get to know

506 82 1
                                    

🌼🌼🌼

Tubuh anak kecil itu memar dimana-mana. Ada garis memanjang yang mulai menghitam di sepanjang pungungnya. Dan tidak hanya satu, ada empat luka yang sama. Pipi anak laki-laki itu sangat kurus cenderung cekung. Bahunya memar begitu juga dengan kedua lengannya.

"Kemungkinan ada yang bergeser atau tulang yang patah b. Harus kita rontgen dan cek lebih jauh sebelum tindakan seperti operasi jika dibutuhkan. Keluhan pusingnya sudah berapa lama, bu?"

Serra masih bisa mendengarkan suara Dokter Evelyn menjelaskan pada wali pasien. Tapi matanya tidak bisa lepas dari anak kecil yang terus meringis kesakitan. Tak bisa menahan diri, Serra lalu kembali mendekat pada anak itu. Menyibak celana panjang yang digunakan sang anak untuk menemukan memar yang sama di sekujur kakinya.

"Dia bukan jauh dari pohon."ucapnya datar. Menatap sang ibu yang tampak kaget mendengar hal itu.

"Serra--"

Serra menoleh pada Evelyn yang tengah menggelengkan kepala dengan pelan. Seolah memintanya untuk diam. Serra lalu menunduk, kembali berjalan ke sisi Evelyn namun dengan sengaja berjalan sangat dekat dengan sang ibu dan menyenggol lengannya.

"Aduh."

Suara reflek yang diberikan oleh sang ibu membuat Serra dan Evelyn saling tatap. Keduanya seolah paham isi kepala masing-masing.

"Tindakan yang diambil harus dibawah persetujuan walinya. Ibu atau ayahnya yang akan jadi penjamin?"

Pertanyaan Evelyn dijawab kaku oleh sang ibu. "Saya saja, dok."

"Baik kalo begitu. Ibu bisa mengurus administrasinya ya untuk segera dilakukan tindakan."

"Saya harus ninggalin anak saya?"

Evelyn mengangguk pelan. "Gak apa-apa. Anak ibu aman disini. Lebih cepat ibu mengurus administrasi lebih cepat juga kami melakukan tindakan."

Sang ibu tampak ragu. Ia berulang kali menatap anaknya yang masih meringis di ranjang lalu menoleh pada seseorang yang duduk di kursi tunggu tak jauh dari mereka. Sampai akhirnya seorang laki-laki yang tadi memperhatikan berdiri lalu menghampiri.

"Apaan?"

"Harus dioperasi, Pak. Kemungkinan ada patah tulang."

Laki-laki itu tampak tak percaya. "Halah. Udah minta obat aja kayak biasa. Nanti juga sembuh."

Pernyataan itu membuat Evelyn dan Serra menoleh bersamaan. "Kayak biasa? Sudah sering jatuh dari pohon begini, pak?"tanya Evelyn hati-hati.

Laki-laki itu tampak kaget ditanya balik. Ia menggaruk telinganya lantas mengibaskan tangan.

"Udah. Bawa pulang aja."

"Ta-tapi katanya harus operasi, pak. Tulangnya patah."cicit sang ibu.

"Lu denger gua kagak? Gua suruh pulang, ya pulang!"

Mendengar hal itu, Evelyn langsung mundur. Menarik Serra bersamanya. Lalu mengisyaratkan pada perawat untuk berjaga-jaga dan memanggil keamanan.

"Dia bukan jatuh dari pohon, kan?"pertanyaan itu dilontarkan Serra datar. Membuat si ayah melotot padanya lalu menatap berang si ibu.

"Lu ngomong apa?"

"Gak ada."balasnya takut.

"Ibunya gak ngomong apa-apa. Tapi dari luka di tubuh anak bapak seperti korban kekerasan."

Evelyn berdecak mendengar ucapan Serra yang datar. Terlampau datar hingga terdengar tak sopan.

"Lu nuduh gua?!"tanpa diprediksi siapapun. Laki-laki itu mengeluarkan cutter dari kantung jaketnya. Mengayun pada si ibu. "Lu ngomong apa?!"

The Night BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang