Flashback on.
Pada dasarnya Ningning sedari kecil tak kenal rasa sakit, tidak juga ia pernah menyerah soal garis hidupnya. Sarung tangan hitam sudah membungkus kedua tangannya sebelum memegang dua senjata laras pendek. Target mereka adalah tiga orang di dalam ruangan sana, ruang besar tempat biasanya para eksekutif perusahaan berada.
“Skenarionya adalah tembak semua orang di sana, paham?” Pamannya memberikan arahan singkat namun jelas.
“Hanya tembak saja?” tanyanya menaikkan alis.
“Tugasmu hanya menembak. Sisanya biar urusan saudaramu yang lain,” jawab sang paman sambil matanya memperhatikan para keponakannya yang sudah siap sebagai penyerang jarak dekat. Ningning ditempatkan pada kejauhan.
Ningning mengangguk paham.
“Jangan lupa buat salah satu di antara mereka sebagai tersangka. Tinggalkan sidik jarinya pada pistol dan buat polisi berpikir seolah mereka saling membunuh untuk bertahan hidup.”
Pamannya mengulas senyum penuh kebanggaan. Ia pun menjauh dari jangkauan Ningning dan membiarkan keponakannya fokus pada tugas yang diberikan. Hanya tinggal menunggu aba-aba, dan semuanya akan berjalan sesuai seperti apa yang telah mereka semua rencanakan.
•••
“Apa Ayah berharga?” Seorang pria sekiranya berumur separuh abad terlihat bertanya pada anak bungsunya yang baru hari ini menginjak tujuh belas tahun. “Ayah rasa, Ayah tak pantas mendapatkan penghargaan apapun darimu,” tambahnya dibawah guyuran hujan malam ini.
Gemuruh saling bersahutan di luar, sekarang langit hampir seluruhnya tertutupi awan merah muda. Kilat menyambar di langit, suara jatuhnya air membuat siapapun terlena dalam ketenangannya.
“Lebih baik Ayah pergi sekarang, karena aku sedang tak ingin bicara dengan siapa pun,” sahut anak bungsunya yang kita ketahui bersama adalah Jay Wen. Di sebelahnya ada sang Kakak, Junhui Wen yang setia menemani adik kecilnya.
“Sebelum Ayah pergi meninggalkanmu, Ayah ingin bicara satu hal penting.”
“Ayah ... Jay bilang dia tak ingin bicara.” Jun menengahi mereka berdua, tapi sang Ayah juga sama keras kepalanya seperti Jay. Tuan Wen berjalan cepat menyambar tangan Jay yang sedang terduduk di atas sofa.
“Sekarang Jay sudah dewasa, umurmu sudah tujuh belas. Jay pasti sudah tertarik membantu Ayah dan Jun untuk mengelola bisnis. Nanti Ayah akan memberikan beberapa cabang perusahaan sebagai bentuk pelatihan.” Ayahnya itu membetulkan posisi kantung jas milik anaknya.
“Jay juga pandai bicara bahasa Prancis dan Mandarin. Nantinya kau tidak akan kesulitan memimpin perusahaan kita.” Ia berusaha meyakinkan.
“Ayah!” Jun meninggikan suara bukan karena merasa tidak terima seluruh cabang perusahaan akan berpusat pada nama adiknya, tapi Ayahnya benar-benar keterlaluan.
Jay masih tujuh belas tahun dan sudah diberi tanggung jawab sebesar itu?! Jun ingin adiknya bisa mendapatkan masa remaja yang menyenangkan, bukan berkutat dibalik lembar kerja memuakkan.
“Jay masih duduk di bangku sekolah menengah atas!” Jun marah. Ia tak masalah soal menggantikan posisi Jay sementara waktu sampai anak itu lulus sekolah. Bukan karena dirinya menggilai jabatan atau kekuasaan, tapi Jay tak boleh kehilangan masa-masa sekolah hanya karena perusahaan mereka.
“Sama sekali bukan masalah. Jay mulai hari ini bisa belajar dan bekerja ketika masih muda.” Ayahnya kolot. “Segala sesuatu yang telah Ayah bangun sampai saat ini, Ayah berencana menyerahkan pada Jay secepatnya.”
Sekarang perhatiannya terfokus hanya pada putra sulungnya, Junhui. “Jay adalah satu-satunya putraku yang telah diakui pebisnis lain bahkan sebelum memegang jabatan, otaknya kelewat pintar. Dia adalah sumber harapanku.” Seolah bukan masalah ia hanya mengakui Jay sebagai ‘satu-satunya’ tanpa menghiraukan keberadaan Jun yang juga merupakan anaknya. Perbedaan limpahan kasih sayang itu benar adanya.
“Kau tak ingin memberikan sesuatu pada Jay? Anak kesayanganmu sedang berulang tahun.” Jun menyindir.
Ayahnya mendecak sekali kemudian tersenyum lebar ketika merogoh saku bagian dalam jasnya sendiri. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam dan meletakkannya di atas meja kaca di hadapan mereka semua.
“Di belakang jamnya ada ukiran namamu. Ayah harap kau suka dan mau memakainya sesekali.”
“Tentu, sekarang silakan keluar.” Jay menatap kotak jam tersebut dan menunjuk pintu keluar, bermaksud agar sang Ayah tak berbasa-basi apapun lagi.
“Baiklah.” Tuan Wen bangkit berdiri lalu menatap satu-persatu anaknya sebelum berbalik pergi meninggalkan mereka. Ia menoleh sekali lagi, kemudian membuka pintu ruangan dengan penuh keraguan.
Dorr!
Dorr!Dua timah panas mendarat tepat di bagian dada dan perut, ia mundur selangkah ke belakang dan perlahan tumbang terkapar bersimbah darah. Jun dari jauh langsung menerjang dengan pistol di tangannya, ia sudah dilatih menembak selama beberapa tahun dan pasti bisa menemukan arah dalang penembak sang ayah.
“Ayah!” Jay berteriak lalu ikut berlari mendekati tubuh Ayahnya sementara Jun keluar dan menembaki beberapa orang yang terlibat. “Ayah, bertahanlah!” Ia menekan dada dan perut sang Ayah dengan tangan gemetar ketakutan. Ia memang sudah diajari bagaimana cara menembak, tapi ia belum terbiasa melihat pertumpahan darah.
Tuan Wen terlihat semakin lemah. Tubuhnya lemas karena kehilangan banyak darah, wajahnya pucat. Dalam dekapan anaknya ia mulai kehilangan kesadaran. “Ayah! Tetaplah bersamaku!” Jay terus menepuk-nepuk pipi Ayahnya.
“Ayah akan terus bersamamu, Jay. Ayah menyayangimu.”
Mau tak mau, tanpa bisa dicegah atau pun diatasi, Jay menangis dan terisak kecil ketika Ayahnya mulai mengucapkan kalimat-kalimat perpisahan.
“Jun! Jun, cepat kemari!”
“Jun, panggil ambulans!”
“JUNHUI CEPAT PANGGIL AMBULANS!”
“Jun.”
“Jun, dia tak bernafas ....”
“Kakak ....”
“Aku tahu, aku sepenuhnya tahu dia tak akan bisa selamat.” Jun menjawab frustasi. Sejak awal dia tahu kalau Ayahnya tak bisa diselamatkan. Percuma jika mereka memanggil ambulans atau apa pun, karena memang peluru yang digunakan bukan peluru sembarangan dan pasti hanya membutuhkan waktu singkat efeknya menyebabkan kematian.
“Aku belum siap, Jun. Aku belum ... bagaimana caranya aku bisa menjadi pemimpin?” Jay menutup wajah sembabnya menggunakan telapak tangan berlumur darah basah milik Ayahnya sendiri.
“Kau bisa. Kau adalah Jay Wen. Putra kebanggaan yang diakui oleh Wen Ilsung. Percaya padaku, aku akan menjadi tamengmu.”
•••catatan:
Jangan berpikir negatif ke Jun, ya. Dia baik banget sama Jay.. tapi kalian ngerasa ada yang aneh gak sih? 🌝
KAMU SEDANG MEMBACA
Blind (멀어) ; angrybao [✓]
Action"Pecandu yang kau hina barusan adalah istriku." *** Selain bertugas sebagai agen sindikat penjualan obat-obatan terlarang, Ningning juga lihai dalam hal mengiris daging setipis mungkin. Tak peduli apakah itu daging ikan, sapi, atau manusia sekalipun...