10. Tentang seseorang dari masa-lalu

439 87 57
                                    


Pagi ini dimulai dengan kerusuhan. Serena bangun dalam keadaan pegal-pegal dan siap koyo di pinggang. Salahnya baru tersadar pukul dua pagi dari posisi tidur duduk dan Sabir yang tau-tau sudah rebah ke pahanya tadi malam. Untung setelah itu pindah posisi tidur ke kasur dan masih bisa menikmati sisa malam dengan damai.

Sayangnya karena terlalu lelah, keduanya kebablasan terlelap hingga hampir pukul 7.

Setelah bersiap-siap secepat kilat dan sarapan seadanya : roti selai coklat, yang mana artinya Serena tidak jadi membuatkan bekal-padahal semalam menawarkan, sekarang keduanya sudah di perjalanan. Biasanya Sabir berangkat naik motor, tapi pagi ini Serena keukeuh mau mengantarnya dengan mobil.

"Kamu kalau masih belum enak badannya mending izin cuti aja."

"Sudah sehat, kok. Kan, ibu Eren semalam yang jagain."

"Aku lagi serius ya, Sab."

Sabir terkekeh, menoleh ke istrinya yang sedang make-up tipis-tipis di kursi penumpang.

"Masih sakit pinggangnya?"

"Pegel, sih. Nanti mau pijat sama Mak Erot."

"Iya?"

Serena berdeham saja, tidak ingin fokusnya buyar dan membuat alisnya jadi miring sebelah.

"Nanti mau ada flashmob di stasiun."

"Dalam rangka apa?"

"Ulang tahun perusahaan."

"Kamu ikutan?"

"He'em, udah latihan beberapa waktu lalu. Aku bisa geal-geol, lho."

Yang perempuan tersenyum simpul. "Lentur ya, Pak, badannya."

Sabir tertawa.

Cuaca pagi hari sedikit temaram, nampaknya mau hujan. Udara terasa sejuk dan Sabir menaikkan temperatur dalam mobil agar tidak kedinginan. Di luar, para pejuang rupiah telah berbondong-bondong menyiapkan tempat usahanya. Semua orang bersemangat, seolah tidak peduli apakah akan pulang membawa uang atau tidak, mereka tersenyum. Lantas dengan begitu saja, Sabir ikut menarik sudut bibirnya.

"Sab,"

"Ya?" Sabir menoleh lagi.

"Kamu masih ada nomornya Shella?"

"Enggak. Kenapa tiba-tiba nanya?"

"Aku enggak sengaja lihat media sosialnya karena kebetulan enggak aku blokir... ternyata dia ditinggal suaminya tugas di perbatasan."

Serena lalu menghadapkan ponsel ke Sabir. Layar yang menunjukkan postingan Shella Anggraini berisi foto suaminya dengan seragam loreng khas TNI angkatan darat. Tertera caption bertulis : selamat bertugas, Letnan-ku. Semoga pulang dengan selamat, semoga bumi perbatasan pun bisa dilindungi.

"Terus kenapa kasih tahu aku?" Sabir tentu heran. Bukankah sudah sepakat untuk tidak membahas mantan? Surat perjanjian pun masih disimpan rapat dalam kamar. Perlukah dilihat ulang?

"Enggak kenapa-kenapa, sih. Mau kasih tahu aja, siapa tahu kamu penasaran kabarnya, kan."

"Buat apa aku penasaran? Enggak guna, juga." Sabir memonyongkan bibir. "Jangan-jangan kamu lagi yang penasaran kabar toge satu itu," selidiknya, agak tidak senang.

"Toge?" beo Serena.

"Matra-nya dia itu kan selalu dikaitkan sama kacau hijau. Karena bajunya ijo-ijo loreng itu. Menurutku mantanmu cocoknya disebut toge, Er. Kecambah dari kacau hijau yang aku enggak suka makan."

"Tapi toge punya nutrisi yang sangat baik untuk kesehatan tubuh, lho. Kayak karbohidrat, protein, sama serat."

"Idih... suka makan toge kamu?" Mulutnya mencibir tidak suka. Kalau ada alat pendeteksi sakit hati dan pundung alias kesal, Sabir yakin sudah merusaknya karena ia sangat tidak senang dengan jawaban Serena barusan.

Tentang Kita yang Harus Pulih Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang