Aliran air dari keran terasa dingin menusuk kulit. Kedua tangan pemuda itu seperti tidak merasakannya, dia masih lincah mencuci piring bekas sarapannya tadi. Sementara itu, di sofa seorang pria masih menunggu. Segelas teh hangat menjadi temannya.
Sesekali pandangannya menatap punggung pemuda yang sedang menata piring di rak. Sebenarnya dia cukup kasihan melihatnya. Namun, biarlah. Dia hanya punya wewenang untuk memberi pengertian tanpa harus jauh masuk ke ranah kehidupannya.
“Abang gak turun?” tanya Ilham yang sedang melangkah ke arahnya.
“Nanti saja, sini duduk dulu.” Reno menunjuk sofa di depannya dengan dagu.
Ilham hanya menurut, mendaratkan bokongnya dengan malas di sofa tepat di seberang lawan bicaranya.
“Perihal ibumu yang sudah menikah lagi, aku tahu. Ibuku yang menceritakannya. Aku sengaja tidak menceritakan ke kamu karena hanya ibumu yang berhak untuk itu,” jelas Reno sebagai pembuka obrolan mereka.
Ilham hanya menghela napas, rasanya tidak ingin lagi membahas itu. Hana juga sudah mengirimkan pesan sebagai bentuk penjelasan dna permintaan maaf. Namun, egonya masih menguasai. Sadar diri dengan posisinya selama ini. Dia hanyalah anak yang mungkin sangat terpaksa Hana urus karena ibu kandungnya meninggal saat dia baru dilahirkan.
Akan tetapi, tidak dilibatkan dalam pernikahan ibunya terasa sangat menyakitkan. Ilham yang menemani kala Hana kesusahan, sakit, dan bahkan tidak ada yang peduli. Setelah semua terlewati, ibunya kembali sehat dan bahagia, tetapi justru mencari orang lain untuk menemaninya.
Ilham menggelengkan kepalanya, berusaha membuang pikiran atas kebaikan yang selama ini dia berikan. Lagi pula, apa yang dia berikan kepada Hana tidak sebanding dengan apa yang wanita itu lakukan terhadapnya sejak bayi hingga dewasa.
Sudahlah, Ilham tidak ingin lagi memikirkan hal itu, ibunya sudah bahagia. Mungkin seperti yang Hana katakan, Ilham juga harus bahagia, mengejar cita-citanya dengan sejumlah uang yang cukup untuk mendaftar kuliah.
Akan tetapi, harapannya untuk kuliah sudah tidak seperti dulu. Entahlah, untuk saat ini dia masih menikmati pekerjaannya. Mungkin suatu saat dia akan memikirkan kembali untuk melanjutkan pendidikan.
“Tidak mengapa, lupakan saja. Aku hanya butuh waktu untuk bisa menerima semuanya. Aku pamit kerja dulu, Bang.” Ilham hendak beranjak dari tempat duduknya. Namun, suara Reno memintanya untuk duduk sebentar.
“Anggap saja rumah ini seperti rumahmu sendiri, kamu sudah lama tinggal di sini, ‘kan? Jadi, tidak usah seperti orang baru begitu,” ujar pria itu, lalu tersenyum tipis.
Ilham hanya menanggapinya dengan senyum yang sedikit dipaksakan. Sebenarnya dia merasa tidak nyaman karena Reno sudah memperlakukannya dengan baik selama tinggal di sana. Lalu, diizinkan kembali bekerja padahal seharusnya dia cuti.
Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Ilham selain kembali ke rumah Reno dan bekerja, mengambil lemburan selama Ramadhan yang terhitung mulai besok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sulung Si Tulang Punggung
General FictionBlurb : Menjadi anak pertama bukanlah hal yang mudah, hampir semua tanggungjawab dibebankan di atas pundaknya. Anak pertama harus menjadi panutan untuk adik-adiknya, bahkan harus menjadi pengganti kepala keluarga saat sang ayah telah tiada. Ilham, l...