Berdamai

70 7 0
                                    

Sejak kejadian seminggu yang lalu, Ilham lebih banyak diam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sejak kejadian seminggu yang lalu, Ilham lebih banyak diam. Bahkan, lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamar. Dia juga tidak pergi bekerja. Sepulang sekolah, remaja yang terlihat kusut itu sering mampir di rumah Dilan.

Zahran dan Adzkiya yang sering dijemput saat pulang, kini mereka berdua harus pulang bersama dengan rombongan teman-temannya yang lain.

Seperti hari ini, Ilham dan Dilan pulang bersama. Tentu saja ke rumah Dilan. Kedua remaja itu segera masuk ke kamar saat tiba di rumah. Ibunya Dilan yang sudah tahu keadaan Ilham setelah diceritakan oleh putranya pun merasa iba.

Wanita berusia  50 tahun itu mengetuk pintu kamar. Beberapa saat kemudian Dilan keluar masih dengan seragam sekolah yang melekat di tubuhnya.

“Makan dulu, ajak Ilham juga.” Ibu Santi—ibunya Dilan—berujar sambil melirik ke dalam kamar putranya.

“Iya, ini memang mau ke dapur, kok.” Dilan segera masuk ke kamar setelah ibunya berlalu.

Sesudah kedua anak remaja itu selesai makan, Ibu Santi datang dan duduk di kursi tidak jauh dari tempat Ilham. Wanita itu merasa harus memberikan sedikit nasihat agar sikap sahabat putranya itu tidak berlarut-larut.

Bukan tidak suka jika Ilham berada di rumahnya setiap hari, tetapi sebagai seorang ibu, pasti Hana sedang merasakan kehilangan sosok Ilham yang selama ini selalu menemaninya.

“Ham ....” Wanita itu melipat kedua tangannya di atas meja, melihat ke arah Ilham. Remaja yang disebut namanya itupun menoleh membuat pandangan mereka bertemu.

“Tante sudah tau semua tentang masalah yang sedang kamu hadapi. Mungkin ini memang kabar yang berat buat kamu, Nak. Tapi satu hal yang tidak boleh kamu lupakan ....” Ibu Santi menjeda lagi ucapannya.

Ilham masih diam, menunggu wanita yang dipanggilnya tante itu melanjutkan  ucapannya.
“Ibu Hana memang bukan ibu kandungmu, Nak. Kamu juga bukan anak yang lahir dari rahimnya. Tapi coba kamu ingat lagi bagaimana dia merawat dan membesarkanmu sejak bayi. Sampai akhirnya kamu sebesar ini. Menjadi laki-laki yang hebat, berprestasi, dan juga bertanggung jawab.” Wanita itu berbicara dengan lembut, berharap Ilham mau mendengarkan dan menerima ucapannya.

Ilham diam, mungkin sedang berpikir. Sementara itu, Dilan yang berada di sampingnya menepuk pelan bahu sahabatnya tersebut. Mereka memang berteman sejak duduk di bangku taman kanak-kanak.

“Apa kamu pernah melihat raut wajah ibumu setelah kejadian kemarin?” tanya Ibu Santi, Ilham hanya menggeleng.

Remaja itu memang terlihat tidak peduli, dia masih marah dan merasa dibohongi. Bahkan, menyentuh sarapan di meja makan saja tidak. Dia hanya duduk di teras ketika sudah siap sambil menunggu kedua adiknya selesai sarapan. Meskipun Hana sering memanggilnya, tetapi Ilham diam saja.

“Setelah kembali dari sini. Coba kamu tatap wajah lelah ibumu. Dia bahkan belum sepenuhnya pulih dari sakitnya. Tante hanya tidak mau kamu menyesal di kemudian hari, Nak. Ibumu sengaja menyembunyikan identitas aslimu, mungkin karena dia takut kamu akan pergi dan meninggalkannya,” jelas Ibu Santi.

Ilham mengangkat kepalanya, menatap wajah wanita yang selama ini sangat baik kepadanya. Sementara itu, Ibu Santi mengulas senyum, tetapi tidak dibalas oleh Ilham. Wanita itu merasa jika Ilham marah dan mungkin tidak menerima sarannya.

“Saya pamit pulang dulu, Tante. Terima kasih dan maaf selalu merepotkan,” pamit Ilham membuat Ibu Santi mengangguk.

Ilham beranjak Dari kursi, menuju kamar Dilan untuk mengambil tas sekolahnya.

“Aku pulang dulu, ya, Lan,” pamitnya pada Dilan, dia tahu jika sahabatnya itu sudah mengikutinya sejak dari dapur. Dilan hanya mengangguk untuk menanggapi ucapan Ilham.

“Iya, hati-hari, ya. Langsung balek rumah!” Dilan menepuk bahu Ilham sambil menekan kalimat terakhir. Ilham hanya mengangguk, lalu keluar rumah dan menyalakan motornya untuk pulang.

Sesampainya di rumah, Ilham memarkirkan motornya di teras. Sejenak dia termenung memikirkan perkataan Ibu Santi tadi. Remaja itu menghela napas, lalu mencabut anak kunci dan turun dari motor.

Pintu rumah sedikit terbuka, Ilham melangkah masuk perlahan. Samar-samar terdengar suara wanita yang dia kenal, Bibi Rika. Ilham mengendap ingin mendengar obrolan mereka.

“Kamu kenapa, sih, Han? Sudah gak pernah minum obat, jadwal kontrol ke dokter gak kamu gubris, pergi ngurut dan terapi pun gak mau. Aku sudah bilang berulang kali, Ilham itu cuma butuh waktu untuk bisa nerima kenyataan ini. Kamu gak boleh nyiksa diri, kamu harus bisa sehat seperti dulu lagi.” Bibi Rika terus berbicara, sedangkan Hana hanya menangis mendengar semua ucapan sepupunya itu sejak tadi.

“Kamu mau kalau mantan suamimu itu kembali dan membawa semua anak-anakmu? Dengan alasan kalau kamu gak becus lagi ngurus mereka.” Sambung wanita berdaster itu, Hana mengalihkan pandangan ke arahnya, lalu menggeleng cepat.

“Aku cuma takut kalau Ilham ninggalin aku, Mba. Aku sudah menganggap dia seperti anakku sendiri. Mba juga begitu, ‘kan? Aku tau Mba juga sayang sama dia.” Hana berbicara dan sesekali diselingi suara tangis.

Ilham yang mendengar pernyataan Hana membuatnya merasa bersalah karena sudah mengabaikan sang ibu. Remaja itu melangkah ke arah dapur, melihat secara langsung dua wanita dewasa yang sedang duduk di kursi meja makan.

Hana cepat-cepat mengusap wajahnya. “Ham, kamu sudah pulang,” tanya Hana sambil tersenyum. Namun, kesedihan di wajahnya tidak bisa disembunyikan.

Ilham tidak menjawab pertanyaan Hana. Dia terus melangkah maju mendekati ibunya, membuat kedua wanita yang duduk di sana menatap heran.

“Maafkan aku, Bu.” Satu kalimat terdengar pelan di telinga Hana. Ilham sedikit menunduk dan memeluk wanita itu dari belakang. Hana terkejut, tetapi justru membuat tangis yang tadi berhenti kembali terdengar.

Bibi Rika yang melihat ibu dan anak di depannya tidak bisa membendung kesedihan. Dia juga ikut menangis. Akhirnya Ilham mau menerima kenyataan yang ada.

“I-Ibu yang minta maaf, Nak. Ibu yang salah karena merahasiakan hal ini sama kamu,” ujar Hana terbata di sela tangisnya.

“Sudah, Bu. Kita lupakan saja yang sudah terjadi. Yang aku tau, aku anak Ibu. Mulai besok berobat lagi, ya.” Ilham sudah duduk di kursi yang kosong. Matanya merah karena habis menangis. Namun, hatinya merasa lebih lega. Tidak seperti hari-hari sebelumnya yang telah dia lewati. Terasa hampa dan sangat berat menjalani hari.

Hana hanya mengangguk sebagai jawaban. Setelahnya, Bibi Rika pamit untuk pulang karena ingin beristirahat. Di senang karena masalah adiknya sudah selesai. Dia tidak lagi harus bertandang ke rumah Hana setiap hari hanya untuk mendengarkan curahan hati wanita yang sedang dirundung masalah. Ataupun sekedar menguatkan hatinya.

“Makan dulu, Ham,”  perintah Hana saat putranya hendak berdiri.

“Aku sudah makan di rumah Dilan tadi. Gak enak nolak di panggil mamanya tadi.” Ilham memegang tangan ibunya yang terletak di atas meja. “Maafkan aku, ya, Bu. Sebenarnya aku gak marah, cuma kecewa aja. Tapi sekarang aku sudah sadar kalau tindakanku salah. Ilham ke kamar dulu, ya.”

”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sulung Si Tulang Punggung Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang