03. Tentang menikah

657 104 46
                                    

Konon sebuah keadaan asing yang belum pernah dirasa sebelumnya akan membawa perasaan takut. Itu yang Sabir alami saat berdiri tegak sembari menatap lurus ke cermin pada Serena yang sibuk menghapus riasan setelah resepsi pernikahan.

"Ini serius kita udah nikah?"

"Menurut kamu?"

Tidak terhitung lagi sudah berapa kali Serena memelototi suami yang sejak tadi melongo. Tangan si dia boleh saja bergerak membantu melepas aksesoris di kepala, tapi tatapannya itu kalau disandingkan sama Genderuwo kayaknya si Wowo bakalan kabur duluan.

"Situ kenapa keliatan nggak seneng, ya? Horor banget pandangannya." Payet di kebaya sudah cukup memberatkan, jangan sampai pula laki-laki yang baru beberapa jam resmi menjadi kepala keluarga ini menambah ke-rempong-an Serena. "Satu menit lagi kamu masih natap kayak gitu, tanah surgamu kena potong dua hektar sama Tuhan."

Kontan saja Sabir terlonjak seraya beristighfar. Sejujurnya, ia belum menemukan dari mana semua ini berasal. Rasanya bulan lalu mereka masih menjadi teman yang sama-sama patah hati, tau-tau hari ini sudah terdaftar di langit dan di bumi sebagai sepasang suami istri.

"Kamu yakin waktu itu nggak lagi ketempelan setan sampai-sampai ngajakin aku nikah?"

"Kamu juga yakin waktu itu enggak lagi mabuk sampai nge-iya-in ajakan aku?"

"Ya... itu dia. Kenapa aku iya-iya aja?"

"Jadinya nyesel karena udah ijab kabul?"

"Bukan begitu. Maksud aku... apa motif kamu minta dinikahi? Kalau sekadar memamerkan ke mantan bahwa kita lebih dulu sah, pernikahan bukan ajang lomba, Er."

Menikahi teman sendiri tentunya tidak ada dalam rencana hidup Sabir. Apalagi temannya adalah Serena Awahita yang urusan percintaan selalu memiliki standar tinggi. Bukan berarti Sabir merasa tidak layak untuknya, bukan! Ia hanya masih linglung saja. Apa benar saat ini mereka sudah ganti status dari teman menjadi pasutri?

"Eh, jangan bilang ini ada hubungannya sama janji masa kecil, Er?" Dulu sekali, keduanya memang sempat membuat lelucon kalau saja suatu saat sulit mempunyai kekasih, maka Sabir dan Serena akan sukarela menjadi pasangan satu sama lain.

"Duh, Sab! Kalau mau ngelanjutin rasa herannya nanti aja bisa nggak!" Belum sampai satu hari, Serena sudah berhasil masuk golongan istri yang patut untuk dibuang ke Kali. "Aku lagi ribet ini, bantuin dulu lah."

Merasakan emosi si dia, Sabir geleng-geleng kepala. Dia memang terkenal kalem di luaran sana, tapi aslinya tidak akan disangka-sangka. Serena bisa mengamuk dalam sekejap dan kembali tenang dalam sekali kedip mata. Luar biasa, memang.

"Kalau kayak gini ceritanya, lahan surga kamu yang susut duluan, Ibu Eren."

"Lagian kamu nanya aneh-aneh. Rambutku udah kayak jerami, Bapak Sabir."

Tanpa merespon apa-apa, Sabir dengan tenang melanjutkan membantu melerai rambut yang terkena spray berjuta-juta kali sampai susah untuk dikembalikan ke semula.

Serena pun dengan mandiri menghapus riasan yang tersisa. Selagi begitu, ia memandangi suaminya di cermin. Barangkali, mulai hari ini tidak akan ada yang benar-benar berubah. Sabir tetaplah Sabir, dan Serena tetaplah Serena. Hanya saja, Serena perlu menanamkan dalam pikiran bahwasanya pria yang berdiri di belakangnya adalah orang yang apabila diizinkan Tuhan akan terus menjadi pendamping hidup sampai akhir hayat.

Rasanya aneh untuk diingat kalau pria berkulit kuning Langsat yang dulunya gemar main tanah ini berakhir menjadi suaminya. Bertahun-tahun lamanya mereka saling kenal, Serena tidak pernah membayangkan menjadi istri seorang Ananda Sabir Bachtiar.

Tentang Kita yang Harus Pulih Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang