14. Tentang kesayangan baru

457 89 62
                                    

Serena lupa kapan tepatnya, yang pasti hari itu ia baru saja kembali ke Jakarta setelah menghabiskan waktu untuk solo trip tiga hari di Bandung. Awal pertemuan dengan perempuan yang kini menjadi asistennya berlangsung sedikit melankolis. Serena melihatnya menangis di peron stasiun ; nampak putus asa. Sebagai manusia yang punya rasa peduli teramat tinggi terhadap sesama, tentu saja Serena mendekat, sekadar merapatkan posisi duduk ke arahnya, untuk kemudian menyodorkan sebotol minuman isotonik.

"Mau minum?"

Sapaan itu otomatis membuatnya menoleh. Matanya sembab, nampak kurang nutrisi juga. Beberapa bagian yang semestinya putih beralih warna kemerahan. Ada urat-urat di matanya yang terkesan penuh luka dalam penglihatan Serena.

"Makasih, Mbak." Dia tidak menolak. Hal itu tentu membuat Serena tersenyum.

"Nangis memang terbukti mengurangi keresahan, tapi kalau terus-terusan, yang ada mata kamu lelah."

Dia yang telah menenggak minuman tersebut, menghadap Serena, lagi.

"Seandainya ada cara menghentikan, pasti saya lakuin, Mbak. Cuma susah, lagi pengin nangis aja sekarang."

"Kalau mau cerita sama saya enggak apa-apa, lho. Barangkali bisa meringankan beban pikiran."

"Susah dijelasin," gersahnya. "Tapi singkatnya sekarang saya lagi butuh tempat tinggal sama kerjaan yang bisa nerima saya tanpa kualifikasi apa pun. Seandainya ada. Tapi yang namanya cari kerja kan banyak persyaratannya, ya, Mbak. Harus bikin CV lah, ini lah, itu lah."

"Jadi alasan kamu nangis karena butuh kerjaan?"

"Itu salah satu alasannya, Mbak."

Serena manggut-manggut. Kebetulan sekali ia membutuhkan tenaga kerja tambahan untuk bakeri yang baru berjalan setahun ini. Jadi, tanpa berpikir banyak, ia menawarkan posisi asisten kepada perempuan yang bahkan belum diketahui namanya.

"Mau kerja sama saya?"

Dia yang semula menunduk memandangi botol di tangan, langsung menatap ke arah Serena dengan binar.

"Mau, Mbak! Mau banget! Kerja apa pun, saya mau. Asalkan enggak ada persyaratannya, he-he."

Serena tersenyum. Dari pandangannya, perempuan ini usianya masih akhir belasan. Atau mungkin baru lulus sekolah?

"Jadi asisten saya, mau? Saya pembuat roti. Baru bikin usaha bakeri setahun terakhir. Sebelumnya kerja sendiri, enggak ada karyawan. Akhir-akhir ini udah agak kewalahan. Jadi kayaknya kalau mempekerjakan kamu, akan membantu banyak."

"Syarat CV dan semacamnya, enggak ada kan, Mbak?"

"Seharusnya ada, tapi kalau kamu enggak mau, ya sudah. Asalkan kamu enggak mengkhianati saya aja."

"Pasti, Mbak! Saya janji akan bekerja dengan baik. Enggak bakal mengecewakan. Saya jamin itu." Namun kemudian, ia menunduk lesu. "Jadi asisten pembuat roti, ya? Saya enggak ada pengalaman. Masak-masak pun saya enggak ngerti, Mbak."

"Tenang aja. Ini akan menjadi pengalaman pertama kamu. Saya akan mengajari sampai bisa bikin roti sendiri."

"Beneran, Mbak?"

"Tentu!"

"Aaaaa terima kasih!!!" Dia memeluk Serena tiba-tiba. Erat sekali sampai yang dipeluk kesusahan bernapas.

"Sama-sama." Serena meringis, agak tidak enak dengan orang-orang yang memerhatikan di sekitar.

"Akhirnya saya bisa kerja... bahagia banget rasanya, Mbak. Makasih, makasih banyak! Setelah sekian hari saya di kota ini untuk menja—," seakan ada yang salah, ia lekas mengoreksi; "—mencari pekerjaan, akhirnya saya dapat kesempatan juga."

Tentang Kita yang Harus Pulih Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang