Surat Menyakitkan

76 9 0
                                    

Mentari pagi terlihat cerah, warna kekuningan memancarkan cahaya yang memberi kehangatan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mentari pagi terlihat cerah, warna kekuningan memancarkan cahaya yang memberi kehangatan. Sesuai dengan janji Ilham pada dirinya sendiri. Pagi ini dia dan Zahran sedang asyik membersihkan pekarangan rumah.

Hana duduk di kursi roda sambil memandangi kedua putranya yang terlihat kompak. Ada kehangatan yang menjalar dalam sanubarinya. Apakah kehangatan ini akan selamanya dia lihat? Atau mungkin saja Ilham akan meninggalkannya juga setelah dia lulus sekolah nanti?

Banyak ketakutan yang berkecamuk dalam hatinya. Namun, Hana berusaha untuk tidak terlalu memikirkan. Sebenarnya dia ingin Ilham  melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Akan tetapi, Hana ingat kalau Ilham tidak memiliki tabungan pendidikan. Dia hanya membuatkan untuk Zahran dan Adzkiya. Penyesalan mulai memayungi sanubarinya. Seharusnya dia tidak membedakan ketiga putranya.
.
Pembagian hasil nilai akhir telah dibagikan. Ilham masih termenung menatap sebuah buku yang berisi nilai-nilai sekolahnya. Meski berat, tetapi ini sebuah konsekuensi yang harus dia terima karena waktunya untuk belajar telah terbagi.

“Akhirnya aku bisa mengalahkan kamu, Ham.” Dilan menepuk bahu Ilham dengan jumawa.

Selama tiga semester berlalu, baru di semester empat ini Dilan berhasil mengalahkan Ilham dan menduduki posisi pertama.

“Selamat, ya. Bukan cuma kamu yang berhasil ngalahin aku, tapi juga Cemara.” Ilham tertawa miris dengan ucapannya barusan.

Cemara, gadis cantik berlesung pipi yang selalu bersaing mengalahkan Dilan dan juga dirinya. Gadis yang selalu berkumpul bersama kelompok Desi itu memang berbeda dari teman-teman sekelompoknya. Selama tiga semester ini dia selalu menduduki peringkat tiga.

Desi dan ketiga temannya memang mengajak Cemara untuk bergabung di kelompok mereka. Pastinya untuk dimanfaatkan gadis pemalu tersebut. Meski begitu, Cemara tidak keberatan jika berbagi jawaban dengan mereka, tetapi tidak saat ulangan.

“Cie, ngeliatin Cemara. Naksir, ya?” goda Dilan membuat Ilham mengalihkan pandangan.

“Sembarangan!” Ilham langsung bangkit dan meninggalkan sahabatnya yang masih tertawa mengejek sikap malu-malu Ilham.

Tidak dipungkiri, sebagai remaja laki-laki yang sedang mengalami masa pubertas. Ilham merasakan ketertarikan dengan Cemara. Namun, dia memendam perasaannya. Lelaki itu sadar dengan keadaannya saat ini. Tidak ada waktu untuk sekedar bersenang-senang seperti dulu.

Ada beban yang harus Ilham pikul di pundaknya, yaitu keluarga. Bahkan, nomor ponsel Cemara pun dia tidak punya. Dulu lelaki yang memiliki tinggi 170 sentimeter itu pernah berniat memintanya pada Dilan, tetapi rasa malu mendominasi relung hatinya.

Tanpa orang lain sadari, Ilham sering memperhatikan Cemara dari jarak jauh. Karena Ilham sering mencuri pandang itulah Desi justru merasa besar kepala karena disukai oleh seorang lelaki tampan dan pemain voli yang diidolakan oleh beberapa gadis di sekolahnya.

Di tempat yang berbeda, Hana sedang termenung. Mengingat bahwa hari ini ketiga anaknya akan pulang membawa kabar bahagia, yaitu sebuah buku yang berisi hasil penilaian mereka tiap semester.

Tidak bisa dipungkiri, ketiga anaknya memang cukup berprestasi di sekolah. Zahran dan Adzkiya menjadikan ilham sebagai panutan dalam belajar. Mereka bangga ketika kakak pertamanya itu memperluas hasil ulangan yang nyaris mendapat nilai sempurna.

Jika Adzkiya dan Ilham selalu menduduki tiga besar, berbeda dengan Zahran yang hanya mampu berada di lima besar. Namun, hal itu tetap menjadikan sebuah kebanggaan sebagai seorang ibu.

Mungkin jika anak keempatnya panjang umur, pasti bayi itu juga akan tumbuh menjadi anak yang cerdas seperti ketiga kakaknya. Namun, semua itu hanya ada dalam angannya.

Wanita yang memiliki badan ideal yang bahkan cocok menjadi seorang model itu hanya menghela napas dengan kasar. Dia masih ingat bagaimana reaksi Hamid saat tahu bahwa dirinya hamil.

Hamid tidak menginginkan kehamilan itu terjadi. Bahkan menyalahkan Hana yang tidak memakai alat kontrasepsi.

“Gugurkan saja, Han!” perintah Hamid saat itu.

“Mas, kamu sudah gila?! Ini anak kita, anak kamu, mas!” teriak Hana tidak terima.

“Ekonomi kita sedang tidak baik-baik saja, Han. Mengertilah,” bantah Hamid dengan alasannya.

“Apapun yang terjadi, aku akan tetap melahirkannya. Dia anakku, dia darah dagingku!” Hana segera keluar dari kamar, menutup pintu cukup keras sehingga menimbulkan suara yang mengejutkan Hamid.

Sebelum covid melanda, Hamid memiliki pekerjaan yang cukup mapan. Bahkan, dia bisa membangun rumah minimal di atas tanah mertuanya. Memberi peralatan rumah tangga yang cukup mahal. Seperti kulkas dua pintu, kompor tanam, mesin cuci satu tabung, dan masih banyak yang lainnya.

Dari gaji yang diberikan oleh Hamid itulah Hana membuka tabungan pendidikan. Ekonomi mereka memang mulai menanjak saat Hana mengandung Zahran. Namun, covid yang melanda membuat Hamid terpaksa meninggalkan pekerjaannya sebagai asisten manager di sebuah hotel bintang lima.

Karena pandemi melanda, akhirnya hotel tempat Hamid bekerja mengalami penurunan. Banyak karyawan yang dirumahkan, termasuk pria bermata tajam itu.

Biasa bekerja santai di ruangan ber-AC membuat Hamid susah untuk mencari pekerjaan lain. Dia bahkan sempat melamar ke beberapa hotel, tetapi belum ada panggilan.

Untuk menutupi pengeluaran setiap bulan, beberapa perhiasan milik Hana dijual satu persatu untuk biaya hidup mereka. Hamid beruntung karena istrinya pandai mengelola keuangan.

Selama jabatan Hamid naik menjadi asisten manajer, delapan puluh persen gajinya dikirimkan kepada sang istri. Sisanya untuk dia simpan atau jika ada keperluan mendesak.

Selama tiga tahun menggeluti jabatan baru, Hamid bisa membeli sebuah mobil yang harganya tidak terlalu mahal. Sesuai dengan keuangan yang dimiliki.

Akan tetapi, Hana patut bersyukur karena rumah itu dibangun atas namanya. Jika tidak, mungkin saja rumah  yang mereka tempati telah dijual.

Mengingat surat tanah dan bangunan itu membuat Hana tersadar dari lamunan panjangnya. Sedikit tergesa dia turun dari ranjang dan berpindah ke kursi roda.

Wanita berparas ayu itu memutar roda kursi lebih cepat ke arah kamarnya. Dia hanya ingin memastikan bahwa surat-surat berharga miliknya tidak dibawa oleh Hamid. Cukuplah mobil dan beberapa lembar pakaian dibawa pergi.

Hana segera membuka sebuah laci dengan kunci yamg dia letakkan dengan asal di dalam lemari. Tangannya sedikit bergetar saat memutar anak kunci. Bahkan keringatnya mulai membasahi dahi.

Sejak kepergian Hamid tujuh bulan yang lalu, baru kali ini Hana membuka laci berharga tersebut. Terlalu banyak hal yang harus dia hadapi sebelumnya, sehingga tidak terpikirkan hal ini.

Ditariknya laci itu secara perlahan, matanya melotot tajam mendapati sebuah amplop. Hana benar-benar tidak percaya dengan apa yang barusan dia lihat.

Tangannya gemetar membuka amplop tersebut, bahkan air matanya sudah menetes sejak tadi. Hana berusaha menarik napas panjang lalu menghembuskan segan pelan, mencoba untuk berusaha menenangkan hatinya meski sia-sia.

Nyatanya Hana menangis hingga bahunya bergetar hebat, tangannya meremas surat itu. Dia benar-benar tidak tahu jika Hamid akan sejahat itu kepadanya.

Hadiah hari pernikahan yang kedelapan belas tahun kali ini sangat menyakitkan. Tidak kalah menyakitkan dengan selembar surat tulisan tangan Hamid yang tergeletak asal di dalam laci.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Sulung Si Tulang Punggung Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang