Aku belum sempat revisi, yg nemu typo atau apapun kesalahan penulisan, skip aja. Akhirnya masuk jalur lagi, walaupun butuh 25 chapter, pdahal seharusnya ini ada di chap 15.
Btw, semangat puasa bagi kalian yang menjalankan.
*****
Setelah hampir 8 jam menggunakan kereta meninggalkan Konoha, akhirnya kami sampai di Hokkaido.
Kata ibu, dia punya seseorang di Hokkaido. Jika dipikir-pikir, aku tidak tahu apapun tentang ibu. Kami benar-benar hanya berempat, tidak pernah mengunjungi kampung halaman. Aku bahkan tidak tahu jika kami punya kampung halaman. Banyak hal yang tidak kutahu tentang orang tuaku, mereka hanya bercerita tentang menjalin hubungan sejak SMA lalu menikah. Asal usul tentang keluarga mereka tidak pernah menceritakannya.
Diluar hal itu, aku sedikit merasakan penyesalan karena tidak sempat berpamitan dengan semuanya, dadaku penuh dengan rasa nyeri dan juga batu besar yang menyumbat.
“semua akan baik-baik saja…” gumam ibu.
Dia duduk di tengah-tengah kami, menggenggam tangan masing-masing dari kami yang bersandar di bahunya. Ibu menatap keluar jendela dengan pandangan kosong, matanya berembun. Rasa sakit itu terlihat jelas di sorot matanya yang sayu.
“bu, kemanapun kau pergi aku akan selalu mengikutimu” cicit Moegi.
Musim salju sudah tiba dan menyelimuti Hokkaido. Angin bertiup agak kencang
malam itu saat kami turun dari stasiun. Lalu kami menaiki bus menuju ke tempat yang aku tidak ketahui. Selama ini aku jarang keluar, sebagian waktuku dihabiskan di rumah. Aku hanya pernah ke Suna untuk karya wisata, liburan ke Suna, dan ke Tokyo bersama Sasuke dan Naruto.
Ah sial, aku mulai merindukan mereka lagi.
Ibu menyeret kopernya saat menggandeng tangan kami berdua sembari menyusuri jalan kecil dan sepi yang mengarah ke sebuah kawasan apartemen.
“Ibu, apa masih jauh?” Tanya Moegi sembari menggigil. Rasa dingin mulai menembus
jaket dan sweater tebalnya.
“ya, sabar yah”
Mereka akhirnya mereka berhenti di salah satu bangunan apartemen yang terlihat tua, namun terawat. Ibu terlihat beberapa kali membuang nafas, terlihat ragu. Tapi pada akhirnya kembali berjalan sebelum aku bertanya.
Gedung itu memiliki bangunan tua tingkat tiga berukuran sedang. Setiap lantainya memiliki empat apartemen yang berhadapan. Kami menuju lantai dua di kamar 206. Tidak ada lift, hanya ada tangga yang cukup lebar yang membuat kami sedikit kesulitan berjalan dengan koper yang berat.
Ibu berhenti sejak di kamar itu, aku merasakan keraguannya. Tapi kemudian dia kembali bergerak memencet bell, belum ada tanda-tanda orang yang membukanya.
“ibu, siapa yang tinggal disini?” tanyaku.
Dia tidak menjawab dan terus memencet bell itu beberapa kali. Sampai akhirnya aku mendengar suara dari dalam, langkah kaki yang semakin dekat dan akhirnya pintu itu terbuka menampakkan seorang wanita paruh baya yang kisaran 30-an keatas, dia sangat cantik dengan rambut pirang dan dada besar. Di tangannya dia memegang alkohol dan disedot bibirnya asap rokok.
“siap—”
Ucapannya terhenti, kedua matanya membulat. Dia terkesiap, seperti baru saja melihat hantu. Dia menatap wajah ibu dengan terkejut. Seketika minuman itu jatuh ke lantai, dia seperti melihat hantu.
Kemudian ibu bergumam pelan “ibu..”
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Sunny and Rainy
Teen Fiction"Hidup itu seperti sebuah buku cerita, kita akan menjadi sebuah karakter utama yang diawali dengan prolog diakhiri dengan epilog. Terkadang ada beberapa kisah yang berakhir bahkan sebelum memulai, ada pula kisah yang tak akan pernah berakhir" Sedar...