05. Tentang masa kecil

520 95 41
                                    


Seperti yang pernah Serena pikirkan, tidak ada yang berubah antara ia dan Sabir meskipun keduanya telah menikah. Dalam bayangannya, mereka masih sama seperti bocah tujuh tahun yang mencuri rambutan tetangga dan terpaksa kabur akibat dikejar angsa.

Seribu tahun yang lalu-ah, terlalu lama-ralat, sekitar dua-puluh tahun yang lalu, mama mempertemukan Serena dengan seorang anak laki-laki.

"Eren, ini namanya Sabir. Yang ini panggilnya Emak sama Ayah, terus itu adik kecil yang lagi digendong namanya Satya Manhuri, Saman panggilannya. Mereka ini saudara jauh kita. Temen dekat Mama-Papa sejak zaman sekolah. Baru pindah ke sini kemarin."

Sabir.

Radar Serena menangkap sosok anak ini sebagai orang yang tidak suka keramaian -ia yakin itu. Pasalnya sedari tiba di rumah Serena, dia enggan bergaul dengan teman-teman lain. Padahal, Serena saat itu berulang tahun dan pastinya mengundang banyak sekali teman yang bisa diajak bermain bersama. Tapi dia malah duduk sendiri di pojok ruangan, tidak jauh dari posisi Emak sama Ayah yang sibuk reuni dengan Mama-Papa.

Jiwa-jiwa peduli sesama yang ada dalam diri Serena pun mencuat. Tidak tega, ia mendekati.

"Nama kamu siapa tadi?"

"Sabir." Mulut Serena membentuk O lalu manggut-manggut.

"Aku Serena. Mau ikut aku, enggak?"

"Ke mana?" Senyuman penuh arti didapatkannya sebagai balasan.

Di depan pohon rambutan yang buahnya sudah merah matang, Serena melepas pegangan tangannya pada Sabir. Lalu menunjuk batang-batang tinggi itu.

"Aku mau ambil yang di ranting itu, pasti manis-manis. Kamu bisa manjat?" Di tempatnya, Sabir menggeleng. Serena menjatuhkan bahu kecewa. "Yahhh... aku pikir bisa. Soalnya aku juga enggak bisa. Makanya pengin minta tolong kamu."

"Kata Ayah, yang suka manjat pohon itu monyet, Serena. Sabir manusia, bukan monyet. Jadi enggak bisa manjat. Maaf, ya." Anak kecil yang sedang memperbaiki tali sepatu ini menatap Serena dengan raut bersalah. Baru saja berkenalan, sementara ia telah membuat teman barunya kecewa. Sabir jelas merasa tidak enak jadinya. "Memangnya pohon ini punya siapa?"

"Punya orang rumah itu," tunjuk Serena ke arah yang dimaksud. "Aku sering minta, kok. Orangnya bolehin. Tapi sekarang mereka lagi pulang kampung, jadi enggak bisa minta tolong ambilin."

"Kalau orangnya enggak ada di rumah, kita enggak boleh ambil sembarangan, Serena. Kata Ayah, mengambil milik orang lain tanpa izin namanya mencuri. Dan mencuri adalah perbuatan dosa. Nanti di akhirat memangnya Serena mau dipanggang di neraka? Kalau Sabir enggak mau."

"Kalau ngambilnya diam-diam?"

"Ya dosa!"

"Tapi aku mau rambutan yang matang itu, Sabir. Kamu gendong aku di pundak aja, kayak papa sering gendong aku. Nanti biar aku yang ambil buahnya, kamu tinggal makan."

"Enggak mau."

"Kenapa? Kamu enggak kuat gendong aku?"

"Kuat! Tapi enggak mau bantu Serena mencuri. Nanti Sabir juga kebagian dosanya."

"Kan diam-diam aja."

"Sabir enggak bisa, Serena. Nanti dimarahi Emak."

"Makanya enggak usah bilang-bilang Emak. Aku juga enggak bilang Mama."

Butuh lebih dari lima menit Sabir mondar-mandir di bawah pohon untuk sekedar berpikir. Apa yang harus ia lakukan? Menolong Serena sama saja berbuat dosa sebab pohon rambutan itu bukan miliknya. Tapi apabila ia tidak menolong, wajah temannya itu... kasihan sekali. Serena mulai berubah murung.

Tentang Kita yang Harus Pulih Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang