Desau angin menerpa wajah Hana. Beberapa helai rambut bahkan ikut tertiup hingga menutupi sebagian wajahnya. Sejak permintaan Ilham untuk ke kota, suasana hatinya menjadi muram.
Waktu liburan yang seharusnya menjadi sebuah kebahagian, justru tidak untuknya. Dia memang sudah jauh lebih baik, sudah mampu berjalan tanpa bantuan tongkat meski masih sedikit pincang. Namun, hal itu tidak menghambat aktifitasnya sehari-hari.
Wanita berbaju putih itu menghela napas panjang, menatap wajah Ilham yang sedang memandang keindahan danau dengan air yang terlihat tenang dan jernih.
Sesekali daun kering jatuh dan menerpa mereka yang sedang bernaung di bawahnya. Terasa sejuk dengan aroma segar khas pemukiman yang masih asri. Seharusnya bisa membawa rasa damai dan tenang pada jiwa-jiwa yang sedang bersedih.
“Bu, besok aku akan berangkat. Ayah sudah mengirimkan alamat lengkapnya. Aku ke sana naik motor saja biar aku lebih leluasa mengakses seluruh kota dan mencari pekerjaan.” Ilham berkata panjang lebar, sesekali dia memandangi ekspresi kurang setuju di wajah ayu ibunya.
“Apa tidak terlalu cepat, Ham?” Hana akhirnya bertanya setelah helaan napas berat dia keluarkan.
“Hidup akan terus berjalan, Bu. Kita gak mungkin terus berdiam diri, berkerja di toko juga hasilnya tidak seberapa,” jawab Ilham.
“Mungkin gaji itu akan cukup untuk kita makan, tapi adik-adik butuh biaya untuk sekolah, dan Ibu juga masih butuh biaya untuk berobat. Ibu harus sehat seperti dulu lagi,” sambung remaja itu sambil menyadarkan tubuhnya di batang pohon.
“Baiklah.” Hanya kata itu yang bisa Hana keluarkan. Dia tidak tahu harus menjawab apa lagi. Wanita itu merasa bahwa keputusan putranya sudah bulat.
Mungkin memberi ruang dan kesempatan pada Ilham untuk berkembang dan mandiri di kota adalah pilihan yang tepat. Biar sang anak tahu rasanya seperti apa berjuang di perantauan.
“Tapi kalau nanti di sana kami tidak betah dan tidak nyaman, kembali lah. Kita membuka usaha sendiri di sini. Usaha apa saja, yang penting halal.” Hana menatap putranya lagi.
“Iya, Bu. Ibu tenang saja.” Ilham mulai mengalihkan pandangannya ke taman bermain, di sana kedua adiknya masih terlihat asyik bermain bersama teman-teman sebayanya yang lain.
.
Tidak terasa hari sudah sore. Mobil jemputan mereka sudah datang. Waktu liburan yang singkat dan hemat itu telah usai. Waktunya kembali ke rumah dan memulai kembali aktifitas seperti biasanya.
Perjalanan pulang terasa lebih cepat. Entah mengapa selalu seperti itu, ke mana pun tujuannya. Selalu terasa cepat sampai ketika perjalanan pulang, berbeda ketika berangkat.
Setelah sampai di rumah, mereka mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Sisa makanan yang dibawa tadi siang kembali dihangatkan oleh Hana, agar bisa kembali dinikmati saat makan malam nanti.
“Abang mau ke mana? Kok mindahin baju-baju ke dalam tas?” tanya Adzkiya saat tidak sengaja melihat abangnya dari celah pintu kamar.
“Anak kecil ini kepo banget,” ujar Ilham gemas sambil mencubit pipi sang adik , dia sedang duduk di atas kasur milik kakak pertamanya tersebut.
“Ih, Abang. Aku serius.” Adzkiya memajukan bibirnya sambil melipat kedua tangannya di dada, pura-pura merajuk.
“Sini, Abang jelasin. Abang Cuma pergi sebentar. Mau cari kerja, cari uang biar Kia bisa sekolah yang lebih tinggi dan jadi dokter. Kia mau jadi dokter, ‘kan?” jelas Ilham sambil menatap kedua mata adik perempuan satu-satunya itu.
Adzkiya mengangguk, mengiyakan pertanyaan sang kakak. “Tapi Abang jangan lama-lama, ya."
Ilham hanya mengangguk sambil tersenyum mendengar permintaan bocah perempuan yang sangat mirip dengan wajah ayahnya tersebut.
Setelah Adzkiya keluar dari kamar, Ilham kembali melanjutkan pekerjaannya. Tidak banyak yang dia bawa. Hanya beberapa helai baju dan celana, berkas-berkas untuk melamar pekerjaan, dan perlengkapan pribadi.
Ilham keluar dari kamar, ternyata sudah sepi. Jam sudah menunjukkan angka sepuluh. Remaja yang memakai baju tanpa lengan itu menuju ke dapur. Dia merasa lapar karena sejak maghrib tadi tidak keluar.
Usai membersihkan piring bekas makannya, dia kembali ke kamar. Namun, langkahnya terhenti di depan kamar Hana yaang pintunya sedikit terbuka. Di sana Hana terlihat sedang duduk di tepi kasur sambil membuka sebuah album foto.
Ilham penasaran, dia mulai mengetuk pintu dan masuk setelah dipersilakan.
“Kenapa Ibu belum tidur?” tanya Ilham setelah duduk di sisi kanan ibunya.
“Ibu belum ngantuk, Ham.” Wanita berdaster itu kembali membuka album foto.
“Ini ... aku?” tanya Ilham tertahan saat melihat seorang bayi lucu dalam gendongan Hana.
Wanita dalam gendongan itu masih terlihat muda dan cantik, bahkan sisa kecantikannya masih terpatri di wajah yang mulai terlihat menua.
“Iya, ini kamu waktu umur satu tahun. Sangat lucu dan menggemaskan. Kamu lagi aktif-aktifnya. Foto ini diambil waktu ayahmu ngajak kita jalan-jalan karena Ibu yang sedikit memaksa.” Hana menatap gambar dalam album, ingatannya menerawang belasan tahun lalu.
Wanita itu dulu memang sering memaksa Hamid untuk membawanya keluar bersama anaknya karena merasa bosan di rumah. Sementara itu, Hamid tidak punya pilihan lain selain menuruti kemauan Hana.
Di gambar berikutnya terlihat foto mereka bertiga, Hamid, Hana, dan Ilham. Terlihat sangat serasi dan seperti keluarga bahagia. Dulu memang mereka cukup bahagia, bahkan sampai memiliki dua orang anak setelah menikah.
Akan tetapi, sikap Hamid ternyata sulit ditebak. Semua berubah saat dia dipecat dari kantor karena keteledorannya dalam bekerja.
Meski sempat menganggur, tetapi Hamid hanya butuh waktu sebulan untuk kembali bekerja. Bekerja di sebuah hotel. Sejak bekerja di tempat yang baru, sikapnya mulai membaik. Sampai akhirnya naik jabatan dan semua kembali berubah. Apalagi saat dipecat karena covid melanda saat itu.
Jika mengingat perjalanan hidup dan cintanya, Hana selalu ingin marah, menangis, dan juga tertawa. Dia terkadang merasa menyesal dan juga kecewa. Namun, kehadiran ketiga anaknya membuat wanita itu harus tetap kuat.
“Ibu menangis?” tanya Ilham membuyarkan lamunan ibunya.
“Eh, gak. Ibu gak nangis. Cuma terharu saja. Ternyata kamu sudah dewasa sekarang, bukan lagi bayi Ibu yang selalu merengek minta digendong,” jawab Hana gelagapan sambil menyeka air matanya yang entah kapan sudah membasahi pipinya.
Ilham hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan ibunya. Menangis sedih, bukan haru. Tatapan mata Hana lebih terlihat sendu, daripada binar bahagia.
Ilham terkadang tidak mengerti mengapa seorang ibu begitu hebat menyimpan lukanya sendiri. Berpura-pura bahagia, padahal hatinya sedang sangat sakit. Terlihat tersenyum, tetapi sebenarnya sedang bersedih. Menangis dalam tawa, ataukah tawa dalam tangis? Entahlah.
“Bu, besok aku akan pergi. Kalau ada apa-apa jangan lupa hubungi aku, aku pasti akan pulang. Jaga kesehatan baik-baik, jangan terlalu lelah.” Ilham berpesan pada Hana sambil menggenggam tangan ibunya, lalu dia keluar dari kamar. Ilham takut hatinya goyah dan tidak jadi pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sulung Si Tulang Punggung
General FictionBlurb : Menjadi anak pertama bukanlah hal yang mudah, hampir semua tanggungjawab dibebankan di atas pundaknya. Anak pertama harus menjadi panutan untuk adik-adiknya, bahkan harus menjadi pengganti kepala keluarga saat sang ayah telah tiada. Ilham, l...