21. Tentang hal yang harus disyukuri

528 72 59
                                    

Di dalam ruangan yang terasa semakin panas, suhu yang terasa mencekik dan asap yang semakin tebal, Serena berjuang mati-matian untuk menyelamatkan diri dari penculikan yang berubah menjadi ancaman pembunuhan. Pria jahat yang berdiri di hadapannya, dengan senyuman keji di wajahnya, tampaknya telah kehilangan segala rasionalitas dan berniat untuk mengakhiri hidupnya beserta Serena.

"Kenapa kamu ngelakuin ini?!"

Pria itu menatapnya dengan mata dingin, seolah tak ada belas kasihan sedikit pun.

Sang puan berusaha mencari jalan keluar, matanya mencari-cari sesuatu yang bisa menyelamatkan dirinya dari maut yang mengintip di setiap sudut ruangan. Lalu ia teringat dengan ucapan sang pria: "Kalau butuh kunci, ada di jerigen sana. Tapi aku lupa masukkin ke jerigen yang mana, jadi... cek aja satu-satu kalau mau."

Di sudut ruangan, dia melihat jerigen berisi minyak tanah, kalau ucapan Janu sebelumnya benar, Serena bisa menuangkan seluruh isi jerigen tersebut untuk meraih kunci kecil yang bisa membuka pintu keluar. Namun, apa jaminan jika ucapan pria itu bukan sekadar kebohongan? Lagipula, dia tahu bahwa jika dia mengambil kunci itu, api akan semakin membesar dan sulit untuk keluar dari ruangan ini.

Serena terdiam sejenak, bingung dan kehilangan akal. Namun, tekadnya untuk hidup terus membara. Dengan langkah hati-hati, dia mendekati jerigen itu, tangannya gemetar dan mata penuh ketakutan. Sebelum sempat membuka tutup benda tersebut demi mengeluarkan isinya, api merambat dengan cepat, otomatis membuatnya terpekik.

Janu yang tersenyum dengan penuh kenikmatan melihat keputusasaan sang puan, mulai mendekati. Dengan langkah pasti, berbicara dengan suara yang dingin, "Kamu nggak bisa kabur dari sini, Eren. Matilah bersamaku."

"Nggak akan! Mati saja sendirian, Janu! Aku pasti akan keluar dari tempat ini dan laporin kamu ke polisi!"

Sang pria tertawa terbahak-bahak. Meremehkan tekad Serena yang terdengar konyol di situasi sulit ini.

Sang puan meraba saku celana, mencari-cari benda pipih yang ia yakini ada di sana. Tapi, ke mana ponselnya? Apakah Serena meletakkannya di tas dan benda itu tertinggal di mobil atau pria ini sengaja menyingkirkannya sebelum ia dibawa ke mari?

"Nyari HP? Sudah aku buang ke kolam di sebelah rumahku."

Dia tersentak. Sebentar, kolam samping rumah, katanya? Jangan bilang kalau lokasi mereka saat ini adalah... rumah lama milik Yolanda Retno yang desas-desusnya telah diwariskan pada anak sulungnya ini?

Seakan tahu pikiran Serena, Janu lagi-lagi terkekeh. "Yap, kita di rumahku. Lebih tepatnya, ini studio yang beralih fungsi jadi gudang dan di tempat inilah kita akan mengakhiri hidup bersama."

Berarti, ini di komplek perumahan orangtuanya?! Bolehkah Serena berharap mereka semua tengah mencarinya dan segera menemukan lokasi ini? Ya Tuhan... kirimkanlah pertanda pada suaminya.

"Kenapa, Er? Kaget banget, ya?"

"Bodoh! Kamu ini nggak sabar buat jadi penghuni neraka apa gimana, Jan?!"

"Oh, kebetulan aku memang utusan neraka. Kan, sudah kubilang hendak menjemputmu sekalian."

"DENGAR BAIK-BAIK!" Serena menunjuk wajah sang pria yang berjarak beberapa langkah. "AKU. NGGAK. AKAN. MATI. DI SINI." Seluruh katanya ditekan kuat-kuat, seakan meyakinkan diri sendiri ia akan selamat.

Dengan napas tersengal-sengal, Serena kembali menyusuri dinding menghindari api yang semakin mengamuk. Sayangnya, nyala api semakin besar dan oksigen di ruangan itu semakin menipis. Tubuhnya lemas, kepalanya mulai berputar dan matanya berat. Di sela-sela mengharapkan bantuan, otak kecilnya memikirkan sedikit kemungkinan: Janu bilang ini studio yang beralih jadi gudang dan ruangan ini kedap suara, seingat Serena, beberapa peredam suara memiliki ketahanan untuk api, apakah yang ada di sini tidak demikian? Lagi, ruangan ini pengap, kipas angin sudah mati entah sejak kapan, seharusnya api lambat-laun akan mati dengan sendirinya karena jelas tidak bisa hidup di ruangan tanpa oksigen. Masalahnya, kalau oksigen di ruangan ini habis, otomatis tak ada yang dapat paru-parunya hirup, dalam artian lain, Serena bisa pingsan atau yang terburuk; mati di sini.

Tentang Kita yang Harus Pulih Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang