try to get you

536 80 11
                                    

🌼🌼🌼

Celana bahan berwarna hitam memeluk pinggul hingga kakinya dengan pas. Ditemani kemeja putih yang dilapisi jas yang berwarna hitam tampak begitu cocok ditubuhnya yang tegap. Di lehernya menggantung dasi hitam dengan dua garis miring berwarna putih sebagai pelengkap. Kakinya dibalut sepatu formal yang juga berwarna hitam. Di tangan kirinya yang sudah tidak lagi di gips melingkar jam tangan mewah yang Serra tebak harganya tidak kurang dari satu milyar.

Tipikal keluarga kaya raya yang senang memakai barang-barang bernilai tinggi.

"Saya rasa Pak Ryan harus berhenti datang ke rumah sakit."

Alisnya terangkat mendengar kalimat yang diucapkan Serra. Gadis itu mengedikkan bahu pada beberapa orang yang kini terang-terangan menatap ke arah mereka. Terlebih keduanya kini sedang duduk di sebuah meja di sudut kantin rumah sakit.

"Kenapa?"

"Karena orang-orang mulai bertanya tujuan bapak datang terus padahal tangannya sudah sembuh."

Aldric mengulum senyum.

"Hm. Padahal dulu saya sering ditanya kenapa jarang ke mengunjungi rumah sakit. Sekarang giliran datang malah ditanya kenapa juga."

Serra menelengkan kepala. Menyeruput es teh tawarnya sembari menatap Aldric yang juga melakukan hal yang sama. Menopang wajahnya dengan telapak tangan lalu menatap Serra tanpa berkedip.

"Memangnya kenapa bapak jadi sering datang ke rumah sakit padahal sebelumnya enggak?"

"Menurut kamu?"

Ditanya balik tentu saja membuat Serra mendengus. Ia tidak suka jika sedang bertanya malah ditanya balik.

"Ya, gak tahu. Makanya nanya."

"Jangan galak-galak, Serra. Saya takut."

Kalimat itu membuat Serra menggelengkan kepala bingung. Ia lalu memilih untuk kembali menunduk pada buku yang terbuka di hadapannya.

"Kamu gak jadi ambil orthopedi?"

"Siapa yang bilang saya akan ambil orthopedi?"

"Gak ada sih. Saya nebak aja. Soalnya sewaktu saya masih di rawat setiap lihat kamu selalu bawa buku orthopedi kemana-mana."

Serra mengangguk. Menuliskan sesuatu di kertas tempal yang ada di ujung bukunya. "Itu karna saya sedang merawat pasien orthopedi."

"Sekarang kamu sedang merawat pasien apa jadi baca soal penyakit dalam?"

"Gak ada."

"Lho?"

Mengangkat wajah menatap Aldric. Serra menggeleng. "Saya cuman lagi tertarik aja. Jadi mau tahu lebih banyak."

Laki-laki dihadapannya ini mengangguk-anggukkan kepala paham. Masih dengan bertopang dagu menatap Serra yang akhirnya menaruh pensilnya dan balik menatap Aldric dengan cara yang sama.

"Jadi, kenapa bapak datang terus ke rumah sakit?"

"Memangnya gak boleh?"

"Yang punya juga keluarga bapak. Sebenarnya pertanyaan itu gak perlu harus dijawab."gumamnya kemudian. Namun tetap menuntut jawaban.

"Hm, Serra."

"Ya?"

"Memangnya saya setua itu untuk kamu panggil bapak? Padahal sama Razka kamu gak panggil bapak."

Serra tersenyum rikuh. Ia mengambil ponselnya lalu mengetikkan sesuatu. Sebelum bersuara membacakan apa yang tertulis di layar ponselnya.

"Aldric Ryan Sanjaya. Anak kedua dari Raka Sanaja yang kini berumur tiga puluh tahun ini sudah banyak mengukir prestasi dari pencapaian yang ia lakukan."Serra diam sesaat. Menaruh kembali ponselnya untuk menatap Aldric.

The Night BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang