After We Broke up

1K 170 113
                                    

Sepanjang perjalanan kembali ke LA, Shohei terus diam. Ippei sampai bingung harus melakukan apa. Keduanya belum pernah berada pada situasi seperti ini sebelumnya. Ippei khawatir mengatakan sesuatu yang mungkin akan membuat Shohei semakin sedih, sementara Shohei sejak tadi hanya menatap kosong ke arah jendela di sampingnya sembari Ippei menyetir. Menit-menit setelah meninggalkan Giants Stadium, Shohei terus menangis sambil memegangi dadanya. Sampai sekarang pun masih sesekali sesegukan, dan bekas air mata masih menghiasi wajahnya.

Jika Ippei tahu akan berakhir seburuk ini, dia tidak akan membiarkan Shohei berpacaran sejak awal. Hubungan Shohei dan Lisa memang tidak berpengaruh pada performanya selama bertanding, tetapi lebih dari itu, Shohei tidak pernah terlihat begitu tersiksa seperti sekarang.

Ippei yang masih terus melirik ke arah Shohei sembari fokus menyetir sontak terkejut ketika laki-laki itu juga tiba-tiba menatap ke arahnya. Jantung Ippei serasa akan copot karena ketahuan memperhatikan Shohei sejak tadi.

"Ingin bergantian menyetir?" tanya Shohei lirih dengan suara setengah serak.

Ippei mengerutkan kening dalam. Mengizinkan Shohei menyetir dengan resiko nyawa melayang? No...

Ippei menggeleng sambil tersenyum. "I'm good."

Tatapan Shohei masih belum beralih. Mata yang terlihat kosong dan sedih.

"Aku ingin menyetir,"

Mendengar kalimat yang lebih terdengar seperti perintah itu membuat Ippei tidak bisa mengelak. Dia pasrah, apapun yang akan terjadi setelah ini mungkin memang sudah takdirnya akan terjadi. Sama seperti pertemuan Shohei dan Lisa. Tidak ada yang perlu disesali. Toh, dibalik semua kesedihan yang terjadi saat ini, selama 5 bulan belakang juga Shohei merasakan kebahagian yang tiada tara bersama Lisa, bukan? Biarlah semua ini menjadi bagian dari jalan hidup Shohei.

Ippei akhirnya berganti posisi dengan Shohei, membiarkan sang MVP mengambil kemudi. Baru beberapa menit saja Ippei mengistirahatkan tubuhnya dengan memundurkan sandaran kursi, dia malah sudah terlelap dan mendengkur di samping Shohei.

Shohei hanya meliriknya sejenak sebelum mengarahkan penghangat mobil ke tubuh Ippei yang terlihat sangat kelelahan. Di luar masih hujan deras dan suhu cukup dingin. Setengah celananya dan Ippei tadi sampai basah karena air hujan. Kasihan interpreternya itu kalau sampai terkena demam karenanya.

Ponsel Shohei berdering dan terhubung ke monitor mobil, menatap nama Ayahnya di sana. Dia mengembuskan nafas pelan sebelum akhirnya meraih airpod di sampingnya.

"Moshi-moshi,"

Sejenak tak ada jawaban, ketika suara Ayahnya mulai memenuhi indranya.

"Bagaimana keadaanmu?"

Shohei mencengkram setir mobil dengan tangan kanannya tanpa sadar. "Aku akan menjalani operasi saat off season,"

Dan setelah mengatakan itu, lagi-lagi tak ada suara yang menjawab. Shohei tahu betul Ayahnya tidak senang mendengar itu.

"Jumat besok aku masih akan bermain,"

"..,"

"Aku masih bisa memukul bola. Sedangkan untuk melempar, kemarin adalah yang terakhir,"

Shohei semakin mencengkram stir kuat, dia benar-benar berharap Ayahnya mengatakan sesuatu padanya.

"Ibu ingin bicara,"

Shohei mengembuskan nafas lega. Berbicara dengan Ayahnya selalu membuat Shohei begitu tegang. Khawatir mengecewakan Ayahnya dan membuatnya marah.

"Ibu ingin FaceTime, Sho," suara Ibunya saat ini mengambil kendali.

SHOWTIME [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang