3. Never

42.2K 2.2K 23
                                    


"Ngapain ndut?" Tanya Davian seraya mengambil amplop yang sepertinya berisi surat yang akan di masukkan oleh Tio ke dalam loker sekolah milik Relci.

Tanpa meminta izin terlebih dahulu, Davian langsung saja membuka amplop itu dan membacanya. Sedangkan Tio sudah waswas sekarang. Padahal dia udah bela-belain datang ke sekolah lebih awal buat ngasih surat itu.

Davian terkekeh setelah membaca surat tadi, "surat cinta, huh? Masih ada ternyata yang beginian." Davian kembali terkekeh. Pandangannya menelisik penampilan Tio dari ujung kepala ke ujung kaki.

"Lo mau nembak Relci dengan badan yang mirip tong ini? Haha.... ngelawak lo?" Ejek Davian.

"E-emang kenapa kalo badan a-aku besar? Relci bukan orang yang mandang fisik."

Davian merasa di tantang dengan perkataan Tio barusan. Dia mendekat dan mendorong tubuh besar Tio hingga membentur loker-loker di belakangnya, "nggak usah sok paling kenal Relci sialan!" Bentak Davian di depan wajah Tio sambil menarik kerahnya. "Lo-"

"Vian." Panggil Relci dingin, membuat tangan Davian yang hendak memukul Tio menjadi terhenti.

"Lepasin dia," Ucap Relci.

"Tapi dia-"

"Lepasin Cale Daviandra," Tekan Relci tidak ingin di bantah lagi.

Davian mendengus dan melepas genggaman tangannya di kerah baju Tio dengan kasar.

"Pergi ke kelas lo Tio." Tio mengangguk dan pergi dari sana.

"Nggak usah buat ulah, masih pagi." Peringat Relci dan hendak pergi dari sana juga.

"Kita udah ketemu, lo nggak lupa sama kesepakatan itu kan?"

Relci menghentikan kembali langkahnya. Ah benar, kesepakatan sialan itu. Dengan gerakan cepat, Relci menarik lengan Davian untuk lebih mendekat dan mencium bibir Davian. Dia hanya menempelkannya tidak lebih.

"Udah kan, Puas lo?" Relci mendorong Davian menjauh darinya.

"Nggak, gw nggak akan pernah puas sampai lo jadi pacar gw Relci."

"Mimpi." Setelah mengatakan itu, Relci benar-benar pergi dari sana meninggalkan Davian dengan kekehannya.

Davian mengusap bibirnya, ya tidak buruk juga kesepakatan kali ini. Walaupun sebenarnya dia ingin lebih, but.... it's oke, masih ada hari lainnya.

Saat Davian memasuki kelas, ternyata tidak banyak orang yang ada di sana. Ya, ini memang masih sangat pagi. Tapi biasanya ke tiga teman atau yang sudah dia anggap sebagai abangnya itu, selalu cepat kalau berangkat sekolah.

Davian mengangkat bahunya tidak peduli, dan memilih untuk duduk di kursinya. Toh kalau mereka nggak sekolah pasti bakal ngabarin dia nanti.

Davian mengeluarkan handphone hendak bermain Game, tapi dia malah di kejutkan dengan suara pintu yang di buka dengan sangat keras.

"Mana yang namanya Davian?!" Tanya salah satu siswa berbadan besar yang mendobrak pintu tadi.

Semua yang berada di ruangan itu kompak menatap ke arah Davian. Sontak saja siswa tadi mendekati Davian dan menggebrak meja di depannya.

"Jadi lo yang berani buat adek kesayangan gw nangis hah?!" Teriak orang berbadan besar itu di hadapan Davian.

Davian tidak menjawabnya, dia malah melihat ke arah belakang pria itu. Dan benar saja, ternyata si gendut tadi.

"Jawab gw brengsek!" Emosi pria besar itu dan menarik Davian untuk berdiri berhadapan dengan dirinya.

Davian tidak takut sedikit pun, dia malah membuat gerakan menepuk-nepuk pundaknya yang di pegang pria itu, seolah-olah sedang menghapus debu di sana. "Ternyata bocah itu bukan cuma gendut, tapi juga pengecut, huh." Ucap Davian dengan menatap ke arah Tio.

D'E Sella Vian [End] [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang