Jay memperhatikan penampilannya pada cermin, rambut yang biasanya ditata rapih kini dibiarkan urakan. Piyamanya tidak terkancing dua dari atas membuat dada bidangnya terlihat. Kepalan tangannya memerah dengan bekas darah kering yang menghias hampir di seluruh jemari.
Cuaca hari ini benar-benar mendukung suasana patahnya. Sedari pagi hujan turun disertai guntur yang tak mau kalah. Selimut telah terlempar sampai dekat lemari. Bed cover terpasang acak dengan bantal yang tergeletak mengenaskan di lantai. Para penyiar berita berisik itu selalu ingin ikut campur masalah pernikahannya.
Jay terlalu kolot untuk memikirkan bagaimana jalan keluar, sehingga kamarnya jadi pelampiasan atas segala kekecewaan dirinya pada mahluk tuhan. Ia masih mengenakan piyama sampai waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Berarti sudah seharian lebih, namun dirinya tak perduli. Jangankan untuk berganti pakaian, makan saja dia belum.
Tingg!
Sebuah notifikasi masuk. Jay melirik sekilas, mendapati pesan dari Niki yang bertanya kapan dia datang. Jay tersenyum kecil, sudah ia duga.
•••
Ternyata tidak semudah itu lepas dari cengkeraman keluarganya. Mobil sedan hitam miliknya telah penyok di bagian depan. Lecet goresan dimana-mana, kaca jendela pecah dan berhamburan di dalam mobil. Wajahnya pucat seperti mayat saat menatap kosong ke arah depan.
Telfon Ning berdering menandakan panggilan masuk. Dia lantas memakai ipods, lalu mendengarkan dengan seksama. Walau begitu, fokusnya masih pada jalanan. Akan sangat tidak lucu jika dirinya menabrak dan tewas karena kecelakaan. Padahal ia telah lolos beribu kali dalam maut yang diciptakan keluarganya sendiri.
“Kau baik-baik saja, Ning?” Suaranya terdengar cemas dan perduli.
“Tentu. Hanya saja ada beberapa lebam kecil sebagai perpisahan.” Ningning menjawab dengan santai. Padahal di belakangnya ada empat mobil hitam yang saling beradu untuk mengejar.
Napasnya terengah karena terus menghindari tikungan tajam.
“Kau berbohong. Ayolah, suara aspal yang berdecit karena ban mobilmu sangat terdengar sampai New York.” Ningning tertawa menanggapi perkataan pertnernya—selain Ethan—yang kini tengah mengemban misi di pusat kota negeri Paman Sam.
“Baiklah, sebelum aku menjelaskan. Bisa tolong kau diam sejenak agar aku bisa membuat mereka semua mati dengan segera?”
“Tentu saja.”
Maka tanpa berlama-lama, Ningning langsung menginjak gas dengan kencang karena matanya melihat sebuah jalan setapak di depan. Semua mobil itu mengikutinya. Membuat pola garis lurus dengan mobilnya sebagai pemimpin. Saat berada di mulut jalan, dirinya membanting stir sehingga mobilnya berputar 180° kemudian menabrak semua mobil itu dalam sekali injakan pegas.
Prangg!
Kaca mobil bagian depan hancur karena hantaman benda tumpul yang berasal dari pecahan mobil para pengikutnya. Ningning mendesis karena banyak pecahan kaca yang bersarang pada wajah maupun bajunya, ia berdiri kemudian menendang kaca itu hingga terjatuh di atas jalan yang sepi. Tangannya bertumpu pada stir mobil untuk melakukan hal heroik di tengah malam buta seperti ini.
Ningning melirik kearah spion sekali lagi. Memastikan benar-benar tiada siapapun yang mengikuti.
“Sudah selesai?” Suara itu mengagetkannya. Ternyata sambungan telfon mereka belum terputus. Hubungan Ningning dengan para partner kriminalnya memang terkadang lebih dari sekedar teman, paling baiknya sampai naik ke atas ranjang.
“Kau tahu, aku di sini sedang membayangkanmu memakai pakaian seksi lalu melakukan balapan liar. Tambahan yang tadi kau menendang kaca mobilmu sampai terjatuh, fantasiku sangat indah.”
“Itu bukan fantasi, itu nyata, kecuali di bagian ‘pakaian seksi’. Tolong kendalikan hormonmu.” Ningning menyahut kemudian mobilnya berbaur dengan satu kendaraan lain yang melintas. Kondisi jalan cenderung sepi dan remang. Ningning mendesis karena beberapa bagian wajahnya terasa perih tergores serpihan kaca tajam.
“Pasti sayangku ini berkeringat sekarang.” Pancingnya terkekeh kecil.
“Aku lepek asal kau tahu,” dengusnya.
“Setidaknya kau bisa lebih panas jika di ranjang bersamaku.”
Ningning mendecih kemudian menepikan mobilnya pada pinggir jalan. Tubuhnya letih sekali karena harus mengurusi para bajingan, pasti itu kiriman seseorang. Ada banyak pihak yang memusuhinya, berharap saja semoga dia tidak tumbang duluan karena lelah di pertengahan.
“Kapan kau akan kembali dan merealisasikan ucapan barusan? Kurasa, tubuhku sangat merindukanmu.” Di saat kelelahan begini, Ningning masih sempatnya melayangkan ujaran vulgar guna memancing lawan bicara. Trik lama.
“Aku juga merindukan bibirmu, tapi kurasa suamimu akan menghancurkan semua bisnisku saat tahu kita bermain di belakangnya.”
“Memangnya siapa yang bermain di belakang? Aku selalu bermain di depannya. Dia hampir tergila-gila padaku.”
“Aku lebih tergila-gila padamu, sayang. Kapan kita bisa bertemu?”
Ia merotasi mata malas. “Tidak dalam waktu dekat, tapi sesegera mungkin,” jawabnya bermuka dua. Terlampau bosan dengan laki-laki yang begitu mudah tergoda oleh bujuk rayunya. Jawaban itu hanya tipu muslihat. Jangankan untuk segera bertemu, Ningning bahkan tak sudi lagi tuk sekedar melihatnya bernafas.
“Semoga ... kau masih hidup sampai saat itu tiba.” Hanya ini yang bisa ia katakan sebelum menutup sambungan telepon.
•••catatan:
Ning itu beneran definisi muka malaikat berhati iblis 😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Blind (멀어) ; angrybao [✓]
Action"Pecandu yang kau hina barusan adalah istriku." *** Selain bertugas sebagai agen sindikat penjualan obat-obatan terlarang, Ningning juga lihai dalam hal mengiris daging setipis mungkin. Tak peduli apakah itu daging ikan, sapi, atau manusia sekalipun...