멀어 37

394 61 2
                                    

Dengan menggunakan hati, kita bisa melihat dengan jernih. Sesuatu yang begitu penting justru tak terlihat mata telanjang. Malam itu Ningning punya satu pertanyaan, atau mungkin seribu pertanyaan yang terus berpijar tiada henti, ada di dalam hati: Apakah mungkin dia bisa kembali tanpa tangan yang berlumuran darah?

Sudah berapa jam?

Ningning tidak ingat kapan terakhir waktu dirinya menutup mata. Saat terbangun, sekelilingnya sepi dan senyap. Begitu melirik ke arah jendela yang tirainya sedikit terbuka, Ningning mendapati kalau bulan tengah bersinar redup tertutupi awan kelabu.

Jam dinding pada ruangan itu menunjukkan pukul delapan malam. Ini bukan kamarnya, melainkan kamar asing dengan interior yang hampir tidak ada. Seketika itu Ningning terkesiap setelah mengingat kembali apa yang terjadi pagi. Tubuhnya bergerak cepat bangkit dari ranjang dan berpijak pada lantai dingin. Baru dua langkah ia berjalan, sengatan aneh menjalar dari perut sampai membuat lehernya meremang. Rasanya kebas ... juga keram di saat bersamaan.

Ia menarik nafas dalam nan panjang sembari menenangkan pikiran. Tangannya terulur untuk mengelus lembut permukaan perutnya. Dokter yang memeriksanya menekankan jika ia harus betul-betul mempertimbangkan keselamatan janinnya yang lemah, disertai sebuah surat resmi berisikan kesehatan Ningning yang belum stabil.

Kepalanya pening. Pundaknya masih terasa nyeri bekas tusukan pisau, lengannya hampir mati rasa. Keseluruhan tubuhnya pegal dan letih. Ningning memutuskan kembali duduk di tepian ranjang masih dengan memegangi perutnya yang sakitnya tak kunjung reda.

Pintu diketuk sekali dari luar sebelum dibuka perlahan, menampilkan dua sosok yang tak lagi asing dalam penglihatannya. Ningning reflek memasang wajah sinis sekaligus kesal. “Bangsat, ternyata kalian yang membawaku kemari,” umpatnya.

Fuma, dan Yuma. Dua anak buah pamannya itu memang selalu berpikiran di luar nalar manusia normal. Untuk apa mereka membantunya? Bukankah itu menjadikan posisi mereka ikut dalam bahaya mengintai?

“Jangan membuatku kesal. Kau mau kutembak?” sahut Fuma mendelik. “Vivian, kau membuat kami berdua kesulitan. Kenapa harus mencari masalah dengan ketua? Sekarang semuanya jadi rumit!” tambahnya.

“Aku tidak peduli.”

“Benarkah?” Yuma ikut sebal. “Suamimu ditikam tepat di perut, sekarang dia dirawat intensif. Sebentar lagi kau juga akan kehilangan anak dalam kandunganmu. Dia tak mungkin dibiarkan hidup selagi pamanmu bernafas.”

Ningning mencengkram erat selimut yang didudukinya. “Atas dasar apa kau bicara begitu, Yuma? Kau tidak berhak mengatakannya!” balas Ningning berteriak. “Jay tidak apa-apa. Dalam beberapa hari dia pasti pulih kembali. Lalu, anak ini ... aku tak tahu apa yang menantiku di depan sana, tapi sebisa mungkin aku ingin dia tetap bertahan.”

“Apa yang bisa kau berikan untuknya, Jeo? Apa ada hal yang bisa kau banggakan saat anakmu lahir? Pecandu, atau pembunuh? Fakta mana yang pertama kali kau beritahu?”

“Jay mengatakan semua akan baik-baik saja.” Nada suara yang tadinya terdengar tegas dan lugas kini berubah jadi sendu. Mungkin pepatah itu benar, cinta dapat melembutkan hati seseorang.

