16. Tentang perjalanan hidup

429 86 43
                                    

Hal pertama yang Serena lakukan setelah sampai di Jakarta, tentu mengunjungi bakery. Sudah beberapa kali menunda untuk mengintrogasi asistennya perihal siapa dia sebenarnya, hari ini Serena ingin semua dituntaskan. Tidak ada lagi rahasia yang kerap membuatnya berpikir berlebih, itu akan lebih baik. Apalagi bekerja di tempat yang sama, berdiri sebelahan dengan Ningsih pun membuatnya was-was karena ia tidak pernah tahu niat apa yang ada di hati orang tersebut.

Tapi setibanya di Memoria, jangankan keberadaan Ningsih, sendal taplak yang biasa dipakai sang gadis dan diletakan di dapur kala ia bekerja pun tak ada.

Ke mana dia pergi dalam keadaan toko dibuka?

"Eren...!" Seruan barusan datangnya dari luar. Seorang wanita paruh baya mendorong pintu masuk, itu ibu Yolan. Tumben-tumbenan beliau datang.

"Saya dari tadi lho mau beli croissant buat camilan arisan, tapi kok tokonya sepi kayak enggak ada orang. Padahal di luar tulisannya buka." Beliau langsung memeluk perempuan ini untuk kemudian cipika-cipiki.

"Oh, maaf, Bu. Kayaknya karyawan saya lagi pergi sebentar dan lupa ngebalik tandanya." Serena menghantar ibu Yolan ke deretan pastry. "Silakan...."

"Udah lama saya enggak ke sini, ya. Biasanya pesan via chat aja." Si ibu memilah-milah croissant yang diinginkan. "Sekarang udah ada karyawan?"

"Satu orang aja buat bantu-bantu."

"Syukurlah, empat tahun lalu kamu keukeuh kerja sendirian."

Serena tersenyum, mulai menghitung total yang diambil Bu Yolan untuk kemudian membungkusnya.

"Suami masih dinas, Ren?"

"Alhamdulillah, Bu. Masih."

"Saya udah jarang lihat kalian mampir ke komplek lama. Betah ya di rumah baru? Enggak ada gangguan." Dia bertanya dengan ekspresi jenaka, seakan menggoda Serena yang masih bisa dikatakan pasutri baru dengan Sabir.

Yang digoda memilih tertawa kecil. Tidak banyak menanggapi. Bu Yolan kemudian pamit dengan dua-puluh croissant yang telah dibayar. Sementara Serena mengitari toko untuk menilik keberadaan Ningsih. Biasanya gadis itu kalau pun akan pergi, pasti tidak jauh-jauh dari minimarket berjarak 50 meter di jalanan samping Memoria (posisi bakery ada di persimpangan antara tiga jalan).

Benar saja, gadis itu berdiri di balik dinding belakang toko dengan kantong kresek bertulis Indomerid.

"Mau maling, ya?"

Ningsih yang semula menunduk entah melihat apa, langsung berbalik dengan raut setengah kaget.

"Duh, Mbak... kirain siapa."

"Ngelihat saya kayak habis kepergok transaksi ilegal aja, kamu. Emang ngehindari siapa, sih? Kok, sembunyi-sembunyi."

"Enggak ada, ini baru beli isotonik. Di kulkas dapur stoknya habis." Tunjuknya pada kresek.

"Terus motif kamu tegak pinggang di mari, adalah...?"

"Cari angin, he-he." Ningsih langsung menarik lengan Serena. "Yuk, Mbak, nanti ada pelanggan kan enggak enak kitanya enggak ada."

"Itu kamu tau, kenapa perginya malah lama?"

"Lupa, Mbak...."

Yang dewasa menggeleng saja. Membiarkan gadis tersebut menyeretnya menuju toko.

"Jangan kabur kamu, ya. Saya mau adain sidak lho ini," ancam Serena kala melirik Ningsih yang tau-tau ngacir ke area dapur.

"Tenang aja, Mbak. Saya cuma mau naruh minuman di kulkas."

Kala itu sang surya telah condong ke barat, serta-merta memantul di kaca depan bakery yang bersebelahan dengan meja di mana Serena bersedekap menyoroti asistennya. Ini tahun ketiga mereka bekerja sama, seharusnya tidak ada yang disembunyikan lagi. Namun, ketika kenyataan rasanya tak sama dengan seharusnya, tentu akan timbul bermacam praduga yang nanti akan menjadi duri jika tak segera dikikis dengan cerita sebenarnya. Maka dari itu, sebelum semuanya makin rumit, Serena ingin mereka berkenalan kembali.

Tentang Kita yang Harus Pulih Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang