🌼🌼🌼
Warna jingga memenuhi kaki langit sepanjang mata memandang. Semilir angin sejuk di pagi buta tersembut berhembus menyapa kulit mengantarkan dingin yang menggetarkan. Pagar-pagar dari bambu yang sudah dibentuk menjadi pembatas antara jalanan aspal yang telah rusak dengan perkebunan sayur di sekitarnya.
Serra membuka kaca mobil. Memutar tubuh membelakangi pintu untuk menyandarkan kepalanya yang ditutupi topi di jendela. Menatap langit dengan kedua matanya.
"Dingin?"
Serra mengangguk. Memeluk kakinya yang telanjang karena ia hanya menggunakan celana pendek sepaha. Tidak menurut ketika Aldric menyuruhnya menggunakan celana panjang.
"Sini kakinya."jemari laki-laki itu menarik tungkainya lembut. Mengusap dari ujung jari hingga paha agar mengantarkan hangat. Usapan yang membuat Serra tertegun atas perasaan asing yang baru pertama kali dirasakannya.
"Lain kali kalo dikasih tahu, nurut, ya?"
Serra mengangguk. "Aku kayak adek kamu yang apa-apa harus diurusin."
Aldric terkekeh. "Aku gak pernah ngurusin adikku. Kalo dia bandel biarin rasain sendiri akibatnya." Ia menepuk tulang kering gadis itu lembut. "Dan bagiku kamu bukan adikku. Bukan perasaan seperti ini yang aku rasain buat seorang adik."
Mungkin jika bersama yang lain, Serra tidak akan mendapat pengakuan secepat dan selugas ini. Aldric adalah laki-laki yang berjarak delapan tahun lebih tua darinya. Laki-laki tampan, mapan dan berasal dari keluarga terhormat yang mengerti betul keinginannya sendiri.
Ketika pertama kali mengutarakan bahwa tertarik dengan dirinya, Serra tahu bahwa Aldric tidak sedang bercanda. Laki-laki itu menyampaikan tanpa ragu. Bahkan hingga kini setelah berbulan-bulan mereka dekat tidak ada satupun dari sifat atau ucapan Aldric yang bertolak belakang.
Serra juga sadar sekali bahwa Aldric tidak tampak bermain-main dengannya. Walaupun tidak pernah membahas hubungan ke arah yang lebih jauh atau lebih serius, Aldric tetap konsisten memperlakukannya dengan sama. Terus juga mengenalkannya pada seluruh keluarga dan lingkaran pertemanannya. Bahkan seluruh penghuni rumah sakit sudah menjulukinya sebagai pacar laki-laki itu.
Seperti saat ini. Akhir pekan ini Aldric tiba-tiba memboyongnya ke Bandung, untuk menjadi pendamping di sebuah pesta pernikahan teman SMA-nya. Tanpa canggung Aldric mengenalkannya pada semua orang. Tak sungkan memeluk pinggangnya sepanjang acara. Ketika ada yang bertanya apakah Serra kekasihnya, Aldric hanya tersenyum sembari mengangguk mantap. Tanpa sanggahan sama sekali.
Namun bagi Serra itu cukup membingungkan.
"Perut aku mules."akunya tiba-tiba. Membuat Aldric menghentikan usapan, lalu menatapnya khawatir.
"Mau cari toilet?"
Serra menggeleng. Melepas topi dan masker yang sedari tadi menutupi wajahnya. Lalu menatap Aldric dengan wajah memerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Night Before
ChickLit"Udah?" Ia mengangguk pelan. Membiarkan dirinya menangisi segala hal yang sudah dilakukannya bertahun-tahun ini. "Mau peluk?" Ia merangkak mendekat. Membiarkan tubuhnya dibawa dalam pelukan. Wangi musky yang menguar dari tubuh laki-laki itu membuatn...