Fuma mendecak kencang lalu menyodorkan pistol pada kening Ningning. “Selalu saja Jay yang kau jadikan tameng ketidakmampuanmu dalam menjalankan hidup. Buka matamu! Apa yang kau harapkan dari nasib orang-orang seperti kita? Hidup penuh kedamaian dan kebahagiaan? Ini bukan adegan novel!” gertaknya geram. Ningning merebut pistol tersebut dan balik menyodorkannya pada kepala Fuma.

“LALU KAU INGIN AKU MELENYAPKANNYA?!” Ningning marah. Jemarinya bersiap di dekat pelatuk.

“Ya.”

Ningning termenung saat mendengar jawaban Fuma. Ia menggeleng cepat.  “Jika aku mati, baru anak ini akan mati.” Ia menurunkan pistol tersebut. “Untuk apa aku melepasnya? Apa ada jaminan aku hidup setelah aku melakukan hal bodoh itu?”

Setelah melihat sikon yang lebih baik, akhirnya Yuma angkat bicara. “Ning, dengarkan aku.”

Ia mendekat pada Ningning dan berjongkok di hadapan perempuan itu. “Dunia yang selama ini kita kenal hanya berisi kegelapan dan merah darah. Bau tembakau juga hisapan ganja. Kau ingin dia merasakan hal itu juga? Tak ada jaminan anakmu akan terbebas dari permainan keluargamu. Kau harus memikirkannya.” Ia berujar lembut dan penuh pengertian.

Ningning mendengarnya sampai akhir, lalu membuat raut wajah tegas. “Aku sudah memikirkan semuanya jauh sebelum hari ini tiba. Jika memang aku diberi kepercayaan menjaga anak ini, kenapa aku harus menghindar? Dunia ini luas. Kegelapan yang kita lihat hanya bayangan dari tempat yang disinari cahaya benderang.”

Yuma sepenuhnya mengerti perasaan Ningning. Seorang anak yang tak pernah mendapatkan peran keluarga akhirnya tanpa sadar bergantung pada orang yang memberinya banyak cinta. Ningning bersedia merubah seluruh hidupnya hanya untuk mempertahankan satu kebahagiaan kecil yang pernah ia rasakan; dicintai oleh Jay. Segala perhatian kecil yang Jay beri selama pernikahan mereka pasti membuat Ningning merasa hidup serta bernafas seperti manusia kebanyakan.

Yuma tidak bisa menyalahkan keputusan Ningning, jika dipikir-pikir sebenarnya sangat wajar bila perempuan ini ingin mempertahankan calon bayinya. Hidup Ning selama ini begitu berat, Ningning pasti tak akan membiarkan anaknya mengalami semua tipu muslihat pamannya. Jika Ningning mengambil langkah untuk melenyapkan, maka dia sama saja seperti keluarganya.

Yuma menggenggam tangan Ningning sebentar. “Bagaimana dengan pamanmu? Juga ayahmu dan klanmu. Mereka pasti menentang kuat lahirnya penerus dari darahmu.” Ia menatap perut Ningning dan ingin mengelusnya sebelum dicekal kasar oleh sang empu.

Ningning menutup perutnya dengan kedua tangan. “Bukannya sedari awal aku tak pernah diakui dalam silsilah mereka? Tinggal anggap saja anak ini juga tidak ada, lalu mereka hidup seperti biasa mengedarkan narkoba. Apa susahnya?”

Fuma akhirnya mengerti kenapa sejak tadi Yuma memilih bicara lembut. “Tak semudah itu.”

“Pamanku yang menjadi alasan aku harus menggugurkan anak ini, kan?” Ningning menatap Fuma serta Yuma bergantian. “Jika dia mati, anakku tetap hidup?” Mereka berdua dengan ragu mengangguk tipis.

“Kalau begitu—“

“Ning,” sela Yuma terkejut. “Kau mau membunuhnya? Apa kau sadar soal keputusanmu?”

“Nafasku masih berderu, berarti aku sepenuhnya sadar.” Ningning tertawa kecil. “Aku akan segera mengakhiri sandiwara kegilaan ini, Yuma. Bahkan jika nyawaku taruhannya, aku bersedia tanpa keraguan.”

•••

catatan:

Nanti kita semua bakal tau segila apa Ning saat bahas kematian 😭

Blind (멀어) ; angrybao [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang