🌼🌼🌼
"Gue ke Semarang."
"Ngapain? Bukannya lo ada meeting di Bali?"
Serra bisa mendengar Aldric meringis di sebelahnya. Namun tidak berani untuk menoleh atau bertanya dengan siapa laki-laki itu bicara.
"Lo bisa handle gak? Tunda minggu depan aja kalo gak bisa."
Panggilan langsung terputus begitu saja. Serra masih tidak menoleh hingga kepalanya ditepuk pelan.
"Serra gak nanya kenapa saya anterin ke Semarang?"
Serra menggeleng.
"Kenapa?"
"Gak apa-apa."
Aldric tersenyum.
"Pasti karena Serra sudah tahu jawabannya, kan?"
Gadis itu mengangkat bahu. Menyandarkan kepala di kaca mobil menatap jalanan yang ramai. Mereka sudah memasuki trans java toll road. Sudah lebih dari dua jam perjalanan dari Jakarta. Dan selama itu pula Aldric tidak hentinya menghubungi seseorang via telpon. Hingga yang terakhir ia yang dihubungi terlebih dahulu.
Oh biar Serra jelaskan dulu bagaimana ia bisa berakhir di dalam mobil Aldric dan dikendarai sendiri oleh pemiliknya menuju Semarang--kota asalnya.
Sejak insiden bertemu di jalan dan diantar pulang beberapa minggu lalu, Aldric semakin intens menemuinya. Kadang hanya untuk mampir makan siang di rumah sakit walaupun terkadang berakhir dengan laki-laki itu hanya menatapnya sekitar sepuluh hingga lima belas menit lalu pergi kembali karena kesibukannya menjelang selesainya masa internship.
Lalu Aldric juga tidak pernah lupa menghubunginya setiap malam, selarut apapun hanya untuk memastikan dirinya sudah makan malam atau sedang melakukan apa. Jika Serra menjawab dirinya di rumah sakit, Aldric akan muncul tidak lama kemudian. Membawakannya berbagai macam makanan yang bisa dibagi untuk seluruh dokter dan perawat yang berjaga dengannya. Atau jika tidak sempat, hanya datang untuk menatapnya sebentar lalu menepuk puncak kepalanya lembut.
Kebiasaan itu sudah berlangsung cukup lama. Aldric tidak mengatakan apapun dan Serra juga tidak bertanya apapun. Tidak ingin tahu apa penyebab laki-laki itu melakukan semuanya dan apa tujuan yang ingin didapatkan. Serra hanya membiarkan Aldric melakukan apapun yang laki-laki itu mau. Toh juga rumah sakit yang dikunjungi adalah rumah sakit miliknya sendiri.
Tapi beberapa tatapan penasaran, pertanyaan yang mungkin hanya sekedar kepo kadang membuat Serra sedikit pusing. Para dokter dan perawat atapun karyawan rumah sakit yang sering dititipi Aldric sesuatu untuk diberikan padanya mulai tidak bisa menerima jawaban senyum dan gelengan kepala darinya.
Sampai di malam ini, ketika dirinya sedang bersiap-siap pulang dari rumah sakit, Aldric tiba-tiba muncul mengatakan ingin mengantarnya pulang. Serra yang lelah mengatakan bahwa dirinya tidak pulang ke rumah indekos melainkan ke rumah orang tuanya di Semarang. Semata-mata hanya ingin Aldric urung dan balik badan. Tapi di luar prediksinya, laki-laki itu malah tersenyum sangat lebar dan dengan semangat mengatakan akan mengantarnya langsung malam ini. Dengan menyetir mobilnya sendiri.
Serra tidak mungkin menarik ucapannya, apalagi Aldric adalah tipe manusia yang tidak bisa dihentikan begitu saja.
"Sanjaya memang keras kepala begini, ya?"
Pertanyaan Serra membuat Aldric menoleh lalu terkekeh. Fokus kembali pada jalanan.
"Hm memang gen kayaknya."
Serra tidak lagi menanggapi. Matanya kembali bergulir menatap jalanan yang diterangi oleh lampu jalan.
🌼🌼🌼
KAMU SEDANG MEMBACA
The Night Before
ChickLit"Udah?" Ia mengangguk pelan. Membiarkan dirinya menangisi segala hal yang sudah dilakukannya bertahun-tahun ini. "Mau peluk?" Ia merangkak mendekat. Membiarkan tubuhnya dibawa dalam pelukan. Wangi musky yang menguar dari tubuh laki-laki itu membuatn...