Blurb :
Menjadi anak pertama bukanlah hal yang mudah, hampir semua tanggungjawab dibebankan di atas pundaknya.
Anak pertama harus menjadi panutan untuk adik-adiknya, bahkan harus menjadi pengganti kepala keluarga saat sang ayah telah tiada.
Ilham, l...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sebulan sudah sejak kejadian di kamar mandi. Jika mengingat tragedi itu, Ilham rasanya ingin sekali marah. Bagaimana tidak? Ibunya berteriak membuatnya panik setengah mati, jantungnya menopang lebih cepat, bahkan kepalanya tag teras pusing dia abaikan begitu saja karena takut terjadi apa-apa pada ibunya.
Setelah Ilham masuk, membuka pintu secara kasar dan membuat gagangnya patah. Di sana Hana masih berteriak karena seekor kecoa yang jaraknya masih jauh dari tempatnya duduk.
Di pojok kamar mandi, tepatnya di atas kloset. Binatang menjijikkan bagi sebagian orang termasuk Hana sedang berdiam diri. Terletak timba yang di lempar tak jauh dari sana. Timba yang sudah pecah dan tidak bisa digunakan lagi.
Hana yang baru saja masuk, meraih timba. Namun, tiba-tiba dikejutkan oleh keberadaan serangga tersebut. Terpaksa Hana mengurungkan niatnya untuk mengganti diaper dengan pembalut. Lagi pula, itu aja diaper satu-satunya, sehingga dia melarang Ilham untuk membelikannya lagi.
Pintu terbuka, menampakkan Hana dan Bibi Rika yang baru pulang dari rumah sakit untuk memeriksa kesehatan. Ilham yang sejak tadi pulang sekolah hanya menatap Adzkiya yang lari menghampiri sang ibu.
“Ibu darimana? Kata Kak Zahran Ibu pergi nyusul Ayah.” Adzkiya merengek, bahkan jejak air matanya masih tercekat di pipinya yang sedikit tembem.
Sejak tadi Zahran memang menjahili adiknya itu setelah Ilham mengatakan jika ibunya pergi. Namun, dia tidak menyebutkan pergi ke mana ibunya karena lelaki itu juga tidak tahu. Berbeda dengan Zahran yang dengan senang hati menambah cerita dan membuat adiknya menangis.
“Ibu dari dokter. Kalian mau ‘kan kalau ibu sehat lagi?” Hana mengusap kepala Adzkiya yang masih memeluknya dari samping. Bibi Rika yang melihat hanya bisa geleng kepala. Apalagi menatap wajah Zahran yang tanpa dosa.
“Iya, mau. Tapi Ibu jangan pergi lama-lama. Nanti kayak Ayah yang lupa pulang,” ujar bocah yang masih memakai seragam sekolah itu.
“Iya ... iya. Kia ganti baju dulu, ya. Ibu juga mau istirahat.” Hana menatap wajah sendu putrinya, lalu dibalas anggukan.
“Mba, istirahat sini! Pasti capek juga. Terima kasih, ya, Mba.” Hana menatap wajah kakak sepupunya itu. Dia senang karena akhirnya Hana mau berobat juga.
Bibi Rika hanya ingin Hana bisa sembuh, tidak mungkin membiarkan begitu saja. Dia juga tidak mungkin terus-menerus mengurus Hana, sementara wanita berjilbab itu memiliki kesibukan lain. Dia tidak keberatan, mengingat Hana yang tidak memiliki keluarga yang peduli selain dia.
“Iya, kamu istirahat dan obatnya jangan lupa diminum, Mba mau pulang saja," jawabnya, lalu segera pamit dan pulang ke rumahnya. Letak rumah Bibi Rika juga tidak jauh, hanya beberapa meter dari rumah Hana.
Dari hasil pemeriksaan, Hana didiagnosa mengalami Paraplegia, yaitu kelumpuhan pada anggota gerak, dimulai dari panggul ke bawah. Kelumpuhan yang dialami Hana berupa Paraplegia Flaksid, yaitu ketika otot-otot tubuh pada bagian yang mengalami kelumpuhan berada dalam kondisi lemas dan terkulai.
Wanita itu harus menjalani terapi dan rutin meminum obat. Kata dokter, kelumpuhan yang dialami hanya sementara. Namun, tetap butuh waktu yang tidak singkat. Dia juga tidak boleh stres yang bisa memperpanjang masa kelumpuhan.
Setelah drama Adzkiya yang menangis karena diusilin oleh Zahran, kini bocah yang suka bermain boneka itu duduk tenang di meja makan.
Sepulang dari rumah sakit, Hana mampir dan membelikan anak-anaknya ayam goreng kesukaan mereka. Tidak hanya Adzkiya, Zahran dan Ilham pun suka.
Hana bahagia melihat mereka sedang duduk menikmati makan siang yang sedikit terlambat. Ada kesedihan di mata Hana saat melihat Ilham, putra sulungnya itu terlihat lebih kurus dari biasanya.
“Ibu mau makan?” tanya Ilham saat menatap ibunya yang hanya diam saja.
“Tidak, Ibu sudah makan,” jawab Hana yang masih duduk di kursi rodanya.
Kali ini Hana menjawab dengan jujur. Siang tadi dia dan Bibi Rika sudah makan di kantin rumah sakit, menunggu hasil pemeriksaan yang dilakukannya.
“Kalian jangan terlalu banyak main, lusa sudah ulangan,” pesan Ilham pada kedua adiknya setelah makan.
Di ruangan berukuran 5x6 meter itu mereka sedang duduk santai menikmati layar pipih yang menempel di dinding. Foto keluarga dan beberapa foto lainnya yang menampakkan gambar Hamid telah Ilham singkirkan. Dia menyimpannya di gudang.
“Iya, Bang.” Zahran dan Adzkiya menjawab secara bersamaan.
Kedua adik-kakak itu memnag cukup segan terhadap Ilham. Mungkin karena Ilham tegas, jarang berbicara apalagi bercanda. Namun, lelaki itu sangat perhatian dan menyayangi mereka.
“Kamu juga, Ham. Jangan lupa belajar. Kalau nilai kamu anjlok, lebih baik berhenti bekerja saja. Ibu masih punya sedikit tabungan untuk biaya makan kita sehari-hari,” timpal Hana mengalihkan pandangan ke arah putranya.
“Turun dikit gak masalah, Bu. Sekarang aku sudah tidak terlalu terobsesi untuk menjadi yang pertama. Yang penting nilaiku tidak ada yang merah. Lagi pula, aku juga tidak berniat lagi untuk kuliah. Jadi, dinyatakan naik kelas dan lulus saja itu sudah cukup,” jawab remaja yang suka memakai kalung perak itu panjang lebar.
Wanita beralis tipis itu hanya menghela napas, tidak tahu harus menjawab apa. Lagi pula, jika dia menjawab, pasti Ilham akan kembali menjawabnya. Putranya sudah dewasa, sudah pintar membantah jika itu tidak sesuai dengan pilihannya. Sosok Ilham memang keras kepala, tetapi dia lebih sering memilih diam jika ibunya sudah mengomel.
Ngedumel adalah salah satu fitrah bagi seorang wanita yang bergelar ibu. Apalagi jika anak-anaknya susah diberitahu, sulit menerima nasihat, dan tidak mau mendengar ucapan orang tua.
“Aku mau ke rumah Dilan bentar, nanti mau langsung pergi kerja. Ibu jangan macam-macam yang dikerjakan di rumah!” pamit Ilham sekaligus memberikan pesan yang cukup tegas kepada sang ibu.
“Iya,” jawab Hana singkat. Dia membenarkan posisinya untuk berbaring. Tubuhnya sangat lelah hari ini, sehingga dirinya memilih untuk beristirahat sejenak.
Lelaki penyuka warna hitam itu segera beranjak, mengambil kunci motor yang tadi dia letakkan dengan asal di atas lemari sepatu.
“Zahran!” tegur Ilham yang membuat Zahran segera melemparkan boneka yang akan menutup matanya ketika dibaringkan, dan kembali membuka mata saat diberdirikan. Adzkiya segera mengambil boneka kesayangannya yang tergeletak di lantai tak jauh dari tempatnya berdiri.
“Jangan suka berantem! Abang bawa kalian berdua ke pantai asuhan nanti. Mau?!” Adzkiya yang berada dekat dengan Ilham segera menggeleng cepat.
“Dia aja tuh yang dibawa,” tunjuk Zahran pada adiknya. Tidak lama kemudian perdebatan antara Adzkiya dan Zahran pun kembali lagi.
“Ibu yang bawa kalian berdua nanti ke sana kalau berisik. Ibu mau tidur sebentar,” omel Hana yang merasa terganggu dengan keributan kedua anaknya.
Ilham tidak ingin lagi melihat drama kedua adiknya itu memilih segera pamit kepada sang ibu lalu pergi.
Ilham memperhatikan halaman rumahnya yang sudah tidak terawat, rumput di halaman rumah yang dulunya hijau dan tidak dibiarkan memanjang. Kini terlihat kering diterpa musim kemarau.
Bunga-bunga yang berada di pot juga tidak terawat, kedua adiknya hanya menyiram setiap sore. Sementara itu, rumput-rumput terlihat bersaing dengan bunga yang berada di dalam pot.
“Minggu saja lah,” gumam Ilham segara memutar kunci dan menyalakan motornya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.