20 : Pupuh Kinanthi Terakhir (Bag. 1)

446 34 13
                                    

Hampir tengah malam, namun gerimis tak kunjung reda juga. Dengan setengah berlari aku melintasi halaman yang luas itu, meninggalkan teras rumah joglo menuju ke paviliun. Meski hanya berjarak beberapa meter, namun gerimis yang menimpa tak urung membuat pakaian yang kukenakan menjadi sedikit lembab. Segera kuganti pakaian itu dengan yang kering, lalu dengan cekatan kuseduh secangkir kopi dengan air dispenser, sekedar untuk menghangatkan badan dan menemaniku begadang malam ini.

Ya. Rasanya sudah tak sabar untuk segera membaca buku serat Kidung Talijiwa yang siang tadi dipinjamkan oleh Retno kepadaku. Setelah duduk dan menyecap sedikit kopiku, segera kukeluarkan buku itu dari dalam tas selempangku.

Ada perasaan aneh yang menjalar dalam hatiku, saat tanganku menyentuh sampul buku itu. Perasaan, yang sulit untuk dijelaskan dengan kata kata. Hingga untuk sepersekian detik lamanya, aku hanya memandangi buku yang telah kuletakkan diatas permukaan meja dihadapanku.

Wusshhh ...! Sebersit angin dingin menerpa wajahku, saat aku membuka sampul buku yang terbuat dari kulit binatang itu. Disusul dengan semerbak aroma wangi melati yang menelusup kedalam indera penciumanku, membuat bulu bulu halus di sekujur tubuhku meremang tiba tiba.

Aku memperhatikan setiap penjuru ruangan dengan pandangan nanar. Pintu dan jendela tertutup rapat. Kipas angin di sudut ruangan juga dalam posisi off. Lalu angin darimana yang menerpa wajahku tadi? Hanya sekejap memang. Namun terasa sangat nyata. Seolah ada sosok tak kasat mata yang sengaja meniup wajahku.

Aroma wangi melati yang tercium semakin tajam membuat hidungku mulai mengendus endus, mencari sumber dari aroma itu. Terasa sangat dekat, seolah sumber bau itu berada tepat di hadapanku. Dan seolah ada kekuatan yang menuntunku, aku menunduk dan mengendus halaman buku yang terbuka di hadapanku. Tak salah lagi! Aroma wangi melati itu berasal dari lembaran lembaran kertas tebal nan usang yang tersusun menjadi sebuah buku tua itu.

"Aneh! Perasaan tadi siang saat kubuka buku ini di punden tak ada aroma wangi melati yang seperti ini," gumamku dalam hati, sambil mulai menelusuri huruf demi huruf yang tergores di halaman pertama buku tersebut. Tiga Pupuh (bait) tembang macapat Mijil, mengisahkan kebahagiaan sang Demang Kajang saat menyambut kelahiran putri semata wayangnya yang kemudian diberi nama Retno Selasih.

Tanpa sadar aku tersenyum. Sepertinya Ki Demang Kajang ini memiliki jiwa seni yang sangat tinggi. Tembang tembang yang ia ciptakan benar benar sangat sempurna, dengan pemilihan kata kata yang sangat puitis dan penuh dengan sanepa (kata kata kiasan). Sepertinya, aku harus membacanya sambil berpikir keras agar bisa benar benar memahami isi dari serat yang beliau tulis ini.

Dengan tangan sedikit gemetar aku lalu membuka halaman kedua. Kali ini berisi dua Pupuh tembang Dhandhanggula, yang menceritakan perkembangan si kecil Retno Selasih yang mulai tumbuh menjadi bocah yang sangat lucu dan menggemaskan. Lalu disusul dengan dua Pupuh tembang Maskumambang yang mengisahkan saat Retno Selasih telah tumbuh menjadi gadis remaja nan cantik jelita. Banyak pemuda pemuda yang mulai melirik kembang Kademangan ini.

Aku terus menelusuri halaman demi halaman buku tua itu. Dan entah kebetulan atau tidak, sayup sayup dari kejauhan mulai terdengar alunan suara gamelan jawa yang seolah mengiringiku menembangkan syair syair yang termuat dalam buku tersebut. Mungkin suara dari radio yang dinyalakan oleh salah satu warga desa ini, atau dari tempat lain. Entahlah!

Kokok ayam jantan mulai terdengar saat penelusuranku sampai pada halaman yang menceritakan tentang peristiwa berdarah itu. Di bagian ini sepertinya Ki Demang Kajang menuliskannya dengan penuh luapan emosi. Goresan goresan pena yang merangkai kalimat kalimat berbentuk tembang Durma itu terlihat lebih tebal dan kasar. Dadaku sampai berdebar saat membacanya.

Ipat Ipat Demang KajangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang