Society

700 64 18
                                    

Aku deg-degan nulis ini, terus ga sabar mau shareee

🌼🌼🌼

Keputusan yang dibuat Serra tidak berjalan begitu baik. Memilih kembali menjadi dokter internship dinaungi oleh dokter umum yang memilih untuk berjaga di Instalasi Gawat Darurat setiap harinya. Keputusan yang mendapat restu secara tidak langsung oleh pemilik rumah sakit--Neysha, membuatnya sedikit kewalahan. Serra menjadi tidak punya banyak waktu untuk memikirkan jenjang karir lain karena dirinya sudah menghabiskan hari di rumah sakit.

Hal itu ditangkap oleh orang tuanya ketika berkunjung ke Jakarta.

"Bukannya kamu bilang akan belajar lebih banyak untuk bisa nentuin spesialis yang mau kamu ambil?"suara Nimaz terdengar amat datar dan cenderung lebih dingin. Membuat Serra menghela napas panjang sebelum mendongak untuk menatap sang ibu yang bersandar sembari memangku tangan.

Serra seperti tengah disidang pada sore itu. Mama dan Papanya tiba-tiba datang dan langsung berkunjung ke Sanjaya's Hospital. Tak ayal juga bertemu dengannya yang baru keluar dari IGD berlarian menuju ambulance yang baru saja datang lantas ikut mendorong bankar pasien korban kecelakaan.

Tahu bahwa dirinya tak bisa kabur, siang itu Serra hanya bisa menjanjikan akan bertemu mereka di sore hari. Pun janji itu hanya bertemu di kantin rumah sakit. Seperti saat ini.

"Papa sama Mama kapan sampai? Kok gak ngabarin aku kalo mau ke Jakarta?"

Diaz berdehem. Melirik istrinya sebelum menjawab. "Tadi pagi, sayang. Sengaja mau kasih kejutan. Sudah lama Serra gak pulang, jadi papa sama mama berpikir mungkin sesekali Serra perlu ditengok."

Mendengar itu, Nimaz langsung buang muka. Menatap pada jendela kaca di samping mereka. Serra yang tahu bahwa sang ibu menahan diri untuk tidak banyak bicara hanya mengangguk.

"Papa sama Mama sehat, kan?"

"Kalo ga sehat, mama juga gak akan bisa sampe sini."

"Ma--"teguran Diaz langsung terdengar. Laki-laki menyentuh lembut lengan istrinya, kembali menatap Serra yang kini justru menunduk.

"Kamu gimana, sayang? Sudah hampir sebulan gak ada kabar."

Sejak pertengkaran di Bandung itu, Serra memang tidak pernah lagi menghubungi orang tuanya. Pesan ataupun panggilan sang ayah juga diabaikannya. Serra merasa belum sanggup untuk mendengar kalimat-kalimat keberatan dari keduanya atas keputusan yang ia ambil. Apalagi jika tahu kondisi Serra yang makin sibuk saat ini sebagai Dokter Umum yang selalu berjaga di IGD.

"Sehat, Pa."

"Kerjaan gimana?"

"Baik, Pa."

Bertepatan dengan jawaban itu Nimaz langsung berdiri dan menatap kaget ke arah jendela. Menatap nanar pada sosok yang berdiri di luar. Pada sosok yang tampak tengah tersenyum lebar bersama seseorang yang juga menatapnya sembari tersenyum.

"Kenapa, ma?"tanya Diaz ikut berdiri, menyentuh bahu istrinya dan ikut menatap ke luar jendela.

Serra yang bingung melihat gestur keduanya langsung bangkit berdiri, penasaran dengan apa yang dilihat orang tuanya. Baru saja ia mengenali sosok itu, Nimaz langsung menoleh. Menatapnya dengan tidak percaya. Rahang wanita itu mengeras, jemarinya mengepal, tatapannya tampak tak terbaca.

"Ini alasan kamu memilih Sanjaya?"suara itu terdengar tajam namun luar biasa dingin. Lebih dingin dari sebelumnya. Mendengar itu, Serra ikut mengepalkan tangan. Tidak menoleh agar tidak bertatapan langsung dengan sang ibu.

"Jawab, Serraphina!"

Diaz merangkul istrinya namun ditepis lebih cepat. Nimaz sama sekali tak bisa dikendalikan saat ini. Matanya masih terus menghunus Serra yang masih tidak ingin menoleh padanya.

The Night BeforeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang