Perjalanan Ke Kota

34 5 0
                                    

Matahari merangkak naik, memencarkan sinar kekuningan yang menciptakan kehangatan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matahari merangkak naik, memencarkan sinar kekuningan yang menciptakan kehangatan. Pagi ini, Ilham sudah siap di atas motornya. Tas rensel yang gendong di punggung, lalu sebuah travel bag mini dia letakkan di depan.

Helm full face sudah terpasang rapi, pun dengan jaket dan sepatu yang sangat serasi di tubuh jangkungnya. Setelah berpamitan dengan kedua adiknya dan juga sang ibu, Ilham segera melajukan motornya. Meninggalkan keluarganya untuk mencari kehidupan yang lebih baik di kota.

Segala harapan Ilham agungkan di dalam doanya. Selain meminta kesehatan untuk dirinya dan keluarganya, dia juga meminta untuk dilancarkan dan dimudahkan segala urusannya.

Ini pertama kalinya remaja itu pergi seorang diri ke tempat yang cukup jauh. Jarak tempuh delapan jam bukan waktu yang sebentar. Salah satu alasan dirinya memilih untuk berkendara sendiri, untuk dapat mengakses dan menjangkau tempat-tempat yang ingin dia kunjungi lebih mudah.

Remaja yang memakai jaket berwarna hitam itu juga memilih untuk berangkat lebih cepat, yakni saat matari mulai terbit. Hal itu dia lakukan agar tidak kemalaman di jalan. Dia ingin sedikit menikmati perjalanan.

Rumah-rumah pemukiman sudah dilewati, kini dia memasuki jalan poros. Hanya terdapat beberapa rumah dan warung-warung pinggir jalan, tempat itu biasanya disinggahi oleh para pengendara ataupun penumpang yang ingin beristirahat sejenak.

Beberapa warung juga menyediakan oleh-oleh khas daerah sekitar, untuk dijadikan buah tangan bagi keluarga dan sanak saudara. Tidak hanya untuk mereka yang ingin kembali ke kampung halaman, tetapi warga sekitar juga sering membeli untuk dimakan di rumah.

Tidak terasa lima jam sudah Ilham mengendarai motornya. Sudah tengah hari dan waktunya untuk beristirahat. Dia mampir di sebuah warung untuk beristirahat dan meluruskan pinggang. Tidak jauh dari warung yang menyediakan aneka hidangan itu, terdapat sebuah pom bensin.

Setelah makan dan beristirahat, remaja yang baru saja keluar dari toilet itu akan mampir untuk mengisi bahan bakar. Dia segera duduk di salah satu meja makan, meraih sebuah kertas berlaminating yang berisi daftar menu yang tersedia di sana.

Pandangannya bergerak perlahan ke bawah, memindai makanan apa yang akan dia pilih sebagai menu makan siangnya.

Tiba-tiba seorang pelayan mendatangi mejanya. Di tangannya terdapat sebuah nota untuk menuliskan menu yang dipesan oleh pelanggan.

“Ikan goreng satu dan minumnya es teh saja,” pesan Ilham yang segera dicatat oleh gadis yang berdiri di hadapannya.

“silakan ditunggu, ya, Kak.” Pelayan itu segera berlalu, membawa daftar pesanannya ke bagian dapur.

Ilham hanya menunggu dalam diam, sesekali mengecek ponselnya dan membuka aplikasi hijau. Membaca deretan pesan yang bahkan belum dibuka sejak beberapa hari yang lalu.

Sebuah pesan dari Hamid mengalihkan perhatiannya, ternyata pria itu mengirim sebuah peta lokasi, yang merupakan tempat tinggal kepada putranya agar tidak tersesat.

Ilham kembali melanjutkan  perjalanan, saat memasuki perkotaan, dia mulai memperhatikan ponselnya. Mendengarkan dengan baik ucapan seorang operator yang sedang menunjukkan jalan. Sesekali Ilham juga akan mencoba mencari jalan alternatif.

Beberapa kali berputar-putar di lokasi yang sama gara-gara google. Bahkan, sudah dua kali dia tersesat di jalan buntu.

Tidak ingin membuang-buang waktu lagi, Ilham segera menelpon ayahnya. Kali ini dia berharap Hamid akan mengangkat panggilannya, sejak tadi Ilham menghubungi, tetapi tidak ada yang mengangkat.

Sementara itu, waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Semakin lama dia berputar-putar, maka semakin malam dia di perjalanan. Tentu saja hal itu semakin membuatnya kesal.

“Halo, Yah.” Ilham segera berbicara saat telepon tersambung. Ada perasaan lega di hatinya. Akhirnya sang ayah menerima panggilan telepon yang entah ke berapa kali.

“Ini siapa, ya? Suami saya lagi sibuk. Besok saja lagi teleponnya!”  balas suara wanita di ujung saja. Suaranya terdengar ketus di indra pendengarnya.

“Tapi, Bu. Saya ad perlu deng—“ Ucapan Ilham terpotong karena panggilan diputus sepihak.

Ilham melayangkan tinju ke udara. Marah. Seharusnya memang dia tidak percaya dengan ucapan ayahnya. Harapan hanya tinggal harapan. Berada di kota yang terbilang cukup besar, beberapa gedung pencakar langit serah meledek kesialannya sore ini.

Setelah meneguk sisa air mineral yang terselip di kantong tasnya, remaja itu bangkit dari duduknya. Dia harus mencari tempati untuk tidur malam ini, atau dia harus terpaksa tidur di emperan toko. Uang yang dia bawa hanya beberapa lembar. Mungkin hanya cukup untuk makan selama tiga hari.

“Ah, tau begini lebih baik aku di rumah sama adik-adik dan Ibu. Bekerja di toko seperti biasa dari pagi sampai malam, pasti gajiku dua kali lipat dari biasanya.” Ada perasaan sesak, Ilham bergumam seolah menyesali tindakannya hari ini.

Saat hendak berdiri, ponselnya berdering. Dirogohnya benda layar pipih itu di dalam sakit celananya. Nama wanita yang baru saja dia pikirkan terpampang nyata di sana.  Ibunya.

“Halo, Bu.” Ilham berujar setelah menggulir tombol hijau.

Terdengar suara wanita yang dia rindukan, padahal baru beberapa jam yang lalu ditinggalkan.

“Sudah sampai di rumah ayahmu kah, Nak?” Pertanyaan sang ibu terdengar lembut dan penuh kekhawatiran. Ilham menghela napas untuk mengatur nada suaranya.

“Sudah, Bu. Baru saja. Ini disuruh istirahat dulu di kamar.” Tidak pilihan lain. Ilham terpaksa berbohong agar ibunya tidak khawatir di sana. Suaranya sengaja dia buat seceria mungkin, bahkan tersenyum meskipun sebenarnya Hana tidak akan melihat senyumnya.

“Syukurlah. Jaga diri baik-baik di sana, ya. Jangan merepotkan ayahmu,” pesan Hana. Suara wanita itu terdengar parau. Mungkin dia sedang menangis.

“Siap, Bos! Ibu gak perlu khawatir. Pokoknya ibu gak perlu mikirin aku yang sudah besar di sini. Ibu fokus jaga kesehatan dana juga adik-adik, ya. Aku tutup dulu, ya, Bu. Mau mandi, gerah.” Ilham segera menutup panggilan setelah ibunya menjawab.

Remaja itu menarik napas dalam. Berada di kota dengan keadaan yang tidak jelas, belum lagi harus berbohong pada sang ibu. Dia tidak ingin Hana mengkhawatirkan dirinya, lalu berimbas pada kesehatannya. Biarlah Ilham berusaha sendiri, nanti jika sudah tidak menemukan titik terang, dia kan kembali ke kampung.

Saat sedang putus aja untuk menentukan tujuan, tiba-tiba ponselnya berdering. Harapan besar bahwa yang menelpon adalah Hamid, tetapi ternyata bukan. Sebuah nomor baru tertera di layar. Ilham bimbang, apakah harus menerima panggilan itu atau tidak.

Akan tetapi, rasa penasaran menyelimuti hatinya. Tangannya menggeser tombol hijau, lalu menempelkan di telinga kanan.

“Halo! Ham, ini aku Reno, anaknya Bibi,” sapa orang di ujung sana memperkenalkan diri.

“Iya, Bang.” Hanya dua kata itu yang bisa terucap dari bibir Ilham.

“Kata ibuku kamu ke kota, ya? Kamu di mana sekarang? Atau sudah sampai di rumah ayahmu?” cecar Reno di ujung sana.

Ilham terdiam sejenak. “Tapi Abang janji dulu gak ngasi tau ibuku atau Bibi Rika, ya."

“Sebenarnya ada apa, Ham?” Reno tampak panik.

“Aku belum ketemu Ayah, dari tadi cuma mutar-mutar karena GMaps gak jelas ngasi jalan,” keluh Ilham.

“Ya, sudah. Kamu ke rumahku aja dulu. Sekarang posisi kamu di mana? Biar aku jemput," tanya Reno di ujung telepon membuat Ilham lega mendengar kalimat itu.

“Di depan Masjid Al-Ikhlas,” jawab Ilham menyebutkan nama sebuah masjid lengkap dengan lokasinya yang terletak di papan nama tepat ibadah tersebut.

“Oh, itu. Dekat kok dari sini. Tunggu di sana, ya. Jangan ke mana-mana!” pesan Reno sebelum panggilan terputus.

Ilham bernapas lega, setidaknya dia tidak tidur di teras masjid malam ini. Sambil menunggu kedatangan Reno, Ilham mencoba untuk menghubungi ayahnya lagi, tetapi nihil. Panggilannya tidak masuk. Perasaannya semakin kesal pada Hamid.

Pagi tadi sebelum berangkat, Hamid dan Ilham masih saling berkomunikasi, bahkan waktu mampir di sebuah rumah makan untuk beristirahat pun mereka masih sempat bertukar kabar.

Akan tetapi, setelah dia sampai di kota, justru pria itu seolah menghilang. Apakah Hamid bermaksud untuk membuangnya di kota? Lagi-lagi Ilham berpikir negatif tentang ayahnya sendiri.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sulung Si Tulang Punggung Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang