Blurb :
Menjadi anak pertama bukanlah hal yang mudah, hampir semua tanggungjawab dibebankan di atas pundaknya.
Anak pertama harus menjadi panutan untuk adik-adiknya, bahkan harus menjadi pengganti kepala keluarga saat sang ayah telah tiada.
Ilham, l...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pagi ini Ilham bangun lebih awal, dia takut terlambat untuk masuk bekerja di hari pertamanya. Hal itu dapat menjadi penilaian buruk sebelum dia memulai untuk bekerja.
Sejujurnya semalam remaja berkaus hitam itu kurang nyenyak tidur, bukan karena tempatnya yang tidak nyaman, atau karena suasana baru.
Akan tetapi, Ilham takut bangun kesiangan. Entah berapa kali dia terjaga dari tidurnya, mengecek jam di ponsel dengan mata menyipit karena silau, lalu kembali tertidur saat melihat waktunya masih lama.
Sampai akhirnya remaja tampan itu terjaga setelah mendengar alarm dari ponselnya. Memilih bersiap dan di sinilah dia sekarang. Duduk di ruang tamu dengan pakaian rapi setelah mandi.
Di depannya seorang wanita paruh baya mondar mandir membersihkan ruangan, sesekali kembali ke dapur untuk mengecek masakannya.
Ilham sudah menawarkan diri untuk membantu, tetapi Wanita itu menolak dengan alasan bahwa itu adalah pekerjaannya sebagai ART di rumah itu.
Bukan karena Ilham anak yang rajin, toh di rumahnya dia juga sering membiarkan ibunya mengerjakan sendiri pekerjaan rumah.
Hanya saja, Ilham merasa tidak enak karena sudah menumpang secara cuma-cuma, bahkan diberi makan gratis. Tapi entah kalau dia potong gaji nantinya.
Apapun itu, Ilham harus melewatinya, karena dia juga sungkan untuk bertanya. Intinya, dia hanya menjalani. Nanti dia akan menolak jika merasa itu tidak adil.
Sudah jam tujuh pagi, tetapi belum ada tanda-tanda Reno ataupun Rian yang keluar dari kamar masing-masing.
“Bi, Abang Reno biasanya bangun jam berapa, ya,?” tanya Ilham pada wanita paruh baya yang bernama Bik Ijah tersebut.
“Oh, kalau mereka mah, jam sembilan atau jam sepulang, Mas.” Bik Ijah menjawab sambil menata hidangan di atas meja.
“Kalau toko buka hama berapa, Bi?” tanya Ilham lagi.
“Kalau toko bukanya jam tujuh, ada pegawai Mas Reno yang dipercayakan untuk membuka ruko setiap pagi. Mas makan aja duluan, kalau nunggu mereka pasti keburu lapar,” ajak wanita berdaster tersebut.
Ilham menyetujui, mengalihkan perasaan sungkan yang menyelimuti hatinya. Di bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arah meja makan, mengambil piring dan menuang sedikit makanan. Minimal dapat mengganjal perutnya pagi ini.
Setelah selesai, dia mencuci piringnya sendiri, meraih gelas berisi air mineral dan meminumnya hingga tandas. Ilham melihat jam di berwarna putih yang menempel di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit.
Remaja yang memakai kalung perak itu masuk ke kamar dan mengambil ponselnya, lalu turun ke lantai satu melewati tangga yang berada di dalam rumah.
Benar saja, Ilham memasuki sebuah ruangan yang sangat luas, dipenuhi dengan berbagai barang. Mulai perabotan dapur, isi rumah, berbagai boneka, dan entah apalagi. Bukan hanya tersusun di lantai, tetapi juga ada yang berjejer rapi di rak.
Remaja yang memakai celana pendek selutut itu melangkah, mengitari lorong demi lorong yang dipenuhi barang-barang. Matanya memindai barang satu persatu, tujuannya untuk mengenali nama barang dan juga letaknya.
Sesekali tangannya akan menyentuh beberapa benda, bahkan tak jarang dia mengangkatnya untuk melihat dengan detail barang tersebut.
Remaja itu sangat salut dengan kesuksesan kakak sepupunya itu di kota. Bahkan, di pagi seperti ini setelah pintu ruko terbuka semua, pelanggan sudah mulai berdatangan. Banyak didominasi oleh kaum ibu-ibu. Sepertinya mereka sedang menyerbu perabotan yang sedang promo.
Suara berisik wanita-wanita itu sedikit mengganggu indra pendengaran remaja itu. Sesekali dia melirik pada sumber suara, di sana mereka sedang memilih berbagai perabotan dapur dan b erbagai warna kesukaan mereka, mungkin.
Ilham melihat beberapa ibu muda mengumpulkan barang berbeda, tetapi memiliki warna serupa. Ilham yakin bahwa wanita itu menyukai warna tersebut.
“Cari barang apa, Mas?” tanya seorang pria membuat Ilham terkejut.
Mungkin karena Ilham sejak tadi hanya berputar-putar dan sesekali memperhatikan gerombolan ibu-ibu tadi, sehingga menaruh kecurigaan pada pemuda yang mungkin seusianya tersebut.
Bingung mau menjawab apa, tiba-tiba sebuah suara bariton menjawab pertanyaan orang di depannya.
“Itu adikku, Dan. Nanti dia yang bantuin kamu angkutin barang. Info dia aja kalau kamu butuh bantuan.” Reno berujar santai sambil melangkah mendekat ke arah mereka.
“Oh, oke, Kak. Kalau gitu saya lanjut dulu,” pamit Ardan, pria berusia 22 tahun itu, lalu pergi.
Kini, tinggal Reno dan Ilham. “Kamu cukup cepat juga bangunnya. Aku sudah berusaha bangun cepat hari ini karena lupa ngasi tau kamu pekerjaanmu apa. Oia, ini ada seragam khusus karyawan toko kamu pakai, ya,” ujar Reno membuka obrolan.
“Kamu sudah sarapan?” sambung Reno yang segera dijawab iya oleh Ilham.
“Kalau gitu, kamu bisa lanjutkan pekerjaanmu. Lihat-lihat saja dulu. Santai aja, kok. Nanti kamu bantuin Ardan, ya.” Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Reno kembali ke lantai atas.
“Oke, Bang. Aman,” jawab Ilham. Dia tahu kalau lelaki itu belum mandi, mungkin hanya baru cuci muka. Pakaiannya masih yang kemarin, matanya masih terlihat merah menandakan bahwa dia memaksa matanya untuk terbuka.
Setelah melihat seragam di tangannya, Ilham berlalu, menuju ke lantai dua untuk mengganti pakaiannya dengan seragam khusus karyawan. Dia mengganti celananya dengan celana panjang agar terlihat lebih sopan.
Setelah itu, dia turun ke lantai satu, kembali melanjutkan melihat-lihat barang. Tak lama kemudian lelaki yang menegurnya tadi datang, Ardan.
“Mas, bantuin saya angkutan barang ke mobil, ya. Sekalian temani saya antarkan barang.” Lelaki berbaju kemeja khusus karyawan sana seperti yang dia pakai itu mendekat dan meminta bantuan.
Mereka mulai mengangkut barang-barang pesanan pelanggan ke atas mobil pikup. Ilham menebak kalau barang-barang yang dibelinya ini kemungkinan untuk dijual lagi. Bukan barang sedikit, bahkan barang yang sama mencapai lusinan.
Rumahnya cukup jauh, mereka harus berkendara sekitar dua puluh menit untuk tiba di tepi kota, cukup jauh dari pusat kota.
Ilham dan Ardan sudah mulai cukup akrab. Mungkin karena lelaki berkulit sawo matang itu suka berbicara, mengajukan beberapa pertanyaan pada Ilham. Tak jarang terdengar suara tawa dari keduanya.
Ilham seperti menemukan teman baru, sikap Ardan hampir sama dengan Dilan, suka ceplas ceplos, sehingga suasana tidak kaku. Mungkin kalau Ilham bekerja dengan orang pendiam, maka dunianya benar-benar akan sepi. Ilham bukan tipe orang yang pandai berbasa-basi. Namun, dia akan menjadi berbeda jika bertemu dengan teman se-frekuensi atau teman yang sudah sering bersamanya.
“Masih jauh, ya?” tanya Ilham karena merasa bahwa sejak tadi tak juga sampai dan beberapa kali melewati jalan yang sedikit rusak.
“Tidak, sudah dekat. Dekat pasar tradisional di depan sana. Barang-barang ini untuk mereka jual lagi. Semenjak Pak Bos buka toko perabot, orang ini langsung langganan. Katanya sih masih kerabat jauh Kak Reno.” Ucapan Ardan membuat Ilham berpikir. Kira-kira siapa yang memesan barang ini? Kerabat? Apa mungkin Ilham mengenalnya?
Benar saja, saat tiba di sebuah toko yang berukuran tidak terlalu besar dan tidak juga terlalu kecil, bangunan semi permanen, pintu ruko masih terbuat dari papan yang disusun satu persatu, dan lantai hanya terbuat dari semen.
Ilham menatap tidak percaya dengan seorang pria yang berdiri tepat di depan toko. Terlihat sedikit lusuh, bajunya terlihat basah karena keringat. Mungkin sejak tadi menata kembali barang-barang di dalam tokonya, agar barang yang baru datang bisa disusun dengan baik.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.