk sekedar mengganjal perutku yang mulai keroncongan. Namun di desa sekecil ini, bukan hal yang mudah untuk menemukan sebuah warung. Sekian puluh menit aku menyusuri jalanan desa itu, hingga sampai di ujung desa sebelah timur, hanya ada satu warung kelontong kecil yang kutemui. Nasib baik. Ada beberapa bungkus roti yang kutemukan di warung itu. Lumayan untuk menenangkan cacing cacing dalam perutku yang mulai berdemo ria.

Keluar dari warung, aku lalu menyusuri jalan setapak yang mengular ke arah selatan di sisi deretan hutan bambu yang membatasi desa itu dengan desa sebelah. Suara kicau burung yang saling bersahutan menemani langkahku di tempat yang begitu sunyi ini. Sesekali aku bersenandung, sekedar untuk mengusir rasa sepi, lalu di lain kesempatan aku membidik pemandangan indah di sepanjang jalan yang kulalui dengan kamera yang memang tak pernah lepas dari tanganku setiap aku keluar rumah.

Terlalu asyik menikmati pemandangan, membuatku tak sadar bahwa langkah kakiku telah menuntunku ke tebing sungai tempat aku terjatuh kemarin. Sejenak aku memandang ke tengah aliran sungai, berharap bisa menemukan sosok perempuan galak yang kemarin nyaris menghajarku itu. Namun harapanku sepertinya sia sia. Batu besar berpermukaan rata yang kemarin dijadikan alas untuk mencuci oleh si gadis, kini nampak kosong. Hanya nampak sisa sisa busa sabun detergent diatas permukaan batu tersebut, menandakan bahwa sebelumnya memang ada seseorang yang beraktivitas mencuci disitu. Si gadis galak itukah?

Ipat Ipat Demang KajangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang