9. Serangan Hati

45 17 1
                                    

*****

"novelmu bagus, aku suka. Mengapa kau tidak mengirimnya ke penerbit?"

Sasori meletakkan sekaleng soda di atas meja, tepat di depanku yang masih membaca buku baru yang di bawakan olehnya.

"bukankah larangan untuk tidak membawa makanan di perpustakaan sudah sangat jelas" aku mencibir alih-alih menjawab pertanyaannya, menghindar lebih tepatnya.

"selagi tidak ada yang melihat" balasnya. "dan nona, kau belum menjawab pertanyaanku"

Aku membuang nafas panjang, "aku lebih suka novel buatanku di baca orang-orang tertentu"

"wah sangat beruntung sekali menjadi orang tertentu itu"

"terserah saja"

Sasori duduk di sampingku, aku bisa merasakan tatapannya padaku. Apakah ada sesuatu di wajahku hingga pipiku terasa panas karena tatapannya.

"Sakura, apa kau masih menyukai Sasuke? dia dekat loh dengan gadis bernama Ino. Aku sekelas dengan mereka, aku sering melihatnya bersama-sama."

Aku merasa tertohok, sebisa mungkin aku menahan keterkejutan. Bagaimana mungkin Sasori bisa tahu? apa dia cenayang? aku bahkan tidak pernah menyinggung apapun tentang Sasuke.

"apa yang kau bicarakan?" aku bertanya sembari memasang raut kebingungan.

Sialan, aku ingin memukul wajah Sasori yang menyebalkan itu.

"mata tidak bisa bohong, Sakura. Setiap kali kalian bersama, kau yang melihatnya dengan gadis lain atau saat kita membaca buku bersama, tatapanmu selalu terpaku pada Sasuke. Matamu selalu mengikuti gerak geriknya diantara banyaknya orang"

"kapan aku bilang menyukainya, tuan? sepertinya kau terlalu sok tau sehingga menyimpulkan segala sesuatu. Aku bisa melihat siapapun itu urusanku, kenapa kau berlagak seperti penguntit" aku berusaha untuk tidak berteriak padanya.

Ah sialan, jika saja bukan di perpustakaan sudah kujambak rambut merah sialannya.

"kau emosi, berati yang kubilang benar!" katanya sembari tertawa.

Kekesalanku memuncak, aku mengambil bukuku bersiap untuk pergi sebelum Sasori meraih tanganku. Dia menarik tubuhku untuk duduk di sampingnya.

"lepaskan aku sialan!" aku mencoba melepaskan genggamannya yang cukup kuat.

"tidak akan kulepaskan jika kau pergi..." katanya.

Dasar bajingan sialan, dia yang memprovokasiku duluan tapi bersikap seolah aku gadis labil. Aku berada di puncak kemarahanku, aku tidak berpikir apapun selain pergi dari sana..

"ARGGGHHHHHHHHHHHHHH"

Bahkan ketika aku harus menggigit pergelangan tangan Sasori tanpa ampun hingga kurasakan asin dari darahnya. Aku berlari ketika penjaga perpustakaan datang.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
..
...

Selama dua hari sejak ritual voodoo, aku belum bertemu Sasuke. Jendelanya selalu tertutup, bahkan aku tidak melihatnya bermain di lapangan basket.

Aku menebak dia pasti menjenguk Ino di rumah sakit, yah si jalang itu masuk rumah sakit karena diare. Aku senang mendengar kabar itu, tapi tidak memungkiri sedikit rasa bersalah. Ritual voodoo yang kulakukan bersama Naruto tidak bisa di pastikan keberhasilannya, tapi niat buruk kami yang ingin membuat ino menderita juga tidak benar.

"aku benar-benar seperti psikopat"

"psikopat? siapa? kau? ah iya, dan juga kanibal" sahut Hinata yang duduk di sampingku. Kami hanya berdua di kelas dengan dia memakan bekal makan siangku.

Between Sunny and RainyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang