20. Tentang trauma yang merangkak

336 70 45
                                    

Janu Baskara, ternyata pria itu dalangnya. Bagaimana bisa Sabir kecolongan? Selama ini Janu hampir selalu mendekati istrinya, dan itu jelas tidak sopan jika dia pria bermartabat. Setelah menemukan fakta busuk ini, tentunya Sabir harus segera bertindak, namun ia tidak bisa terburu-buru karena Serena perlu tahu informasi ini lebih dulu. 

Bermenit-menit menunggu dengan cemas, istrinya tak kunjung muncul. Padahal pesannya tadi menyampaikan akan segera pulang.

Setelah menimbang-nimbang, Sabir berpikir untuk menelpon Ningsih. Sekadar ingin menanyakan apakah Eren masih di toko atau tidak. Barangkali sudah, dan bisa saja terjebak macet.

"Halo, Ning."

"Ya, Mas?"

"Eren masih di sana?"

"Tadi pamit pulang, katanya mau ketemu Mas Sabir? Masa' belum sampai?" Nada yang sarat akan keheranan terdengar dari suaranya.

"Sudah lama perginya?"

"Sudah…," hening sejenak dari seberang, lalu terdengar kasak-kusuk dan suara lonceng berdenting. "Tapi, Mas… tadi di depan toko, Mbak Eren sempat ngobrol sama Mas Janu."

"Janu?"

"Aku rasa ada yang nggak beres deh sama mas-mas itu. Mas Sabir jaga rahasia, ya. Aku sebenarnya nemuin ganja di bawah meja bekas dia duduk."

Sabir mencengkram kartu nama di tangannya, tiba-tiba saja dadanya berdegup kencang, "Ning, kamu pegang barangnya pakai tangan?" tanyanya, tidak sempat mengherankan kenapa Ningsih bisa tahu kalau yang dilihatnya adalah ganja. Yang ia khawatirkan, sidik jari Janu hilang karenanya.

"Aku nggak sebodoh itu(?) —bendanya aku jepit pakai jepitan roti, sih." Perempuan itu terkekeh kecil, lalu melanjutkan, "Ini orang bermasalah banget, Mas Sabir harus jagain Mbak—eh, bentar… Mbak Eren belum pulang…?"

Seakan terkoneksi, Sabir dan Ningsih mendelikkan mata di tempat masing-masing.

Janu.

Serena mungkin bersama Janu!

Sabir lekas menaiki motor, memakai helm dengan terburu-buru dan mengemudikannya ke jalanan tanpa sempat menjawab panggilan Papa yang keluar dari rumah dengan ekspresi bingung.

Yang lelaki ini butuhkan sekarang adalah istrinya, dalam kemungkinan terburuk sekalipun, ia harus tetap percaya Serena baik-baik saja. Namun, hal yang tak disadari, sebuah sedan lewat di samping motornya yang ngebut dan di sanalah istrinya berada.

Janu membawa mobil Jisika sampai ke halaman belakang dari rumah mewah Yolanda Retno—yang diwariskan padanya sejak ia kembali ke tanah air—dan langsung membawa Serena ke suatu ruangan.

Jisika tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti permintaan sepupu jauhnya itu untuk membantu memapah sang puan.

"Nyari mati."

"Apanya?"

"Bawa dia ke rumahmu sendiri, nyari mati, namanya."

"Kalaupun dia dicari sama suami maupun keluarganya, mereka enggak akan kepikiran ke rumahku. Dan kalau kemungkinannya kepikiran, aku udah siap dengan situasi terburuk itu. Kamu pikir, akan sejauh mana aku membawa Serena pergi?"

"Maksudnya?"

"Tadi sudah kubilang, kan? Aku akan membawa wanita ini pergi, Adik manis."

Jisika menatap horor, langsung angkat tangan untuk hal ini. "Aku nggak terlibat, jadi, kalau kamu ditangkap karena kasus penculikan, jangan berani-beraninya bawa nama aku."

Tentang Kita yang Harus Pulih Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang