Masih dengan suasana panas di rumah minimal itu. Hamid masih berusaha mendingin suasana yang kacau. Sebagai laki-laki, dia harus menyelesaikan masalah itu. Kesalahpahaman di antara mereka bertiga benar-benar menguras emosi.
Hana bahkan sudah lebih dulu masuk ke kamarnya, mengunci pintu. Mungkin ingin menangkan diri, atau mungkin juga mau mengobati luka yang terkena serpihan mangkuk pecah.
Hamid melangkah semakin dekat dengan Adriana. Wajah kacau istrinya terlihat jelas, bukan hanya kacau, tapi juga terlihat pucat dengan bulir keringat sebesar jagung.
“Kamu salah paham, Ana. Aku tadi di kamarnya untuk mengganti lampunya yang mati. Hana membereskan tempat tidurnya mungkin karena kusut aku jadikan pijakan untuk memasang lampu. Please, Ana. Aku tau kamu sangat pencemburu semenjak hamil. Aku bahkan sudah menjauhi semua jenis wanita, termasuk rekan kerja dan teman wanita lainnya. Aku juga menjaga jarak dari Hana selama dia tinggal di sini,” jelas Hamid setelah mendudukkan sang istri di kursi meja makan, memberikan segelas air dan memintanya untuk mendengarkan semua penjelasannya.
Adriana hanya menduduki dalam, dia sebenarnya kurang fokus mendengarkan penjelasan Hamid. Fokusnya beralih pada perutnya yang terasa semakin sakit sejak tadi. Wajahnya terlihat pucat dan bulir keringat membanjiri wajahnya. Bahkan, kedua pergelangan tangannya juga terlihat lembab karena berkeringat.
“Kamu sudah memfitnah adikmu. Aku yakin, setelah ini dia pasti akan pergi dari sini,” lanjut Hamid.
“An, Ana. Kamu kenapa?” tanya pria berkaus hitam itu sedikit panik saat sang istri mengangkat wajahnya yang sejak tadi menunduk.
“Mas, aku kayaknya mau melahirkan. Sa-sakit,” lirih Adriana.
“Astaga, Ana! Kamu berdarah. Tunggu di sini!” teriak Hamid setengah panik.
Pria itu segera keluar rumah dan meminjam kendaraan pada tetangga di samping rumahnya. Dia harus segera membawa sang istri ke rumah sakit.
Beruntung, tetangga yang juga rekan kerja Hamid itu pun bersedia membantunya. Dia yang menawarkan diri untuk mengendarai mobil.
Saat tiba di rumah sakit, Hamid segera membawa Adriana menuju ruang UGD agar segera mendapat tindakan.
“Dok, tolong, istri saya pendarahan!” teriak Hamid dengan kepanikan yang semakin memuncak.
Melihat istrinya yang pucat dan ekspresi menahan rasa sakit membuat Hamid bingung harus melakukan apa. Ini adalah putra pertamanya, dia tidak memiliki pengalaman apapun dalam menghadapi wanita yang akan melahirkan.
“Tenang, ya, Pak. Kami akan melakukan yang terbaik,” ucap seorang perawat.
Hamid melihat Adriana yang sedang diberi pertolongan pertama. Dia memilih untuk menunggu istrinya di luar ruangan, tepat di ruang tunggu. Hamid sangat berharap istri dan anaknya baik-baik saja. Tak henti pula merapatkan doa untuk keselamatan bayi dan Adriana.
Seorang dokter laki-laki berusia sekitar empat puluh tahunan keluar dari ruang pemeriksa Adriana. Menyadari kehadiran seseorang, Hamid segera menoleh, lalu bangkit dari tempat duduknya.
“Bagaimana anak istri saya, Dok?” tanya Hamid setengah panik melihat ekspresi dokter tersebut.
“Kita harus segera mengambil tindakan. Istri Anda harus segera dioperasi. Dia mengalami pendarahan. Saya takut terjadi hal yang fatal jika memaksa untuk lahir secara normal.” Dokter Rendi berusaha menjelaskan kepada Hamid.
Calon ayah itu terlihat terkejut dengan penjelasan dokter barusan. “Lakukan yang terbaik, Dok.” Hanya itu yang bisa Hamid katakan.
Setelahnya, Hamid mengurus berkas dan juga administrasi agar istrinya segera mendapat tindakan dan penanganan yang serius.
Di dalam ruang operasi yang terasa dingin itu, Adriana bertaruh nyawa untuk kelahiran putra pertamanya. Sementara itu, Hamid hanya berani menunggu di depan ruang operasi dengan perasaan tidak tenang. Entah sudah berapa kali dia mondar-mandir di sana.
Berulang kali doa yang sama dia rapalkan untuk keselamatan anak dan istrinya. Di tengah kerisauan hatinya. Hamid menghubungi Hana. Gadis itu harus tahu tentang keadaan kakak sepupunya.
Setelah mengirim pesan dan mendapat balasan dari Hana, pria itu mengirim alamat rumah sakit tempat istrinya dirawat.
Tidak butuh waktu lama, terlihat seorang gadis melangkah sedikit pincang dan terburu-buru. Hamid bisa menebak bahwa itu adalah Hana. Dia melambaikan tangan agar gadis itu mendatanginya.
“Kabar Kak Ana gimana, Mas?” tanya Hana tak kalah panik saat tiba di depan ruang operasi.
“Dia mengalami pendarahan hebat. Dokter terpaksa melakukan operasi untuk membantunya. Dia gak memungkinkan untuk lahiran normal karena keadaannya lemah,” jawab Hamid terlihat kacau dengan rambut yang acak-acakan.
“Sudah berapa lama di dalam?” tanya Hana lagi sambil menggenggam kedua tangannya di atas paha. Sesekali kakinya bergoyang untuk mengurangi rasa khawatir terhadap kakaknya.
“Sudah empat puluh menit. Aku rasa ini lama sekali. Aku mulai khawatir,” jawab Hamid sambil menengadahkan kepalanya menatap langit-langit koridor rumah sakti yang berwarna putih.
“Mudahan cepat selesai,” balas Hana, lalu kemudian hening. Tidak ada lagi yang memulai obrolan. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Hana merasa bersalah. Karena dia lah semua ini terjadi. Seharusnya dia menjelaskan tuduhan yang dilayangkan padanya tadi agar Adriana tidak salah paham.
Akan tetapi, hatinya terlalu sakit untuk sekedar bersuara. Hana tadinya ingin memberi uang bagi Adriana untuk menenangkan diri terlebih dahulu.
Jika Hana menjelaskan, belum tentu Adriana akan percaya. Apalagi wanita hamil itu sedang dalam keadaan emosi.
Pintu ruang operasi terbuka, Dokter Rendi keluar dari sana. “Pasien ingin bertemu suaminya dan juga Hana. Apakah ini yang bernama Hana?” tanya Dokter Rendi sambil melihat ke arah Hana.
“Iya, Dok. Saya Hana,” jawab gadis itu sopan.
Hamid dan Hana masuk ke ruang operasi. Hawa dingin menyapa mereka. Terlihat Hana yang berbaring lemah di atas meja operasi.
“Kak, maafin aku. Itu semua cuma salah paham, Kak. Kakak lekas sembuh, ya,” ujar Hana dengan suara pelan di telinga Adriana.
“Kakak yang minta maaf karena sudah nuduh kamu, Han.” Adriana tersenyum, wajahnya sangat pucat.
Hamid mendekat, menggenggam tangan istrinya yang terasa sangat dingin dalam genggamannya. Bayi laki-laki yang sudah lahir dengan selamat itu terdengar menangis lagi.
“Terima kasih, sudah melahirkan anak kita. Maafkan aku karena sudah membuatmu seperti ini,” bisik Hamid di telinga kanan Adriana. Istrinya hanya tersenyum menanggapi sambil mengusap pipi suaminya.
Beberapa saat kemudian, Adriana dipindahkan ke ruang ICU untuk mendapatkan pertolongan karena mengalami sesak napas. Hana dan Hamid terlihat panik. Kekhawatiran menyelimuti hati keduanya.
Bayi laki-laki yang sudah dikumandangkan adzan oleh Hamid itu juga sudah dipindahkan ke ruang bayi.“Han, kamu mau pulang atau nginap di sini? Ini sudah larut malam,” tanya Hamid saat menyadari bahwa jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
“Aku nginap di sini aja, Mas. Lagian aku juga gak tenang di rumah. Mungkin besok pagi baru aku pulang sekalian ganti baju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sulung Si Tulang Punggung
Ficción GeneralBlurb : Menjadi anak pertama bukanlah hal yang mudah, hampir semua tanggungjawab dibebankan di atas pundaknya. Anak pertama harus menjadi panutan untuk adik-adiknya, bahkan harus menjadi pengganti kepala keluarga saat sang ayah telah tiada. Ilham, l...