멀어 22

483 57 6
                                    

Aku dengar, kepala koki Tuan Besar dan beberapa pekerjanya dihukum mati. Mayat mereka digantung tanpa lengan.”

Ningning sedikit terkejut mendapati jika bukan pamannya yang telah menaruh racun pada makan siangnya kemarin. Sudah empat hari ini dia tinggal satu bangunan dengan orang yang memberikan titah menghabisi keluarganya. Ia diperintahkan datang ke kediaman sang paman karena mereka sudah tahu soal pernikahan Jay dan Ningning. Entah perlakuan macam apa yang akan Ningning dapat, yang jelas maut selalu berdampingan dengan garis hidupnya. Satu hari ini dia bisa hidup, mungkin besok tak ada lagi kesempatan.

“Dan, apakah anak ini adalah si darah kotor yang selalu dibicarakan keluarga besar?” tanya seorang pemuda yang merupakan sepupu Ningning. Masing-masing dari mereka tidak mau mengakui keterkaitan darah yang tersambung.

Seolah memang selalu menjadi bahan ejekan. Ningning menduga bahwa seumur hidupnya ia akan mengalami berbagai sapaan kurang ajar dari tiap-tiap elemen manusia. Tentu Ningning terusik dengan ejekan itu, tapi mau dilawan seperti apapun, nyatanya perkataan mereka benar. Dia hanya darah kotor yang beruntung masih bisa diampuni dan diakui oleh ketua klan.

“Kalau kalian lupa namaku, biar aku memperkenalkan diri sekali lagi.” Ningning menggunakan jari lentiknya berpindah tempat menyusuri dada bidang sepupunya. “Aku Koga Nishi, anak tunggal Koga Yudai yang merupakan sulung kedua setelah Tuan besar. Derajatku masih jauh di atas kalian. Meskipun aku darah kotor, seharusnya kalian lebih menghormatiku.”

Para sepupu Ningning yang tadi menyapa dengan ejekan pun langsung terdiam. Mereka mematri sebuah senyuman dengan raut wajah yang memang pucat seperti mayat. Salah satu dari mereka lantas menjulurkan tangan kanannya, berharap Ningning mau bergandengan tangan menuju ruang makan utama di rumah ini.  “Kalau begitu, mari makan bersama kami, Kakak.”

Sorot mata sinis Ningning seperti menelanjangi dua orang sepupunya, mengisyaratkan bahwa ia tak sudi. Tidak lupa pula meninggalkan senyum menyindir.

Ningning menoleh pada seseorang yang sedari tadi berdiri menyandar pada tembok dapur memandangi perdebatan kecil mereka bertiga. Sekilas berujar sebelum pergi, “aku akan selalu mengikuti perintahmu, Paman. Kau tak perlu takut aku melarikan diri.”

Tanpa menunggu sekedar anggukan sekali pun, Ningning pergi meninggalkan dua sepupunya dan sang paman yang mematung di tempat. Bagaimana mungkin Ningning mendapat keberanian sebesar itu untuk membuka pembicaraan lebih dulu dan berujar kurang sopan pada ketua?

Itu karena Ningning sudah tau ceritanya. Sang Ayah sadar tanpa klannya dia menemui banyak kesulitan hidup. Dia ingin kembali dengan menyerahkan bayinya yang dianggap aib. Kakak tertua menyuruh Kei untuk melempar Ningning yang baru lahir dalam kobaran api. Ibu Ningning yang melakukannya, tapi Ayahnya memungut bayi itu kembali, yang mana itu artinya dia bukan siapa-siapa lagi.

Itulah sebab mengapa Ningning mempunyai bekas luka bakar di sekitaran kakinya.

•••

Rumor mengenai sebuah hubungan terlarang yang terjalin antara si anak buangan dan pebisnis sukses belakangan ini panas di semua media kabar sehingga mampu menggemparkan para penerus klan, cukup membuat perdebatan tak berarti yang melejit tinggi.

Semua orang membicarakan nama pria itu—yang mereka kenal sebagai Jay Wen—si biliuner muda yang mempunyai banyak nyali melanggar aturan klan mereka. Seorang asing begitu berani menikahi keturunan darah kotor tanpa sepengetahuan dan izin para tetua, seharusnya pasangan itu dihukum. Desas-desus tak benar mulai bicara, ada berita yang menyebutkan Ningning tengah mengandung sebelum menikah dengan sosok tersebut. Maka, dengan ditaburkannya bara, api semakin berkobar tinggi seiring terus diterpa angin-angin badai.

Banyak hal telah terjadi selama mata terkatup tidur tanpa kenal letih.

“Kau bisa hidup karena pengorbanan banyak orang. Ibumu, juga seluruh keluarganya. Nafasmu adalah hasil dari kematian mereka, Hide.” Satu perempuan yang merupakan adik bungsu dari persaudaraan Kei angkat bicara. “Begitu banyak darah yang mengalir di tanganmu, dan sekarang dengan tidak tahu malunya kau malah mengkhianati kami?”

Ya, Ibu Ningning merobek perutnya untuk bunuh diri. Sedangkan Kei melakukan sisanya—membantai habis keluarga istrinya—setelah mendapatkan kepastian jika Ningning mendapat pengampunan. Sisa dari itu, dia akan menebas leher siapa saja yang tersisa. Mereka yang menghalangi jalan klan, akan berakhir pada bilah katananya yang selama ini dibiarkan lapar.

“Aku tahu.” Ningning menjawab singkat. “Aku juga tak mengharapkan pernikahan itu terjadi. Itu semua diluar kekuasaan dan kemauanku. Pernikahan kami hanya kontrak, semuanya akan berakhir dalam enam bulan ke depan.” Ia menoleh pada satu-persatu orang yang duduk di meja makan panjang.

“Kami memberimu hidup.” Sepupunya ikut mengompori.

“Tidak. Kalian hanya mendekatkan kematian pada orang-orang di sekelilingku,” bantah Ningning dengan wajah setengah merah padam. Ia sudah banyak minum sepanjang hari.

“Ya, dan kami akan melakukannya juga untuk yang satu ini.”

“Kalau begitu lakukan saja. Suamiku tak selemah itu untuk kalian remehkan.” Ningning kelepasan satu cegukan kecil saat bicara pada yang lebih tua. Pandangannya sedikit buram, cara bicaranya membuat mereka yakin kalau sebenarnya Ningning sudah rusak.

“Kemauanmu akan segera terkabul.” Sulung tertua di ruangan tersebut angkat bicara. Bangkit dari duduknya dan mengeluarkan sebuah telepon genggam.

“Aku akan segera menceraikannya.” Ningning bergumam lalu ikut berdiri. “Beri aku waktu, maka aku berjanji akan meninggalkannya.” Ia mengambil napas dengan berat, paru-parunya terasa sesak karena hampir kehilangan kesadaran atas pikirannya sendiri.

“Meninggalkan? Kau sudah banyak berjanji untuk meninggalkan tiap pasanganmu terdahulu, sekarang kau juga mau sebatas itu?”

“Apa lagi memangnya yang kalian ingin?”

“Kau tahu jelas jawaban dari pertanyaanmu.” Pamannya angkat bicara, memberikan bahasa isyarat agar orang-orang yang tak berkepentingan seperti para sepupunya dibawa pergi dari meja makan.

Tangan Ningning masih setia menggenggam sebuah garpu di atas meja, menggenggamnya erat sebagai pelarian rasa amarah yang membumbung tinggi sampai kepala. “Ya, tentu. Bodohnya aku sampai bertanya padamu.” Dia tersenyum manis namun cenderung dipaksakan.

“Kau cukup tentukan waktunya seperti biasa dan semua hal akan terjadi sesuai kehendakmu, bukan?” Ningning memperjelas karakteristik sang paman.

“Satu minggu.” Sang paman mengangkat satu jarinya pada Ningning.

“Setidaknya berikan aku waktu dua bulan. Dengan jangka waktu itu, aku akan membuat biliuner itu tergila-gila padaku dan merasakan betapa menyedihkannya arti hidup.”

“Satu bulan. Lebih dari itu aku sendiri yang akan turun tangan membunuh kalian berdua.” Pamannya menyodorkan gelas kecil berisi cairan beralkohol tinggi. “Kau tahu kalau aku bukan orang yang suka menunggu, kan? Selesaikan semuanya seperti biasa.”

Ningning menerimanya dan langsung menghabiskan isinya dalam sekali teguk, berdirinya mulai lemas. “Tentu, kau akan segera mendapat kabar bahagia itu.”

•••

catatan:

Biarin Ning bunuh Jay supaya Ning tetap hidup. Apa tunggu sampe pamannya aja yang bunuh mereka berdua? 🙏

Blind (멀어) ; angrybao [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang