22. Tentang rumah dan seisinya

463 65 54
                                    

Rumah sakit identik dengan hal-hal tak menyenangkan bagi Sabir, di mana suasana terasa begitu tegang dan cemas bagi mereka mengkhawatirkan keadaan yang tersayang. Aroma obat-obatan dan zat pembersih menyegarkan lingkungan, namun tidak dapat mengusir ketegangan yang telah menyelimuti hati sejak dokter membawa kabar buruk tentang kondisi istrinya.

"Ibu Serena mengalami keguguran."

Bahkan, ia tidak tahu Serena sedang hamil. Sebelum kabar bahagia menemuinya, malah kabar duka yang lebih dulu sampai. Tak satu pun kata berhasil ia keluarkan demi membalas ucapan sang dokter. Dia mencoba mencerna kenyataan begitu pahit, di saat dirinya tidak tahu sempat menjadi calon ayah.

"Pada usia kehamilan dua minggu, risiko keguguran memang masih cukup tinggi, Pak Sabir. Namun, apa yang terjadi dengan istri bapak adalah hal yang tidak bisa diprediksi. Pendarahan hebat dan keadaan pingsannya diakibatkan oleh kondisi kesehatannya yang rentan. Kami sudah melakukan segala upaya untuk menyelamatkan kandungannya, namun sayang...”

"Maafkan saya, Pak Sabir. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkannya," ujar beliau dengan suara penuh penyesalan. Kemudian melanjutkan, “Kami akan melakukan tindakan medis untuk menghentikan pendarahan dan memastikan bahwa kondisi ibu Serena stabil. Proses pemulihannya akan memerlukan perawatan intensif selama beberapa hari ke depan. Setelah itu, kami akan memberikan informasi lebih detail tentang tindakan yang akan kami lakukan.”

Kasar wajahnya diusap, lantas menghela napas. Kesedihan yang membuncah begitu dalam tak lagi dapat disembunyikan. Dadanya penuh sesak, berusaha menggapai udara yang kian menipis, begitupun kepala yang berdenyut nyeri.

Pada detik itu, ia merasa terombang-ambing di lautan emosi. Harapan dan keputusasaan bergulir bergantian di dalam benaknya.

Dalam keheningan, lelaki itu menguatkan diri dengan memperoleh sedikit harapan dari keyakinan bahwa istrinya akan baik-baik saja sesudah ini. Terlebih kala ia mendengar suara gemuruh mesin medis dan langkah-langkah lembut perawat saat melewati lorong rumah sakit, seakan menyampaikan harapan baru yang mulai tumbuh dalam hati. Bukankah orang bilang, rumah sakit lebih sering mendengar doa tulus dibanding rumah ibadah? Maka Sabir akan berdoa dengan sangat tulus kali ini, sangat tulus agar mustahil tak dikabulkan Yang Esa.

Tapi begitu matanya berserobok dengan keluarga yang telah menanti, air matanya luruh begitu saja. 

Emak adalah orang pertama yang memeluk anak sulungnya, lantas mengucap kalimat penenang yang tak mungkin dapat dibeli dengan uang jenis apa pun. "Ada kami, ada kami di sini. Jangan putus asa anak emak, kita sama-sama berdoa untuk keselamatan Eren. Lewati ini bareng-bareng ya, Nak."

***

Ada banyak hal sulit yang berhasil Sabir lalui selama ini, di antara semua, yang satu ini paling menyakitkan untuk dihadapi. Mengabur pandangan matanya kala Eren menatap kosong. Sejak sadar satu jam lalu dengan sebuah teriakan disertai ringisan menyakitkan, Serena tak bicara sama sekali, hanya berbaring hampir seperti bersandar—sebab brankar sedikit dinaikkan pada bagian bahu.

Sabir setia duduk di sebelahnya, menggenggam jemari sang istri dengan lembut, berusaha menyalurkan ketenangan.

"Eren…" Jangankan membalas, menoleh pun tidak. Serena hanya lurus-lurus menatap kosong, seakan tak menyadari keberadaan suaminya di sebelah.

"Er, tolong ngomong sama aku… apa ada yang kamu mau saat ini?"

Untuk pertama kali, Serena merespon dengan anggukan. "Minum," katanya serak.

Cekatan, Sabir meraih gelas di ruang rawat inap. Dibantunya sang istri dalam menenggak air, kemudian Sabir mengusap-usap pelan pundak Eren.

"Boleh aku peluk?" tanyanya meminta izin. Sejak tadi ingin mendekap, namun ketika sejam yang lalu Serena berteriak dan menghindari sentuhan siapa pun, Sabir jadi sedih.

Tentang Kita yang Harus Pulih Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang