18. Tentang frasa 'habis gelap terbitlah terang'

511 78 56
                                    

Dua alasan kenapa Sabir tidak meminta tolong polisi untuk menyelidiki kasus kecelakaan kereta:

1. Masinis hari itu adalah Sabir, yang sialnya dicekoki narkoba. Otomatis kalau ia melaporkan bahwa ada kemungkinan jika kecelakaan tersebut masuk golongan aksi teror, orang sulit percaya -apalagi Sabir tak punya bukti kuat.

2. Kalaupun Sabir punya bukti, rasa-rasanya pergerakan aparatur agak sulit diandalkan saat uang tidak jalan. Ya, mungkin tidak semuanya, tapi seringnya para oknum butuh pelicin biar mulus jalannya. Intinya, Sabir tidak ingin menyogok orang dengan uang.

Tapi tunggu, Sabir sebenarnya punya banyak uang. Ia bisa saja membayar detektif betulan untuk menjalankan aksi ini, tapi sayang saja kalau harus repot-repot keluar duit banyak. Mending dipakai Serena untuk beli produk baru dari Louis Vuitton tiap bulan, kan?

Serena sih yes.

"Kenapa otak netizen kayak disetel goblok semua, sih?!" gerutuan Nana mengalihkan perhatian Serena sejenak. "Udah tiga minggu dibilangin, masa enggak ada yang pinter?"

Ia menampar ponselnya seakan benda itu merupakan jiwa-jiwa para netizen, kemudian membiarkannya terpental hingga tergeletak di bebatuan.

'Tak masalah HP pecah asal netizen sadar dari sakit jiwa' mungkin prinsip Nana.

"Mampus kalian mampus! Goblok kok dikembang-biakkin?!"

Drama cekcok antara netizen pro masinis dan kontra masih terus berlanjut. Banyak yang pindah haluan membela Sabir setelah menyadari bahwa pria ini adalah korban dari kelalaian PJL. Namun, masih banyak pula yang menghujat.

"Mbak, kali ini rencananya apa?" tanya Nana kemudian.

Sontak punggung Serena menegak. Menjauh dari dinding penuh graffiti untuk selanjutnya menilik keadaan sekitar.

"Enggak tahu, lihat Sabir aja."

Lagian, Serena cuma penasaran apa yang dilakukan suaminya dan Cahyo tiap datang ke kawasan si supir truk.

"Ikutin aja, kali! Daripada bengong doang di sini."

Kalau Serena tahu denah lokasinya, pasti tak'kan mungkin mondar-mandir di dekat palang kereta yang sudah berkarat seperti ini.

"Enggak tahu jalan. Nanti kalau masuk gang, terus nyasar, gimana?"

"Ya minta tolong orang, Mbak. Arahin ke jalan keluar gitu, lho. Apa susahnya, sih."

Nana memungut ponselnya kemudian memeluk benda itu penuh sayang, sampai diciumi pula. Seakan yang melemparnya tadi bukan bagian dari dirinya. Lantas mendekati palang kereta untuk duduk.

"Udah sore, masa belum selesai juga mereka?"

"Bentar lagi keluar, kayaknya." Serena tak yakin, tapi seharusnya Sabir dan Cahyo memang sudah kembali di jam segini -17.21.

"Huh... pasti keluarnya berdua lagi. Udah dua Minggu nyari tahu, masa enggak ketemu juga sama supirnya."

Kereta berdengung lewat di belakang mereka yang membelakangi jalur perlintasan. Otomatis Serena menoleh, sekadar melihat rangkaian berlalu dan sebuah bangkai truk menyapa penglihatan saat ular besi tadi menjauh. Itu adalah truk yang menabrak lokomotif tiga minggu yang lalu.

"Eh, itu mereka!" Nana antusias menggebuk punggung kakaknya untuk menoleh. Si empunya punggung lantas berbalik dan mengerutkan dahi memandangi Cahyo lari terseok-seok menggendong seseorang di pundak, dan Sabir mengiring sambil menutupi bagian atas tubuh yang terekspos.

"Lho, baju kamu ke mana?!"

"Nanti dulu interogasinya, Er, darurat ini darurat. Buruan masuk mobil!!!"

Tentang Kita yang Harus Pulih Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang