Mengambil Keputusan

62 9 0
                                    

“Belum pulang, Ham?” tanya Diman ketika melihat Ilham masih menyapu lantai yang kotor dekat pintu ruko

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Belum pulang, Ham?” tanya Diman ketika melihat Ilham masih menyapu lantai yang kotor dekat pintu ruko.

“Nanggung, Om. Sedikit lagi,” jawab Ilham sambil terus melanjutkan pekerjaannya.

Para karyawan sudah pulang, sedangkan Diman masih menghitung hasil penjualan. Pamannya itu memang selalu pulang paling terakhir, kadang jam sembilan baru pulang ke rumah.

“Om, aku mau pamit pulang. Toko sudah mengkilap,” pamit Ilham setelah selesai menyapu lantai hingga teras.

“Kamu memang pembersih, Ham. Tadi kulihat kamu belum selesai membersihkan debu-debu. Mana ada mengkilap,” kelakar Diman tertawa.

“Gimana mau bersih, Paman. Itu rak jualan kayaknya gak pernah dibersihkan selama toko ini dibangun,” ujar Ilham membuat Diman semakin tertawa.

“Gak sempat, Ham. Bapak-bapak gak suka bersih-bersih begitu. Paling bibimu kalau pas ke sini baru bersihkan, itu juga cuma pakai kemucing,” jawab Diman. Karyawan semua memang bapak-bapak berusia 40 tahunan.

“Ini gaji kamu karena sudah rajin.” Diman menyodorkan selembar pecahan uang seratus ribuan dan selembar lagi uang pecahan lima puluh ribuan.

“Terima kasih, Paman. Aku pulang dulu,” pamit Ilham segera berbalik badan untuk keluar dari toko.

“Besok datang pagi-pagi, ya!” seru Diman sebelum Ilham benar-benar pergi.

“Siap, Om!” teriaknya. Tidak lama kemudian terdengar deru mesin motor yang perlahan menghilang menandakan jika Ilham sudah benar-benar berlaku dari sana.

***

“Bapak itu gimana, sih? Waktu itu aku tawarin Ilham kerja di toko, tapi Bapak tolak. Lah, sekalinya itu bocah malah sudah seminggu kerja di sana,” ujar Bibi Rika setelah meletakkan segelas kopi yang masih mengepulkan asapnya itu di atas meja tetap di hadapan suaminya.

“Waktu itu Bapak bukannya gak mau, Bu. Tapi kasian dia kalo kerja sambil sekolah. Lagian waktu itu masih ada Pak Mirwan. Bingung juga kalau kebanyakan karyawan. Nanti habis uang toko buat gaji karyawan aja,” jawab Diman sambil mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya.

“Alaaah ... Bapak memang paling jago kalo masalah nyari alesan. Jaga baik-baik ponakanku itu. Dia sudah banyak bantuin Ibu. Dulu kalo Bapak kerja, dia yang Ibu suruh ganti lampu, bantuin angkat barang, bantuin pasang gas, angkat galon, dan lain-lain. Dia itu sudah seperti anak Ibu sendiri.” Bibi Rika berbicara sambil sesekali mengingat kebaikan ponakan kesayangannya tersebut.

Kedua pasangan suami istri itu sebenarnya memiliki dua orang putra, tetapi kedua anaknya berada di kota. Adam, putra pertamanya yang berusia 25 tahun itu memiliki toko sembako seperti bapaknya. Aldi, putra keduanya berusia 20 tahun masih kuliah semester empat.

Aldi tinggal bersama dengan Adam di toko. Sesekali adiknya membantu pekerjaan sang kakak jika sedang libur atau saat ada waktu luang.

Di tempat yang berbeda, terlihat Adzkiya sedang menangis di dalam kamarnya. Mata bocah itu sejak tadi mengeluarkan air mata, diiringi suara tangis khas anak-anak. Hal itu membuat Hana heran.

Beberapa hari ini Adzkiya memang menanyakan kapan sang ayah pulang. Hana hanya bisa menjawab dengan jawaban yang tidak pasti. Dia tidak tahu harus bagaimana menjelaskan hubungan dengan mantan suaminya tersebut.

Berbeda dengan Ilham dan Zahran, kedua anak itu sudah tahu tentang keretakan rumah tangga orang tuanya. Ilham lebih bisa memahami dan mengerti, berbeda dengan Zahran yang terlihat keberatan.

“Kenapa menangis, Nak?” tanya Hana setelah berada di dekat Adzkiya.

“Ayah bohong, katanya cuma pergi kerja sebentar dan nanti pulang kalau aku naik kelas dua. Buktinya, ini sudah mau masuk sekolah lagi tapi Ayah gak juga pulang. Aku benci ayah!” Adzkiya menekan kalimat terakhir, lalu kembali membenamkan wajahnya di bantal yang sudah banjir dengan air mata.

“Kia, mungkin pekerjaan Ayah memang lagi banyak. Dulu ingatkan waktu Ayah masih kerja, kadang beberapa hari tidak pulang. Padahal tempat kerjanya dekat. Apalagi sekarang, tempat kerjanya jauh. Kia gak boleh gitu, ya. Doakan saja supaya pekerjaan Ayah cepat selesai biar segera pulang nemuin Kia. Oke,” jelas wanita yang sebenarnya berat untuk membicarakan mantan suaminya tersebut. Namun, dia harus tetap menjelaskan kepada putrinya. Meskipun itu hanya sebuah alasan.

Pada kenyataannya, Hamid sudah menikah dan memiliki keluarga baru. Mengingat itu membuat luka di hati Hana kembali terbuka. Luka yang tidak akan pernah bisa disembuhkan. Sebuah penghianatan yang sangat keji baginya.

Bocah itu hanya mengangguk, tetapi sisa tangis masih terdengar. Hana memilih keluar dari kamar setelah meminta agar putrinya tidak menangis lagi.

Wanita yang sudah mulai bisa berjalan perlahan dengan bantuan tingkat itu segera berjalan menuju kamarnya. Mengambil ponsel di dalam laci meja rias yang sudah lama tidak dinyalakan.

“Mudahan masih bisa nyala,” gumam Hana sambil menekan tombol power pada sisi kanan layar datar tersebut.

Melihat logo ternama di ponselnya membuat Hana senang. Tidak lama kemudian, muncullah wallpaper bergambar foto sepasang suami istri; Hana dan Hamid.

Melihat foto yang menampakkan senyum bahagia keduanya membuat mata Hana berembun. Dia tidak menyangka jika Hamid memiliki hubungan dengan wanita lain bahkan jauh sebelum mereka bercerai. Pantas saja Hamid sangat marah saat mengetahui bahwa Hana hamil.

Wanita itu menarik napas panjang lalu menghembuskan dengan perlahan. Membuka kunci layar dan segera mengganti wallpaper-nya.

Hana mencari kontak mantan suaminya, lelaki bajingan itu boleh saja meninggalkan dirinya dan tidak memperdulikannya lagi. Namun, Hana tidak bisa melihat putri kecilnya menangis hanya karena janji lelaki itu yang tidak ditepati.

Nihil, panggilannya tidak masuk. Hanya suara operator di ujung sana yang memintanya untuk memeriksa kembali nomor tujuannya. Semakin panas hati Hana. Lelaki itu benar-benar menghilang.

Sebenarnya sudah sangat terlambat untuk mencari tahu tentang mantan suaminya. Hana pikir anak-anaknya tidak akan merasa kehilangan. Mengingat Hamid bukanlah sosok ayah yang dekat kepada ketiga anaknya.

Lelaki itu tahunya bekerja, saat di rumah dia akan sibuk dengan dunianya. Hanya sesekali dia bermain dan bercanda bersama mereka. Komunikasinya dengan sang istri juga minim. Bahkan tak jarang Hana hanya mengisi pesan melalui aplikasi hijau, padahal suaminya ada di rumah.

Akan tetapi, untuk tanggungjawab nafkah, Hamid memnag bertanggungjawab. Gajinya diberikan kepada sang istri, dia hanya memegang untuk pegangan dan biaya pribadinya.

.

Sebulan sudah Ilham bekerja di toko milik pamannya tersebut. Besok kedai bakso milik Pakde Santo mulai dibuka. Ilham pun mengalami kebimbangan apakah harus tetap bekerja di toko Diman ataukah kembali bekerja di kedai mie ayam Pakde? Kebimbangan menyelimuti hatinya. Namun, dia harus segera mengambil keputusan.

Jika mempertimbangkan waktunya, selama Ilham masuk sekolah dengan ajaran baru dan duduk di kelas tiga saat ini. Dia memang membutuhkan lebih banyak waktu luang untuk belajar.

Jika bekerja di toko Diman, Ilham bekerja dari jam tiga sampai jam delapan malam. Namun, jika bekerja di kedai mie ayam, dia harus bekerja dari jam tiga sore sampai jam sepuluh malam, bahkan tidak jarang sampai jam sebelas malam.

Setelah mempertimbangkan waktunya, Ilham memilih untuk berhenti bekerja di kedai mie ayam. Lagi pula, bekerja di toko pamannya tersebut juga cukup menyenangkan. Mungkin karena Ilham adalah keponakannya, sehingga terkadang Ilham diberikan potongan harga saat berbelanja di sana.

Bukannya Diman tidak mau memberikan dengan gratis, tetapi Ilham yang tidak mau menerima. Sejak dulu remaja itu memang tidak suka jika selalu menerima pemberian orang lain hanya karena mereka kasihan.

“Lalu, kamu bekerja di mana untuk mendapatkan uang?” tanya Pakde Santo saat Ilham datang dan menyatakan pengunduran diri. Sebenarnya Ilham bisa saja berhenti bekerja tanpa meminta izin pada lelaki paruh baya itu. Namun, Ilham merasa  itu tidak sopan, apalagi Pakde Santo sudah sangat baik selama dia bekerja di sana.

“Saya kerja di toko Paman Diman, Pakde. Di sana saya bisa mengatur jadwal karena pulang bekerja lebih cepat. Maklum, Pakde, saya sudah kelas tiga jadi harus lebih fokus belajar,” jawab Ilham sopan.

“Alhamdulillah kalau begitu, Pakde senang karena kamu masih memikirkan sekolahmu. Belajar yang pintar, ya, Le. Pasti kamu bisa jadi orang sukses,” ujar pria yang memiliki  perut buncit tersebut.

Ilham pulang ke rumahnya, tadi dia hanya mampir sebentar saat pulang sekolah. Tidak lupa dia juga membawa oleh-oleh yang diberikan oleh mantan bosnya itu.

 Tidak lupa dia juga membawa oleh-oleh yang diberikan oleh mantan bosnya itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sulung Si Tulang Punggung Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang