08. Tentang menjadi orang tua

600 96 51
                                    


Keduanya berdiri di ambang pintu, memerhatikan meja ruang tamu yang diisi banyak roti. Itu tadi yang Serena bawa pulang. Ada tambahan di sampingnya berupa Tupperware ukuran sedang yang entah apa isinya. Harusnya benda itu tidak di sana kalau tidak ada manusia yang meletakkannya.

Lantas keduanya melirik pintu rumah yang tertutup dengan pandangan horor. Entah siapa yang telah memergoki mereka make out di ruang menonton.

Tebakannya tidak akan jauh-jauh. Yang kesopanannya terhadap Serena dan Sabir hanya 0,001% sudah pastilah antara Yena, Jizzy, dan Cahyo. Sebab kalau dua orangtua mereka yang berkunjung akan lebih dulu berteriak memanggil dari jarak seratus kilometer -oke, hiperbola.

Kini keduanya duduk terpekur di ranjang kamar setelah sama-sama merapikan diri.

"K-kamu suka makan jangkrik?" Sabir mendadak blank. Bermenit-menit terdiam membuatnya terlena oleh suara jangkrik di luar rumah dan menanyakan hal konyol tersebut pada Serena.

Serena menoleh dan meringis. "Kamu serius nanyain itu?"

"Enggak."

Keduanya kembali hening. Sejujurnya sedang sama-sama bingung harus apa. Yang terjadi sebelumnya baru disadari sebagai kekhilafan. Tidak ada rencana untuk memulai itu membuat baik Sabir maupun Serena jadi sama-sama tidak enak meski hal tersebut wajar karena sudah halal.

"Eren," Sabir memegang tangan Serena yang diletakkan di paha bertutup selimut. "Maaf. Tadi aku terbawa suasana dan hampir kebablasan. Aku akan lebih hati-hati lagi ke depannya untuk enggak menyentuh kamu sembarangan sampai kita yakin sudah siap memulai. Pengalaman tadi pertama buatku... dan mungkin itu yang membuatku sedikiiit penasaran dan mau lebih. Karena berpikir kita juga sudah sah. Namun kemudian aku menyadari jika kita belum bisa mengarah ke sana di waktu sekarang. Ini masih terlalu awal. Maaf, ya. Nanti kita belajar lagi cara menjadi suami-istri yang baik itu bagaimana."

"Sab, coba napas dulu." Serena tiba-tiba balik menggenggam tangan suaminya. "Kamu ngomong panjang kali lebar begitu enggak ngos-ngosan, apa? Masih ada sambungannya?"

"Ini bahkan baru pendahuluan, Er."

"Oke, tolong loncat aja sampai kesimpulannya."

Mau tidak mau, Sabir terkekeh kecil. "Intinya aku minta maaf karena sudah lancang. Aku bahkan enggak minta izin kamu saat melakukannya tadi. Aku terburu-buru dan lupa kalau mencintai itu harus dimulai perlahan-lahan juga hati-hati."

Tidak butuh waktu lama untuk Serena memberi anggukan. Toh, yang tadi sebenarnya memulai, kan, Serena. Ibaratnya, Sabir hanya sebatas pembukaan, dan Serena yang mengeksekusi. Kalau saja ia tidak mencium balik suaminya, maka keduanya akan berhenti sebatas kecupan biasa.

"Aku juga minta maaf, untuk apa pun yang aku sekarang bingung bilangnya gimana. Tapi kamu tahu, Sab? Salah satu penyesalanku malam ini adalah lupa mengunci pintu rumah kita dan lupa bahwa sedang kedatangan tamu bulanan. Jadi... seandainya pun tadi dilanjutkan, kamu enggak akan pernah sampai ke hidangan utama."

Sabir berkedip berkali-kali. Sejurus kemudian pipi dan telinganya memerah. Pria ini hanya butuh waktu singkat untuk menelungkupkan badan ke kasur dan menepuk-nepuk bantal.

Serena keheranan dibuatnya.

"Aaaaa~"

"Sab, Sabir! Kamu kesurupan?!" Serena tanpa pikir panjang menampar punggung suaminya.

"Aw! Enggak!" serunya seraya duduk kembali, kemudian garuk-garuk tengkuk. "Aku sebenarnya malu."

"Lho, kenapa?"

"Ya kamu pikir aja! Aku udah panjang kali lebar ngomong begini-begitu karena ngiranya kamu bakalan marah ke aku. Eren, aku takut musuhan sama kamu." Wajah seriusnya tiba-tiba berubah jadi senyum-senyum menggoda. "Ternyata kamunya mau-mau aja kalau kita begitu, he-he."

Tentang Kita yang Harus Pulih Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang