07. Tentang harapan suatu hari

537 98 40
                                    

Pagi-pagi sekali ketika Serena terbangun dari tidur, pesan masuk dari kontak bernamakan Tante Yusniar. Ibu dari Jizzy Elvina yang tinggal di komplek yang sama dengan Mama-Papa ini meminta diantarkan seratus roti berbagai jenis ke rumah, sore ini juga.

Masalahnya, stok roti di toko tidak banyak, dan kalaupun banyak, Serena ingin membagikannya pada para pelanggan di hari ulang-tahun, bukan untuk diperjualbelikan.

"Sepertinya kalau seratus enggak akan cukup, Tante. Gimana kalau lima puluh? Biar aku usahain buat."

"Kalau tujuh-puluh apa enggak bisa?" Serena berpikir cepat manakala sahutan itu terdengar dari seberang telepon. Seandainya punya banyak karyawan, kemungkinan bisa. Tapi sekarang Serena cuma punya Ningsih.

"Memangnya Tante butuh buat apa?"

"Biasa... untuk arisan."

"Maksimal enam-lima aja kayaknya, Tante, tapi enggak segala jenis. Soalnya banyak roti yang resting adonannya agak lama. Atau kalau mau segala jenis dengan jumlah seratus, lusa bisanya."

"Yah... lusa Tante udah enggak arisan lagi, Ren."

Benar juga. Sontak, Serena terkekeh canggung.

Butuh waktu beberapa menit hingga Tante Yusniar bisa diajak bernegosiasi. Hasil akhirnya, dia menerima tawaran enam-puluh-lima roti. Dengan begitu saja, Serena bergegas ke toko dan menyiapkan pesanan tersebut dibantu Ningsih.

Saat menyiapkan roti-roti, sebuah panggilan masuk ke nomornya. Serena melirik ponsel di meja, sekilas. Itu dari suaminya.

Begitu benda pipih tersebut dijepit antara telinga kanan dan bahu, suara Sabir langsung menyapa, "Halo, Serena."

"Iya, udah siap-siap berangkat?"

Sebenarnya iya. Sabir sudah berada di stasiun dan dalam waktu sebentar, akan segera mengemudikan kereta. Namun, mengingat ia sudah punya rencana untuk memberi kejutan pada sang istri, ia lekas menyanggah, "Belum, masih lama. Oh, aku mau ngasih tahu, kamu enggak usah masak untuk makan malam nanti, ya."

"Mau ajakin aku makan di luar ya?"

Sabir terkekeh, "Bisa jadi. Mau kado apa, Ibu?"

"Apa ya... pulau pribadi?"

"Oh, kalau begitu kamu wajib ngepet dulu. Atau suami kamu dipenjara karena maling di istana negara." Kontan saja, Serena langsung tertawa terbahak. Hal ini membuat Ningsih melirik dari sudut dapur.

Sejak atau pun sebelum menikah, Ningsih mengenal suami bosnya. Dia jelas tipe laki-laki yang akan mudah membuat siapa saja tertawa, karena pembawaannya yang sedikit jenaka dan kalem di waktu yang sama. Nilai plusnya sudah pasti ganteng.

"Ngomong-ngomong, Er... kamu sekarang lagi di mana?"

Merasa repot, Serena memutuskan menghidupkan mode loud speaker dan meletakkan ponsel ke meja.

"Toko, ada pesanan dari Tante Yus, nih."

"Oh ya?" Maka kemudian Serena menceritakan tentang permintaan ibunda Jizzy yang ingin dibuatkan seratus roti. Lengkap dengan segala ucapan negosiasi hingga beliau mau menerima tawaran enam-puluh-lima saja.

"Jadi kemungkinan kamu akan di toko sampai sore ya, Er?" Serena mengiyakan. "Kalau begitu semangat, ya. Jangan lupa minum vitamin, aku sempat nyelipin di tas favorit kamu." Sebenarnya di semua tas Sabir selipkan karena takut Serena bawa yang lain.

Spontan, mata kelam ini menyusuri meja-meja dan menangkap keberadaan tas sandang warna navy. "Nanti aku minum vitaminnya, makasih ya, Bapak..."

"Sama-sama, Ibu Eren."

Tentang Kita yang Harus Pulih Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang