Seminggu setelah kejadian di dapur waktu itu, semua sudah kembali membaik. Ilham juga sudah kembali bekerja. Hana pun kembali menjalani pengobatan dan terapi. Bahkan, lebih semangat dari sebelumnya.
Di malam hari, Zahran dan Adzkiya masuk ke kamar sang kakak. Ada perasaan segan setelah kejadian waktu itu. Keduanya menjadi takut takut melihat Ilham marah.
Akan tetapi, rasa penasaran kedua bocah itu membuatnya berani untuk menemui Ilham. Setelah berhasil masuk, mereka duduk manis di ranjang remaja itu. Saling sikut tidak bisa dihindari karena tidak ada yang mau bertanya lebih dahulu.
“Kalian mau menanyakan sesuatu?” tanya Ilham memulai obrolan. Diletakkannya pulpen di atas meja belajar, lalu berbalik dan fokus memperhatikan kedua adiknya.
Sejenak Zahran berpikir, lalu bertanya, “Abang gak akan ninggalin kami, ‘kan?”
“Abang harus tetap di sini, gak boleh pergi!” sambung Adzkiya.
Ilham yang mendengar ucapan mereka pun hanya mengerutkan kening. “Tidak, Abang gak ke mana-mana. Kalian tidurlah, Abang masih harus ngerjain tugas.” Hanya kalimat itu yang bisa Ilham ucapkan, bukan tidak ingin mengobrol bersama, tetapi tugas sekolahnya sudah menumpuk.
Belum lagi Ilham harus menyelesaikan tugas fisika yang berjumlah lima puluh soal. Sementara itu, jam di dinding sudah menunjukkan jam sembilan malam. Matanya sudah terasa berat karena seharian bekerja.
“Beneran, ya, Bang. Abang gak boleh pergi,” ujar Adzkiya memastikan, Ilham mengangguk dan tersenyum kepada kedua adiknya. Senyum mereka pun merekah.
“Kalian gangguan Abang ngerjain tugas?” Pertanyaan Hana membuat kedua bocah itu terkejut sesaat setelah pintu terbuka dan mereka keluar dari kamar. Bahkan, pintu yang terbuat dari ulin itu belum sempat mereka tutup.
“Gak, kok, Bu. Ibu kenapa belum tidur?” Zahran mengalihkan pertanyaan.
“Kalian yang kenapa belum tidur?” Hana mengembalikan pertanyaan putranya.
Setelah menjawab bahwa mereka akan ke kamar dan istirahat, Hana pun beranjak ke dapur untuk mengambil air minum.
Sejam kemudian, Hana sedang berbaring di kasur yang berada di dalam kamarnya. Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar.
“Bu, boleh masuk gak?” Suara Ilham bertanya, melalui pintu yang sedikit dibuka.
“Masuk, Ham. Ibu belum tidur, kok.” Hana menjawab sambil melambaikan tangan memberi kode agar putra sulungnya itu masuk.
Ilham melangkah, lalu duduk di sisi kasur yang kosong. Ibunya sudah berbaring dengan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya.
“Bu ... boleh bertanya sesuatu?” Ilham bertanya sambil memperbaiki posisi duduknya. Kaki kirinya dia lipat di atas kasur, sedangkan kaki kanannya dibiarkan menjuntai ke lantai.
“Tanya apa?” Hana bertanya ambil mengubah posisinya menjadi setengah duduk, bersandar di dipan beralaskan bantal.
“Bagaimana Ibu bisa bertemu dengan Ayah? Apa Ibu juga mengenal ibuku?” tanya Ilham. Sekarang posisinya sudah berbaring sambil menatap langit-langit kamar bercat putih tersebut.
Sambil bercerita, Hana menerawang pada kejadian 16 tahun lalu.
Saat itu Hana yang baru lulus kuliah, memutuskan untuk kembali ke kampung karena kedua orang tuanya sakit. Ruko milik orang tuanya saat itu dijual karena membutuhkan uang untuk biaya pengobatan. Mata pencarian satu-satunya itu dibeli oleh Diman.
Lima bulan setelah operasi jantung, ayahnya Hana meninggal. Tidak butuh waktu lama ibunya juga menyusul karena penyakit komplikasi yang diderita.
Hana yang tidak memiliki saudara memutuskan untuk pergi ke kota. Sementara itu, Rumah peninggalan orang tuanya dia titipkan kepada Bibi Rika.
Adriana—ibu kandung Ilham—merupakan sepupu dua kali Hana dari pihak ibu. Waktu itu Adriana telah mengandung tujuh bulan. Dia mengetahui bahwa Hana ingin ke kota untuk mencari pekerjaan setelah adik sepupunya itu mengabari.
Dengan senang hati, Adriana mengajak Hana untuk tinggal bersama, sambil mencari pekerjaan. Sembari menunggu panggilan kerja, Hana membantunya di rumah. Apalagi wanita yang usianya hanya berbeda dua tahun dengan Hana tersebut, sudah mulai kelelahan dengan aktifitasnya.
Adriana bekerja di salah satu kantor cabang dengan slogan “menyelesaikan masalah tanpa masalah”. Jaraknya tidak jauh dari rumah, hanya butuh waktu 20 menit mengendarai motor.
Saat itu, Hamid bekerja di salah satu perusahaan sebagai staf dengan gaji standar UMR. Lelaki keturunan Turki itu juga tidak masalah jika sang istri tetap bekerja karena kemauan istrinya.
“Kamu tinggal di sini bareng aku aja, ya, selama masih nunggu pekerjaan,” pinta Adriana sekali lagi saat Hana sampai di rumahnya.
Rumah minimalis tipe 36 itu memiliki dua kamar, sehingga Adriana tidak keberatan untuk mengajak bahan tinggal bersamanya.
“Aku gak enak sama Mas Hamid, Kak. Nanti aku ngekos aja, ya. Aku nginep sehari atau dua hari aja nemenin Kakak di sini,” jawab Hana sungkan.
“Masalah itu, kamu gak usah khawatir. Aku sudah ngomong jauh-jauh hari sama suamiku. Dan dia setuju. Malah katanya nanti dia bisa bantuin kamu buat cari kerja. Kan, dia punya banyak teman.” Adriana berusaha mengenyahkan kekhawatiran Hana, sesekali dia juga mengusap bahu gadis berusia 24 tahun itu.
“Oke deh, Kak. Hmm ... mungkin besok aku mulai cari-cari lowongan kerja. Lagian Kakak juga kerja, aku gak mungkin di rumah sendirian.” Hana akhirnya menyetujui ucapan Adriana.
Hana tiba di rumah Adriana sore tadi. Dia sempat beristirahat sejenak, membereskan beberapa barangnya di dalam kamar yang akan dia tempati. Kamar berukuran 3x3 itu akan menjadi tempatnya beristirahat.
.
Sebulan sudah Hana tinggal di rumah bercat biru muda itu. Namun, belum juga ada tanda-tanda ada panggilan untuk bekerja. Kesehariannya hanya dihabiskan untuk membantu Adriana membereskan rumah dan memasak. Sebenarnya Hana sangat malu menumpang hidup di sana.
Akan tetapi, setiap gadis itu pamit untuk pergi mencari tempat tinggal lain, Adriana selalu menolak. Bukan cuma wanita hamil itu saja, tetapi juga suaminya melarang Hana pergi, dan memintanya untuk di rumah menemani Adriana.
Terlebih lagi, kehamilan wanita berambut sebahu itu hanya tinggal menunggu waktu sebulan lagi. Tidak terasa anak pertamanya akan lahir. Kebahagian menyelimuti hatinya setiap merasakan pergerakan janin di dalam kandungannya.
Hana hanya merasa tidak nyaman setiap kali Hamid memandang dirinya. Secara fisik, gadis berkulit putih itu memang lebih cantik dibandingkan Adriana. Terlebih lagi selama kehamilan, tubuh wanita itu menjadi gemuk.
Sebagai seorang wanita, tentu saja Hana menjadi waspada. Dia hanya takut jika setan menggoda Hamid dan dirinya. Hamid terlihat sangat sempurna seperti model yang sering tampil di televisi. Tubuhnya tinggi, hidung mancung, kulit sawo khas lelaki, dan rahang tegas yang dipenuhi bulu yang selalu dicukur rapi.
Kemeja dan celana panjang, serta sepatu hitam yang selalu mengkilap selalu menambah kadar ketampanan Hamid. Karena itulah, Hana selaku memalingkan wajah setiap kali tidak sengaja berpapasan dengannya.
Hana sedikit takut pada suami Adriana itu, sikapnya yang pendiam dan berbicara seperlunya saja membaiat Hana segan. Apalagi tatapan matanya setajam elang seolah menghunus tepat ke jantungnya.
Sikap Hana yang selalu menghindari Hamid membuat lelaki itu penasaran. Pikiran kotor mulai merajainya. Sebagai seorang pria, tentu saja penampilan dan fisik wanita menjadi pandangan pertama yang akan mengenyangkan mata.
.
“Begitulah awal mula Ibu bertemu dengan Ayahmu. Ibumu wanita yang sangat baik. Dia masih kerabat Ibu, makanya Ibu dan Bibi Rika sangat menyayangimu. Menganggap kamu seperti anak kami sendiri.” Hana mengakhiri ceritanya.Akan tetapi, hanya sebatas pertemuannya dengan Hamid saja. Dia tidak menceritakan bagaimana Hamid bisa menikah dengannya. Dia tidak mungkin menceritakannya. Sudah pasti Ilham akan membencinya dan menyebutnya sebagai seorang pelakor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sulung Si Tulang Punggung
Ficción GeneralBlurb : Menjadi anak pertama bukanlah hal yang mudah, hampir semua tanggungjawab dibebankan di atas pundaknya. Anak pertama harus menjadi panutan untuk adik-adiknya, bahkan harus menjadi pengganti kepala keluarga saat sang ayah telah tiada. Ilham, l...