Kelulusan

50 7 0
                                    

Beberapa bulan telah berlalu, tidak terasa hari ini waktunya Ilham menghadiri acara perpisahan di sekolahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Beberapa bulan telah berlalu, tidak terasa hari ini waktunya Ilham menghadiri acara perpisahan di sekolahnya. Hanya Hana yang datang menemani. Meski begitu, Hana sangat bangga pada putranya.

Sebenarnya wanita yang memakai kebaya berwarna merah maroon itu berharap Hamid selaku ayah kandung Ilham bisa hadir dan menyaksikan wisuda putranya.

Mungkin saja, ini adalah wisuda terakhir yang putranya lakukan. Mengingat, Ilham tidak kuliah karena harus bekerja untuk menafkahi keluarganya.

Akan tetapi, dia harus menelan pil pahit karena sampai acara berakhir, Hamid tidak juga datang.

“Ibu masih berharap Ayah akan datang? Tidak usah, Bu. Aku gak apa-apa, kok.” Ilham mengusap bahu ibunya yang sejak tadi memandang ke arah pintu masuk.

“Tadinya begitu, tetapi ternyata dia memang tidak mau datang. Maafkan Ibu, ya, Ham.” Hana menggenggam tangan Ilham. Dia tahu bahwa putranya juga berharap sang ayah datang dan menyaksikan perpisahannya. Terlebih lagi, di acara itu juga diumumkan siswa-siswi tang berprestasi, salah satunya adalah Ilham.

Ilham mendapat peringkat kedua tingkat sekolah dalam hasil ujian nasional. Namun, sayangnya dia tidak bisa melanjutkan kuliah meskipun sangat ingin.

Tidak ingin tinggal berdiam diri di sana padahal acara telah berakhir, Ilham dan Hana memilih untuk pulang ke rumah dengan mengendarai motor kesayangannya.

Setibanya di rumah, Ilham terkejut mendapati sebuah mobil yang tidak asing terparkir di depan rumahnya. Mobil tersebut adalah milik Hamid.

“Maaf, Ham. Ayah gak sempat menghadiri wisudamu.” Hamid menghampiri Ilham sesaat setelah masuk ke rumah.

Hana hanya diam melihat interaksi keduanya. Mereka sangat jarang bertemu, terakhir justru saling adu jotos. Namun, sekarang lebih baik. Mungkin  karena Ilham sudah lebih bisa berpikir dewasa dari setahun yang lalu.

Hana memilih masuk ke kamar, berganti pakaian rumahan. Sementara itu, Ilham berjalan menuju sofa sambil membuka jaket yang menutup badannya, kemeja berwarna putih itu dia gulung hingga siku, lalu membuka dua kancing terbatas membuat remaja itu terlihat semakin tampan.


Ilham menyugar rambutnya, menatap tidak suka ke arah Hamid, sementara yang di tatap mulai salah tingkah.

Hamid jadi bingung harus memulai obrolan dari mana. Dia ingin mengajak Ilham ikut tinggal bersamanya, membantu menjalankan bisnis dengan istri barunya.

“Ada yang mau Ayah sampaikan? Katakan saja!” ujar Ilham sambil menyadarkan tubuhnya di sofa.

Zahran dan Adzkiya sudah pergi bermain lagi sejak ibu dan kakaknya pulang. Tadinya, kedua bocah itulah yang menyambut kedatangan ayah mereka dan menemaninya sambil melepas rindu. Hamid juga membawa dua buah mainan untuk Zahran dan Adzkiya.

“Ayah ke sini mau mengajak kamu untuk ikut Ayah. Kamu bisa kuliah di sana. Nanti Ayah yang—“

Prang!

Belum selesai Hamid bercerita, terdengar gelas pecah karena beradu dengan lantai. Di sana Hana berdiri dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Pergi kamu dari sini!” usir Hana sambil menunjuk Hamid.

Minuman itu rencananya akan dia suguhkan pada  Hamid yang tak lain adalah mantan suaminya. Namun, sudah lebih dulu tersaji di lantai.

“Setiap kamu ke sini, hanya datang membawa masalah.”Hana melangkah semakin mendekat ke arah Hamid. Dia menatap tajam dan penuh amarah pada mantan suaminya itu.

“Kenapa kamu marah? Ilham punya masa depan yang panjang. Aku ayahnya. Sudah seharusnya dia sekolah yang lebih tinggi demi masa depannya.

“Aku tahu kamu ayahnya, tapi dia putraku,” tegas Hana tidak mau kalah.

Ilham menghentikan perdebatan kedua orang tuanya. Menyaksikan gal tersebut membuatnya pusing kepala.

“Nanti akan aku pertimbangkan permintaan Ayah. Sebaiknya Ayah pulang saja. Aku yang akan mencoba untuk berbicara dengan Ibu.” Ilham angkat bicara, menjadi penengah di antara keduanya.

Hamid merasa kesal, tetapi akhirnya dia memilih untuk pulang sebelum mantan istrinya itu semakin mengamuk.

Ilham membereskan pecahan gelas yang berserakan di lantai.  Lalu membawanya ke tempat sampah.

Setelah semua beres, Ilham kalo duduk di sofa, terlihat ibunya masih termenung. Entah apa yang dipikirkan. Namun, Ilham menebak bahwa perkataan Hamid tadi yang kini mengganggu pikiran ibunya.

“Bu, Ibu mikirin perkataan Ayah tadi, ya?” tanya Ilham setengah berbisik di dekat ibunya.

Wanita itu hanya menjawab anggukan sambil menatap wajah putranya. Ada ketidakrelaan jika putra sulung ikut dengan Hamid. Padahal sebenernya juga tidak masalah, toh Hamid juga ayahnya sendiri bukan orang lain.

“Gak usah khawatir, kalau pun  Ayah memaksa untuk ikut aku akan  ikut bersamanya jika harus kuliah. Tapi kalau cari kerjaan di kota, itu bisa aku pikirkan. Yang penting, aku masih bisa memberikan nafkah pada ibu,” jelas Ilham yamg kini duduk di samping ibunya.

“pikirkan baik-baik sebelum mengambil keputusan, Ham,” pinta Hana yang dijawab anggukan dan senyum tipis oleh Ilham.

.

Sudah sehari berlalu, tiga pesan dan dua panggilan terjawab dari Hamid di ponsel milik Ilham. Iming-iming yang diberikan oleh Hamid membuat Ilham goyah.

Ilham mulai berpikir, mengadu nasib ke kota sepertinya bukan hal yang buruk. Remaja berkalung silver dengan bandul berbentuk kepala elang itu mulai tertarik dengan ajakan Hamid.

Ilham mulai memikirkan cara bagaimana berbicara dengan sang ibu. Dia yakin akan cukup sulit untuk meyakinkan ibunya agar mendapat restu untuk ke kota.

Dibalasnya pesan dari sang ayah. Berisi tentang kesiapannya untuk ke kota. Tapi kuliah, melainkan bekerja. Tentu saja Hamid sangat senang. Akhirnya putra sulung mau ikut dan tinggal bersamanya di kota.

Hamid telah menikah tepat setelah menceraikan Hana. Rekan kerja sebelumnya, seorang janda beranak dua. Usianya sama seperti Hana. Yakni 42 tahun. Wanita yang bernama Sesil itu memiliki usaha. Toko serba murah berukuran besar dan lengkap dengan segala keperluan rumah tangga.

Selain itu, Sesil juga memiliki toko yang menjual furniture. Karena itulah, Hamid mengajak putranya untuk tinggal dan membantu usaha sang istri. Tidak gratis, Ilham akan tetap mendapat gaji sesuai semestinya.

Ilham berbaring di ranjang, menjadikan kedua tangannya sebagai bantal, matanya menatap langit-langit kamar. Memikirkan  segala kemungkinan baik ataupun buruk jika dia pergi ke kota.

Akan tetapi, setelah Ilham pertimbangkan, dia memilih untuk ikut. Dia memutuskan untuk berbicara kepada ibunya besok, sebelum berangkat dia harus bisa meyakinkan sang ibu bahwa dia akan bertanggung jawab untuk mengirimkan uang setiap bulan setelah dia menerima upah.

Terlalu lama berpikir membuat Ilham tertidur, matanya emang sangat mengantuk sejak tadi. Ditambah lagi dengan pikiran yamg berusaha menguasai isi kepalanya. Semakin pusing lah dia.

Sebenarnya jika mau, Ilham bisa melanjutkan kuliah bersama Dilan. Kebetulan Dilan akan melanjutkan studi ke luar kota. Setelah itu mengurus beasiswa untuk meringankan beban orang tua dalam membiayai kuliah anak-anaknya. Mungkin Ilham akan melakukan hal itu juga memiliki uang dan waktu. Mengingat niatnya ke kota adalah untuk bekerja.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sulung Si Tulang Punggung Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang