Blurb :
Menjadi anak pertama bukanlah hal yang mudah, hampir semua tanggungjawab dibebankan di atas pundaknya.
Anak pertama harus menjadi panutan untuk adik-adiknya, bahkan harus menjadi pengganti kepala keluarga saat sang ayah telah tiada.
Ilham, l...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Motor matic berwarna merah itu berjalan perlahan saat melihat sebuah mobil yang tidak asing terparkir di halaman rumahnya. Jantungnya berdetak lebih kencang. Tangannya menggenggam setir motor lebih kuat. Rahangnya mengeras. Ada emosi yang siap meluap dan ingin ditumpahkan.
Ilham memarkirkan motornya dengan asal, mencabut anak kunci lalu segera berlari masuk ke rumah, bahkan kaus kaki masih melekat di kakinya.
Ilham melihat lelaki yang dulu dia segani itu sedang berdiri. Di depannya ada Adzkiya yang memeluk erat pinggang lelaki itu.
Langkah Ilham berayun lebih cepat, tanpa diduga sebuah tinjauan melayang cepat ke wajah pria itu.
“Untuk apa Anda menginjakkan kaki di sini?!” Ilham berteriak tertahan. “Sini, Kia! Di bukan Ayah kita lagi.”
Pelukan Adzkiya terlepas karena tarikan Ilham cukup kuat, sementara Hamid mengusap rahangnya yang sakit, terlihat sudut bibir lelaki itu mengeluarkan berdarah.
“Ilham!” teriak Hamid, “mentang-mentang sudah besar kamu, ya, jadi berani melawan orang tua.”
“Anda saja berani meninggalkan Ibu, lalu kenapa saya tidak berani dengan Anda?! Anda berani menyakiti Ibu, itu artinya Anda siap untuk disakiti.” Ilham berteriak tidak mau kalah.
Zahran yang tadi hanya diam segera menarik tangan adik perempuan satu-satunya itu dan membawanya ke dalam kamar. Suara tangis bocah perempuan tersebut terdengar pilu. Bahkan, Zahran yang sangat jarang menangis pun ikut menangis mengingat kemarahan di antara sang kakak dan ayahnya.
Hana yang sedang menyiapkan minum di dapur segera berjalan ke sumber keributan. Kakinya melangkah pelan karena takut terjatuh. Dia berusaha mengimbangi kakinya yang gemetar dengan tongkat yang berada di tangan kanannya.
“Ilham, cukup, Nak. Bagaimanapun dia adalah Ayahmu,” ujar Hana yang jaraknya masih beberapa meter dari kedua orang yang bersitegang itu.
“Ayah macam apa yang meninggalkan keluarganya? Suami macam apa yang meninggalkan istrinya saat dinyatakan lumpuh? Dan pasangan macam apa yang tega berkhianat?” cecar Ilham dengan pertanyaan yang monohok.
“Ibu jangan membela laki-laki bajingan seperti dia!” sambung remaja yang sedang dikuasai emosi itu sambil menunjuk ke wajah Hamid.
“Ilham, dia masih ayahmu, Nak. Sampai kapan pun akan seperti itu,” ujar Hana menenangkan putranya.
Hamid hanya diam dan tersenyum miring melihat drama anak dan ibu di hadapannya. Ilham yang terlihat belum mampu mengontrol emosi dan Hana yang berusaha tetap sabar. Padahal sangat jelas bahwa wanita itu juga sangat marah, bahkan ada ketakutan yang berusaha dia tutupi.
“Iya, Ham. Aku ini ayahmu. Darahku mengalir deras dalam tubuhmu,” ujar Hamid tersenyum, lalu melirik Hana yang terkejut dengan ucapannya. Wanita itu menggeleng pelan.
“Kamu belum mengatakan kebenaran itu, Han? Lama sekali kau menyimpannya,” sindir lelaki berkaus hitam itu, melirik bergantian antara Hana yaang terlihat gugup dan Ilham yang terlihat bingung.
“Bu, apa ada yang Ibu tutupi?” tanya Ilham pelan. Menatap ke dalam mata Hana untuk mencari jawaban. Namun, dia tidak menemukan rahasia apa yang sebenarnya ditutupi oleh dua orang dewasa di depannya.
“Sudah waktunya dia tau, Han. Dulu aku yang ingin mengatakannya, tapi kamu terus saja melarang. Kamu bilang belum waktunya lah, nanti saja lah. Sampai dia harus tau di saat genting seperti ini,” ujar Hamid yang sudah duduk santai di sofa.
Ilham masih bingung meminta Hana untuk duduk, dia sangat penasaran dengan apa yang dimaksud oleh Hamid. Tasnya yang tadi berada di punggung pun entah sejak kapan sudah tergeletak di lantai.
Sementara itu, di dalam kamar, Zahran mencuri dengar. Dia mengintip dan memasang pendengaran pada pintu yang sedikit terbuka. Bukan hanya dia, tetapi juga Adzkiya yang sesekali masih sesenggukan.
“Kak, ada apa?” tanya Adzkiya yang sudah duduk di dekat Zahran.
“Hust ... jangan ribut, nanti Abang marah lagi,” jawab bocah laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolah itu, jari telunjuk dia letakkan di bibir sebagai isyarat agar adiknya tidak berisik. Zahran cukup terkejut melihat kemarahan Ilham. Ini kali pertama dia melihatnya.
Mendengar jawaban Zahran membuat Adzkiya diam. Dia juga ikut mengintip dan memasang telinga agar bisa mendengar obrolan kedua orang tua dan abangnya di ruang tamu.
“Dia bukan ibu kandungmu, Ham!”
Bagai bom atom yang meledak, Ilham tercengang mendengar pernyataan Hamid barusan. Matanya melotot tidak percaya, bahkan tubuh remaja itu menegang. Kedua tangannya terkepal menampakkan buku-buku jarinya yang memutih.
Tidak jauh berbeda dengan Hana. Wanita yang sejak tadi sudah berusaha menahan tangis itu sampai membekap mulutnya, dia tidak percaya bahwa Hamid akan mengungkapkan fakta yang selama ini dia sembunyikan.
Deru napasnya memburu, Ilham bangkit dari sofa ketika mendengar tangis sang ibu. Dengan gerakan cepat, Ilham kembali melayangkan pukulan di wajah Hamid. Dia tidak peduli lagi dengan adab. Lelaki itu datang hanya untuk mengacaukan kebahagiaan mereka yang sudah berusaha dia pulihkan.
“Anak kurang ngajar!” hardik Hamid bangkit dari kursinya. Menangkap tangan Ilham yang akan kembali melayangkan pukulan.
Mata remaja itu mengembun, dia yakin akan menetes jika berkedip. Dengan tatapan terluka, Ilham berusaha menatap wajah lelaki berjambang di hadapannya tersebut.
“Kamu sebenarnya anak kandung ayah, tapi bukan anak kandung dari ibumu ini. Ayah menikah dengan Hana karena butuh seorang wanita untuk merawat dan membesarkan kamu. Ibumu meninggal setelah kamu lahir.” Hamid memegang bahu Ilham sambil menceritakan sebuah fakta yang sudah belasan tahun disembunyikan.
Tubuh Ilham merosot ke lantai, dalam posisi berlutut di depan ayahnya. Bahu yang beberapa bulan itu kuat menopang beban hidup keluarganya terlihat bergetar. Dia menangis tanpa suara.
Ucapan sang ayah benar-benar sulit dia cerna. Bahkan, Ilham tidak tahu harus bersikap seperti apa setelah ini. Hana merahasiakan berita besar itu padanya. Hatinya sakit, merasa ditipu. Semua perlakuan Hana padanya setelah Zahran lahir terjawab sudah.
Dulu Ilham merasa dibedakan setelah Zahran lahir. Hanya saja, Ilham merasa bahwa dia adalah anak pertama yang memang harus bertanggungjawab terhadap adiknya. Termasuk menjadi sosok yang selalu disalahkan jika terjadi sesuatu pada sang adik.
Hana berdiri, berjalan tertatih ke arah putranya. Ilham memang tidak lahir dari rahimnya, tetapi sesungguhnya dia sangat mencintai Ilham seperti putranya sendiri. Apalagi remaja tampan itu telah bertanggungjawab menafkahi mereka setelah Hamid pergi. Dia juga yang sudah membantu dan merawat Hana saat lumpuh.
Wanita itu tidak sanggup melihat kerapuhan putranya. Hana menangis, meraih bahu Ilham. Namun, remaja beralis tebal itu hanya bergeming, sehingga membuat Hana semakin merasa bersalah.
Di dalam kamar, Zahran dan Adzkiya terpaku melihat dan mendengar rangkaian kejadian di ruang tamu. Terlebih saat mendengar pernyataan ayahnya. Ilham adalah sosok kakak yang paling baik bagi mereka. Meskipun Ilham sering marah dan menegurnya jika melakukan kesalahan. Namun, Ilham baik dan perhatian walaupun pendiam.
Sikap diam Ilham-lah yang membuat Zahran dan Adzkiya merasa segan.
“Ayah bohong, ‘kan, Kak? Abang itu anak Ibu, ‘kan? Aku gak mau Abang pergi,” cecar Adzkiya yang kini kembali menangis lagi.
Zahran yang mendengar rentetan pertanyaan adiknya mulai merasa bahwa akan ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Dia tidak bisa membayangkan jika abangnya pergi. Apalagi kedua orang tuanya telah bercerai. Tidak, hal itu tidak boleh terjadi, pikir Zahran sambil menggelengkan kepalanya berusaha untuk mengenyahkan pikiran buruk.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.